Fakta yang Harus Anda Ketahui Tentang Vaksinasi Pagebluk Covid-19

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 2 Februari 2021 | 10:15 WIB
Seorang wanita berusia 39 tahun menjadi relawan pertama yang menerima vaksin eksperimental Ebola. (Gloria Samantha)

Nationalgeographic.co.id—Di tengah pagebluk, para ilmuwan di seluruh dunia berusaha mengembangkan vaksin. Namun di sisi lain, maraknya disinformasi dan hoaks yang menyebut vaksin mengandung microchip, hingga informasi yang mengatakan virus dalam vaksin hidup kembali. Akibatnya banyak dari bagian masyarakat yang enggan untuk divaksinasi.

Vaksin bukanlah hal yang baru. Pencegahan yang diberikan melalui suntikan ini sudah ada berabad-abad lamanya. Semasa Yunani kuno, pemahaman mengatasi pagebluk adalah membiarkan masyarakat terpapar virus agar merangsang daya tahan tubuh untuk melawan pagebluk di lain waktu.

Penamaan vaksin sendiri berasal dari bahasa latin vacca yang berarti sapi, sebagai temuan vaksin awal yang dilakukan ilmuwan Inggris, Edward Jenner saat pagebluk cacar sapi.

Awalnya pada 1768, Edward mendapati bahwa masyarakat sekitar peternakan sapi tidak mudah terserang pagebluk, dan sakitnya tak separah penduduk lainnya. Berdasarkan arsip daring The Jenner Museum, ia kemudian mencoba mengambil cairan dari sapi lalu disuntikkan kepada anak dan istrinya. Hasilnya, mereka memiliki kekebalan seperti peternak yang tak mudah terkena sakit cacar sapi. Temuan itu membuatnya dianugerahi sebagai bapak imunologi, yang hasilnya dikembangkan hingga kini untuk vaksin yang lebih mutakhir. 

Baca Juga: Penyakit-Penyakit yang Mungkin Terlupakan Karena Efektifitas Vaksin

Di Indonesia, pengembangan vaksin baru tersedia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat diserang oleh berbagai macam pagebluk lokal seperti pes, maupun mancanegara seperti flu Spanyol.

Sejatinya vaksin, menurut profesor dan direktur Lembaga Biomolekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, terutama pagebluk Covid-19, merupakan siasat perangsang respon imun pada antigen menghadapi virus.

 “Zat [dalam vaksin] yang digunakan untuk merangsang produksi antibodi dan memberikan kekebalan terhadap satu atau lebih penyakit, dibuat dari agen penyebab penyakit, produknya, atau pengganti sintetis, yang dirawat dan bertindak sebagai antigen tanpa menyebabkan penyakit,” jelasnya dalam webinar Kupas Tuntas Vaksin Covid-19: Kita SIAP Divaksinasi yang diadakan Yayasan Orang Tua Peduli.

Soebandrio menjabarkan, bahwa daya tahan tubuh saat terpapar virus akan sangat lemah dan seseorang akan sakit. Namun dengan paparan itu daya tahan tubuh secara bertahap mulai berkembang, dan meminimalisir pada serangan virus di waktu berikutnya. Pasca serangan kedua, kemampuan daya tahan tubuh sudah cukup optimal.

“Melalui vaksin, kita ingin saat penyerangan virus pertama kalinya, daya imun orang langsung optimal menghadapi virus,” terangnya.

Baca Juga: Ancaman Virus Nipah Akibat Rusaknya Habitat Kelelawar di Asia

Secara pengetahuan dasar, virus memiliki materi, seperti protein, DNA, dan RNA yang menjadi materi terpenting dalam pembuatan vaksin. Melalui analisa pada virus Covid-19, para ilmuwan dapat membuat vaksin lewat berbagai jenis seperti; melemahkan virus, mematikan virus, atau menggunakan materi di dalamnya sebagai vektor untuk imun.

Ia mengungkapkan, “Vaksin Covid-19 yang dikembangkan saat ini tidak ada yang menggunakan virus yang hidup, karena kekhawatiran habis vaksin malah positif.”

Sebab jika menggunakan cara itu, virus yang dilemahkan saat disuntikkan bisa saja bertemu dengan virus yang sudah ada, dan mengalami pertukaran gen yang menyebabkan pasien menjadi terjangkit.

Menurut platformnya, terdapat tiga jenis: vaksin DNA, vaksin RNA, dan vaksin virus divektor. Cara kerja virus DNA, dikemas dalam bentuk plasmid yang kemudian disuntikkan pada otot untuk masuk ke dalam inti sel kita. Dengan demikian tubuh dapat menghasilkan antigen setelah membaca DNA.

Serupa dengan vaksin DNA, RNA setelah disuntikkan bukan mengarah ke inti sel melainkan ke ribosom. Ribosom sendiri merupakan salah satu organ yang berfungsi sebagai sumber tenaga sel atau sintesis protein. Ketika mendapatkan informasi genetik RNA vaksin, terbentuklah protein yang membentuk antigen dalam tubuh dan membutuhkan waktu yang tak singkat.

Sedangkan vaksin melalui virus yang divektor merupakan platform vaksin yang menggunakan gen virus—dalam kasus ini Covid-19—yang menumpang pada virus vaccinia.

“Virus vaccinia ini adalah virus hidup yang berisi informasi yang menjadi virus tujuan kita, maka terbentuklah antigen-antigen yang mewakili target kita [setelah disuntikkan ke dalam tubuh],” jabarnya.

Meskipun vaksin Covid-19 dapat menangkal virus ke dalam tubuh, tetapi bukan berarti semua masyarakat dapat mendapatkan vaksinasi. Terdapat pertimbangan yang perlu diperhatikan, seperti riwayat penyakit dan tekanan darah yang tak melampaui 140/90.

Baca Juga: Rekristalisasi Plastik, Proses Ramah Lingkungan Daur Ulang Limbah APD

Pertimbangan lainnya juga membuat regulasi vaksinasi hanya diberikan kepada usia produktif, 18-59 tahun. Alasan utamanya demi tercapainya target kekebalan komunal Indonesia. Soebandrio menyebut, bahwa golongan produktif ini sering berkegiatan di luar rumah daripada lainnya. Apabila golongan itu divaksinasi terlebih dahulu, diperkirakan dapat mencegah penularan virus kepada bayi dan lansia.

"Karena kalau kita gunakan usia lanjut masih ada terjadinya penuaan dari respon imun, kalau yang terlalu muda [di bawah 18 tahun] belum terlalu matang [respon imunnya]," jelasnya. "Nah, setelah itu pasti akan dilanjutkan uji klinis untuk umur di luar itu, tapi sampai saat ini vaksin-vaksin ini diuji untuk [usia] 18-59 tahun."