Nationalgeographic.co.id—Plastik merupakan bahan baku pembuatan APD (alat pelindung diri) seperti masker, sarung tangan hingga hazmat. Ocean Conservacy melaporkan, bahwa setidaknya terdapat 129 miliar masker sekali pakai dan 65 miliar sarung tangan medis yang digunakan seluruh dunia setiap bulannya.
Jumlah produksinya kian masif semenjak pagebluk Covid-19 yang bermula di Indoensia pada Maret tahun silam. Akibatnya, plastik medis menambah permasalahan lingkungan sepanjang masa krisis ini, yakni limbah APD yang makin mencemari lingkungan.
Di Indonesia, khususnya Teluk Jakarta, para peneliti LIPI mencatat bahwa limbah APD menjadi penyumbang terbesar. Mereka memperkirakan, limbah yang mendominasi itu akan berdampak buruk bagi lingkungan dan ekosistem. Limbah APD dinilai menjadi sumber mikroplastik yang beracun.
Baca Juga: Tak Hanya Sebabkan Krisis Kesehatan dan Ekonomi, Covid-19 Turut Ancam Keberlangsungan Ekosistem Laut
"Semenjak masa pandemi, penggunaan masker medis pada masyarakat umum semakin meningkat, sehingga perlu antisipasi terhadap limbah masker medis,” terang Agus Haryono, dari LIPI dalam rilis pers.
Untuk mengentaskan masalah lingkungan itu, ilmuwan Pusat Penelitian Kimia LIPI, Sunit Suhendra, menyebut bahwa metode rekristalisasi dapat diaplikasikan pada semua jenis limbah plastik seperti PE (Polyethylene), PP (Polupropylene), PVC (Polyvinyl Chloride), PS (Polystryerene).
"Sebenarnya (rekristalisasi) bukan ilmu yang baru. Metode ini menggunakan salah satu prinsip sifat dari plastik yang jarang diperhatikan," jelas Sunit Hendrana, saat dihubungi National Geographic Indonesia.
Salah satu sifat plastik adalah dapat dilarutkan. Sifat itulah yang menjadi prinsip penelitian yang dilakukan Sunit. Ia menilai metode ini memiliki keunggulan karena mudah dilakukan, bahan-bahannya mudah ditemukan, dan lebih sedikit menghasilkan polusi jika dibandingkan dengan pembakaran atau metode pelelehan yang biasanya dilakukan.
Menurutnya, metode pegolahan sampah plastik yang biasa digunakan lewat pembakaran daur ulang atau pelelehan kembali itu memiliki banyak kekurangan.
"Kalau pakai cara yang biasa dengan membuat granula atau pellet, itu akan kesulitan untuk pengumpulan dan prapemilihannya," paparnya. "Belum lagi ada persyaratan steril yang harus dilakukan sebelumnya."
Dalam buku Experimental Organic Chemistry: Principles and Practice yang ditulis Laurence M Harwood dan Christopher J. Moody, proses rekristalisasi adalah teknik untuk memurnikan zat kimia. Suhu zat pelarut yang digunakan pada proses ini haruslah sepertiga lebih kecil dari titik lebur logam.
Baca Juga: Saya Pilih Bumi: Laut Bukan Tempat Sampah, Jaga Tetap Lestari
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR