Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa

By Utomo Priyambodo, Kamis, 4 Februari 2021 | 00:03 WIB
Lukisan bertajuk De suikerfabriek Kedawong bij Pasoeroean op Java karya H.Th. Hesselaar, 1849. Pemandangan kompleks Pabrik Gula Kedawong dekat Pasuruan di Jawa. Beberapa sosok berteduh di bayang-bayang tembok putih. (Rijksmuseum Amsterdam)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi ekonomi menemukan adanya efek kompleks kebijakan kolonial Hindia Belanda terhadap kondisi ekonomi di daerah-daerah hingga saat ini. Studi ini dikerjakan oleh dua profesor ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University di Amerika Serikat. Mereka menemukan keterkaitan antara produksi gula era kolonial Hindia Belanda dengan aktivitas ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini.

Menurut hasil studi tersebut, wilayah Indonesia yang pernah menjadi industri gula besar pada  1800-an, ternyata tetap lebih produktif secara ekonomi hingga saat ini dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Studi ini berfokus pada Pulau Jawa, yang memiliki banyak jejak-jejak pabrik gula era Hindia Belanda.

Studi secara lebih rinci menemukan bahwa desa-desa di sekitar tempat pembangunan pengolahan gula era 1830 sampai 1870-an itu, kini memiliki kegiatan ekonomi yang lebih besar, manufaktur yang lebih luas, dan bahkan lebih banyak infrastruktur sekolah. Hal terakhir ini berdampak pula pada tingkat pendidikan warga yang lebih tinggi.

“Tempat-tempat Belanda mendirikan [pabrik gula] tetap bertahan sebagai pusat manufaktur,” ujar Benjamin A Olken, profesor ekonomi MIT yang menjadi salah satu peneliti dalam studi ini, sebagaimana dilansir dalam laman MIT.

Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia

Lukisan berjudul De suikerfabriek Kemanglen bij Tegal op Java karya Ab Salm, sekitar 1870-1875. Pabrik gula Kemanglen dekat Tegal di Jawa Tengah, didirikan pada 1841 oleh Th. Lucassen. Pemandangan pabrik gula dengan cerobong asap. Tampak rumah administrator dengan bendera Belanda. (Rijksmuseum Amsterdam)

Olken mengungkapkan, salah satu hubungan historis antara “Sistem Budidaya Belanda” dahulu dan aktivitas ekonomi di Indonesia saat ini kemungkinan besar telah diteruskan “melalui beberapa kekuatan”. Salah satunya, kata Olken, adalah pembangunan “infrastruktur pelengkap” seperti rel kereta api dan jalan raya, yang tetap bertahan di masa pemerintahan Indonesia saat ini.

Mekanisme lainnya, jelas Olken, adalah industri-industri lain tumbuh di sekitar industri gula ini dan industri-industri tersebut terus bertahan hingga kini. “Dan begitu Anda memiliki lingkungan manufaktur ini, hal itu dapat menyebabkan perubahan lain: Lebih banyak infrastruktur dan lebih banyak sekolah yang bertahan di area ini juga.”

Bagaimanapun, Olken menegaskan, temuan studi ini bukanlah bentuk pembenaran atau persetujuan atas perbuatan masa lalu kolonial Belanda yang menjajah rakyat Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda telah menerapkan “Sistem Budidaya” (Cultuurstelsel) yang dikenal sebagai tanam paksa dan kerja paksa, serta mengekang hak-hak asasi dan hak-hak politik penduduk Indonesia. Namun yang pasti, kekuasaan Belanda ternyata memiliki dampak jangka panjang di banyak bidang kehidupan sipil masyarakat Indonesia.

Olken menjelaskan, secara historis Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia. Tanaman utamanya adalah padi, dan makanan utama penduduknya adalah besar. Mulai tahun 1830-an, Belanda menerapkan sistem tanam paksa gula di beberapa daerah, membangun 94 pabrik pengolahan gula, serta jalan raya dan rel kereta api untuk mengangkut bahan dan produk pengolahan tersebut.

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19

De suikerfabriek Pangka, Residentie Tagal, karya Abraham Salm sekitar pertengahan abad ke-19. ‎ (Tropenmuseum)