Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 4 Februari 2021 | 08:00 WIB
Panorama sawah berundak atau sering disebut dengan terasering di Desa Ceking, Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Warnanya yang hijau nan memanjakan indera mata kita menjadikan kawasan ini ramai dikunjungi wisatawan dalam maupun luar negeri. Kawasan wisata ini berada 32 kilometer dari Kota Denpasar. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia.)

Menurut Zheng, temuan ini tidak berlaku pada lintas negara. “Dengan kata lain, negara dengan suhu dan kelembapan yang meningkat mungkin mengamati dampak negatif perubahan iklim pada jumlah [turis], tetapi itu tidak berarti [bahwa] negara dengan cuaca yang lebih panas dan basah mendapatkan lebih sedikit turis daripada negara lain,” ujarnya seperti dikutip dari SciDev.Net.

“Misalnya, meskipun Thailand lebih panas dan lebih lembap daripada Indonesia, ciri khasnya pada daya tarik nasional dan lokasi geografisnya mungkin menjadi faktor paling menonjol yang berkontribusi terhadap jumlah wisatawan internasional di sana.”

Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia

Kaitano Dube, dosen manajemen ekowisata di Vaal University of Technology, Gauteng, Afrika Selatan, mengatakan, “Studi ini penting karena memperkuat perdebatan tentang dampak buruk dari pemanasan global yang didorong oleh antropogenik [yang disebabkan oleh manusia] pada salah satu sektor ekonomi paling sensitif, industri pariwisata [jika kita ingin melihat temuan terbaru ini].”

Ia mengatakan kepada SciDev.Net bahwa perhatian yang cermat perlu diberikan pada dampak pemanasan global terhadap pasar pariwisata di berbagai destinasi.

Menurut Arsum Pathak, pengajar di School of Geosciences, University of South Florida, Amerika Serikat, temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa perubahan pola pariwisata dapat disebabkan bahkan oleh perubahan suhu dan kelembapan secara bertahap. Dalam riset ini bahkan oleh perubahan suhu dan kelembapan yang sangat kecil, yakni satu persen.

“Dengan suhu global yang cenderung meningkat bahkan dengan skenario kasus terbaik sekalipun, perubahan iklim tidak lagi menjadi risiko yang bisa dianggap jauh bagi bisnis pariwisata di negara-negara kepulauan,” imbuhnya.