Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 31 Januari 2021 | 21:38 WIB
Potret studio Van der Velden, putrinya yang bernama Johanna van der Velden, dan seorang nyai di Bandung (Wa Fong/KITLV)

Nationalgeorgraphic.co.id—Sejatinya, masyarakat Nusantara tidak bersifat patriarkis dalam tatanan sosialnya. Justru, menurut sejarawan Peter Carey, Nusantara memiliki kecenderungan perspektif polinesia yang bersifat matriarki. Budaya ini masih berbekas pada praktik yang dilakukan masyarakat Minangkabau dan Aceh.

Bahkan pada masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Arkeolog Titi Surti Nastiti sependapat dengan Carey, bahkan di masa Hindu-Buddha pun perempuan bisa jadi kepala negara. Budaya patriarki justru datang karena dibawa bangsa Eropa—terkhusus Belanda.

Pada abad ke-16, bangsa Eropa datang sekadar berdagang. Kebiasaan berdagang lintas benua hanya dilakukan oleh para laki-laki. Alasannya, iklim yang ekstrem membuat absennya perempuan Eropa, sehingga petualangan hanya dimiliki oleh laki-laki.

Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno

Minimnya perempuan, menurut Fadly Rahman dalam Rijsttaffel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial, membuat adanya anggapan pengelanaan kolonial sebagai budaya membujang bagi laki-laki Belanda. Demi memuaskan hasrat seksual, mereka memilih mengawini perempuan lokal atau pergundikan.

Fika Hidayani dan Isriani lewat Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, pemerintah kolonial pada awalnya membiarkan pergundikan terjadi demi mengontrol moral.

Golongan Indo dari hasil hubungan tak resmi Belanda dengan non Belanda pun memiliki krisis identitas. Ayah mereka yang kembali ke Belanda juga memiliki istri Eropa, sehingga hak asuh mereka terbengkalai. Mereka dapat diasuh atau ditelantarkan begitu saja oleh ayahnya.

Sejarawan University of Leiden, Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda menyebutkan karena minimnya perempuan, pemerintah kolonialisme pada masa awal menginstruksi kaum hawa Eropa dan Indo hanya diperuntukan orang kulit putih.

Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara

Perempuan Indo seringkali ditempatkan ke panti asuhan oleh bapaknya, karena biasa dianggap sebagai 'anak haram'. Melalui panti, mereka dibentuk sedemikian rupa mengenai pemahaman budayanya bergaya Eropa.

“Di rumah-rumah yatim piatu, anak-anak perempuan (Indo) dibesarkan berbahasa Belanda dan mengikuti sopan santun Belanda,” tulisnya. "Inilah salah satu upaya serius Kompeni menjadikan mereka sebagai warga negara Belanda yang layak."

Semudah itu mereka dibuang, semudah itu pula ia dapat diambil oleh ayahnya. Pengadopsian golongan Indo baru sah pada 1828. Tetapi demi menyamarkan atas rasa malu, nama belakangnya disematkan nama bapaknya yang dieja terbalik.

"Misalnya, Kijdsmeir (dari Reimsdijk), Rhemrev (dari Vermehr), Snitsevorg (dari Grovestins), Esreteip (dari Pieterse)," sebutnya.

Baca Juga: Peter Carey Ungkap Kedudukan Perempuan di Era Kesultanan di Nusantara

Di masa VOC, era Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, pergundikan membuatnya resah hingga memutuskan untuk mendatangkan kaum perempuan dari Belanda. Tapi karena keberadaan perempuan justru memperburuk etos kerja, pada 1632, gerbang untuk mereka ditutup kembali. Pergundikan kembali legal dengan syarat harus seagama.

Menurut Rahman, gundik atau nyai berasal dari pekerja lokal yang paling miskin. Mereka lebih mengurusi urusan rumah tangga dan perkebunan yang dimiliki suaminya.

Sedangkan Hellwig berpendapat, perempuan menjadi gundik disebabkan tiga hal. Pertama, dengan menikahi lelaki Belanda dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi—umumnya mereka terpaksa untuk melakukannya. Kedua, menaikan martabat dalam klasifikasi rasial—pasca Pax Neerlandica berlaku. Ketiga, karena faktor cinta.

Seorang pria Eropa dengan perempuan lokal berfoto keluarga bersama anak-anaknya sekitar 1920. Anak hasil perkawinan campur masuk dalam golongan Indo yang liyan, antara harus masuk Eropa atau Inlander. (KITLV)

Sayangnya, nyai tak memilik hak asuh anaknya, dan hak hidupnya sendiri. Mereka dapat ditinggalkan begitu saja oleh suaminya. Sedangkan di dunia militer, mereka bisa diserahkan kepada lelaki Eropa lain.

Tak hanya dari kalangan Eropa, laki-laki Tionghoa juga banyak yang berkawin campur dengan perempuan lokal. Maraknya terjadi ketika VOC melakukan pembatasan dagang dengan Tiongkok.

Demi membuka peluang untuk datang, mereka setelah menikah langsung berasimilasi dengan penduduk setempat—berbeda dengan Belanda yang eksklusif. Hal serupa juga terjadi dengan golongan Timur jauh lainnya—Timur Tengah dan India.

Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

Meski bersifat patriarki dan rasial, pernikahan campur perempuan Eropa dengan non Eropa juga diperbolehkan pada abad ke-18. Hubungan itu hanya berlaku di tempat-tempat khusus di Hindia Timur, seperti Manado dan Maluku dengan syarat seagama. Glorifikasi bersifat patriarki pada perempuan Eropa pun mengakibatkan banyak pernikahan laki-laki lokal dengan mereka.

Percampuran orang Eropa dengan bangsa Asia lainnya yang terbatas agama akhirnya berubah pada 1848, akibat amandemen hukum di Belanda. Saat itu, koloni telah kembali ke tangan Kerajaan Belanda setelah dipegang Inggris.

Hellwig menyebut, meski kode sipil pernikahan berlaku asalkan pihak asing yang dinikahi harus menerima hukum Eropa. Akibatnya banyak pernikahan campur di Hindia Belanda di tahun-tahun berikutnya.

Bahkan tak segan-segan pemerintah menangguhkan jabatan tentara yang bergundik. Pemerintah resah, karena pergundikan dan prostitusi membuat tentaranya rentan terkena penyakit kelamin.

Paruh akhir abad ke-19 pemerintah Belanda kian liberal, ditambah dibukanya Terusan Suez, membuat kedatangan orang Eropa kian masif. Banyak di antaranya adalah perempuan Belanda.

Baca Juga: Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan

Kebijakan liberal pun diaplikasi di pemerintahan koloni untuk membuat kebijakan politik etis. Ketika laki-laki berbagai golongan Hindia Belanda berdampak pada pendidikan Eropa, perempuan pun perlahan menyadari ketertindasannya.

Perempuan masa politik etis pun membuat mereka terdidik. Awalnya hanya perempuan dari golonga elit saja, akibat hubungannya dengan feminisme Eropa.

Selanjutnya, mulai terbentuk perlahan sekolah-sekolah untuk perempuan dan perhimpunan untuk emansipasi. Perhimpunan itu seperti Putri Mardika, Sopo Tresno (kini Aisyiyah), Kartini Fonds, dan masih banyak lagi.