Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 31 Januari 2021 | 21:38 WIB
Potret studio Van der Velden, putrinya yang bernama Johanna van der Velden, dan seorang nyai di Bandung (Wa Fong/KITLV)

Hellwig menyebut, meski kode sipil pernikahan berlaku asalkan pihak asing yang dinikahi harus menerima hukum Eropa. Akibatnya banyak pernikahan campur di Hindia Belanda di tahun-tahun berikutnya.

Bahkan tak segan-segan pemerintah menangguhkan jabatan tentara yang bergundik. Pemerintah resah, karena pergundikan dan prostitusi membuat tentaranya rentan terkena penyakit kelamin.

Paruh akhir abad ke-19 pemerintah Belanda kian liberal, ditambah dibukanya Terusan Suez, membuat kedatangan orang Eropa kian masif. Banyak di antaranya adalah perempuan Belanda.

Baca Juga: Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan

Kebijakan liberal pun diaplikasi di pemerintahan koloni untuk membuat kebijakan politik etis. Ketika laki-laki berbagai golongan Hindia Belanda berdampak pada pendidikan Eropa, perempuan pun perlahan menyadari ketertindasannya.

Perempuan masa politik etis pun membuat mereka terdidik. Awalnya hanya perempuan dari golonga elit saja, akibat hubungannya dengan feminisme Eropa.

Selanjutnya, mulai terbentuk perlahan sekolah-sekolah untuk perempuan dan perhimpunan untuk emansipasi. Perhimpunan itu seperti Putri Mardika, Sopo Tresno (kini Aisyiyah), Kartini Fonds, dan masih banyak lagi.