Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 31 Januari 2021 | 21:38 WIB
Potret studio Van der Velden, putrinya yang bernama Johanna van der Velden, dan seorang nyai di Bandung (Wa Fong/KITLV)

"Misalnya, Kijdsmeir (dari Reimsdijk), Rhemrev (dari Vermehr), Snitsevorg (dari Grovestins), Esreteip (dari Pieterse)," sebutnya.

Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara

Di masa VOC, era Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, pergundikan membuatnya resah hingga memutuskan untuk mendatangkan kaum perempuan dari Belanda. Tapi karena keberadaan perempuan justru memperburuk etos kerja, pada 1632, gerbang untuk mereka ditutup kembali. Pergundikan kembali legal dengan syarat harus seagama.

Menurut Rahman, gundik atau nyai berasal dari pekerja lokal yang paling miskin. Mereka lebih mengurusi urusan rumah tangga dan perkebunan yang dimiliki suaminya.

Sedangkan Hellwig berpendapat, perempuan menjadi gundik disebabkan tiga hal. Pertama, dengan menikahi lelaki Belanda dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi—umumnya mereka terpaksa untuk melakukannya. Kedua, menaikan martabat dalam klasifikasi rasial—pasca Pax Neerlandica berlaku. Ketiga, karena faktor cinta.

Seorang pria Eropa dengan perempuan lokal berfoto keluarga bersama anak-anaknya sekitar 1920. Anak hasil perkawinan campur masuk dalam golongan Indo yang liyan, antara harus masuk Eropa atau Inlander. (KITLV)

Sayangnya, nyai tak memilik hak asuh anaknya, dan hak hidupnya sendiri. Mereka dapat ditinggalkan begitu saja oleh suaminya. Sedangkan di dunia militer, mereka bisa diserahkan kepada lelaki Eropa lain.

Tak hanya dari kalangan Eropa, laki-laki Tionghoa juga banyak yang berkawin campur dengan perempuan lokal. Maraknya terjadi ketika VOC melakukan pembatasan dagang dengan Tiongkok.

Demi membuka peluang untuk datang, mereka setelah menikah langsung berasimilasi dengan penduduk setempat—berbeda dengan Belanda yang eksklusif. Hal serupa juga terjadi dengan golongan Timur jauh lainnya—Timur Tengah dan India.

Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

Meski bersifat patriarki dan rasial, pernikahan campur perempuan Eropa dengan non Eropa juga diperbolehkan pada abad ke-18. Hubungan itu hanya berlaku di tempat-tempat khusus di Hindia Timur, seperti Manado dan Maluku dengan syarat seagama. Glorifikasi bersifat patriarki pada perempuan Eropa pun mengakibatkan banyak pernikahan laki-laki lokal dengan mereka.

Percampuran orang Eropa dengan bangsa Asia lainnya yang terbatas agama akhirnya berubah pada 1848, akibat amandemen hukum di Belanda. Saat itu, koloni telah kembali ke tangan Kerajaan Belanda setelah dipegang Inggris.