Temuan Terkini Peradaban Transisi di Danau Matano: Ketika Zaman Neolitik Berjumpa Zaman Besi

By Fikri Muhammad, Selasa, 26 Januari 2021 | 17:29 WIB
Artefak serpih batu yang ditemukan dari kotak ekskavasi bersama sisa- sisa terak besi di Danau Matano. (Suryatman)

Kegiatan ekskavasi tahun 2019 yang dilakukan di Situs Rahampu'u, Kampung Matano. (Suryatman)

Suryatman menjelaskan bagaimana artefak rijang bisa memantik api. Serpih batu dijepat dengan serabut 'kapas' yang berasal dari pohon aren. Setelah serabut itu ditempatkan pada bagian atas, batu yang dijepat serabut itu dipukul berulang-ulang sampai memercikkan api yang membuat serabut itu menyala. 

Batu yang digunakan pun memiliki kriteria dengan ukuran antara 3-5 sentimeter. Ukuran ini, menurut Suryatman, nyaman untuk digenggam dan dijepit dengan tangan saat akan dibenturkan dengan besi. Artefak rijang mengandung unsur silika yang cukup tinggi, hampir 90 persen. Silika itulah yang membuatnya mudah menyala demikian ujarnya.

Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial

Peta dan informasi temuan Danau Matano di National Geographic Indonesia edisi Oktober 2020. Ekskavasi menguak ribuan artefak, dari danau yang terbentuk satu hingga empat juta tahun yang lalu. (National Geographic Indonesia)

Anak tombak yang ditemukan tim peneliti arkeologi di Danau Matano. Kawasan ini pernah menjadi penghasil besi dan nikel nan masyhur pada abad pertengahan. (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Adanya serpih batu dalam tempat peleburan besi menjamin ketersediaan api. Menariknya, banyak situs logam yang semasa dengan Danau Matano, namun jarang yang menggunakan serpih batu, demikian menurut Suryatman. Kemungkinan, ini adalah inovasi dari kearifan lokal orang Matano.

"Kemungkinan ini bagian kearifan lokal orang Matano, semacam inovasi untuk menemukan pemantik yang tersedia di lingkungan mereka karena bahanya ada di sana. Sehingga bisa mempertahankan panas api dan menghasilkan kualitas besi yang baik. Karena apinya bisa dinyalakan kapanpun dan itu terjaga," ucap Suryatman.

Sebagai perbandingan, Situs Karama, situs logam tertua di Sulawesi yang berumur 2000 tahun lalu tidak ada temuan serpih batu di situ. Artinya, orang Astronesia yang pertama kali datang ke Sulawesi tidak mengenal inovasi serpih batu sebagai pemantik api.

Tim arkeolog menuga bahwa pandai besi Matano pernah belajar atau bertemu dengan penduduk asli yang telah mengenal teknologi tersebut. Dugaan ini dari temuan serpih batu rijang di gua pra-sejarah Towuti yang sama dengan Matano. Situs itu berumur sekitar 19.000 sampai 4000 tahun lalu. 

"Ini masih dugaan, pengetahuan memantik api itu berasal dari mereka dan bertemu dengan pandai besi Matano. Di towuti tidak ada pandai besi, hanya serpihan batu, ada bukti mereka mengenal api waktu itu. Kita menemukan banyak pembakaran. Tapi belum bisa dibuktikan," kata Suryatman.

Peralatan yang digunakan sebagai pemantik, terdiri dari kapas dari pohon aren, serpih batu dan artefak besi. (Suryatman)

Menurut Suryatman, pembahasan tentang serpih batu selama ini masih terabaikan. Padahal itu memiliki peran penting dalam sebuah peleburan besi.

"Selama ini, serpih batu diabaikan. Saya coba menunjukan bahwa seprih batu memiliki peran penting dalam pelebruan besi di Matano sehingga menghasilkan kualitas besi yang cukup baik. Kita tidak bisa mengabaikan ini," tutur Suryatman.

Sementara, Shinatria menambahkan bahwa penelitian ini adalah upaya penyusunan teka-teki pengetahuan metalurgi kuno.

"Kalau saya lihat, sebetulnya zaman logam kita ada gap. Dari pra-sejarah langsung lompat ke zaman klasik di mana kita bisa bangun candi peradaban kita dengan sagat pesat. Tapi justru sebetulnya transisi itu kurang dijelaskan secara rinci. Kita mencoba menyususn puzzle secara perlahan. Ini adalah first step menyusun puzzle itu tentang pengetahuan metalurgi kuno yang belum banyak orang ketahui," tutur Shinatria. 

Batu inti yang sengaja dipangkas terlebih dahulu untuk menghasil serpihan batu yang nantinya digunakan sebagai peralatan pemantik. (Suryatman)