Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 4 Februari 2021 | 08:00 WIB
Panorama sawah berundak atau sering disebut dengan terasering di Desa Ceking, Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Warnanya yang hijau nan memanjakan indera mata kita menjadikan kawasan ini ramai dikunjungi wisatawan dalam maupun luar negeri. Kawasan wisata ini berada 32 kilometer dari Kota Denpasar. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia.)

Nationalgeographic.co.id—Saat ini sektor pariwisata di Indonesia sedang mengalami pukulan besar akibat pandemi COVID-19. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke tanah air yang turun drastis.

Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), kunjungan wisman ke Indonesia tahun 2020 diproyeksikan menurun hingga 74,7 persen. Penurunan ini terjadi akibat banyaknya pembatasan perjalanan yang ditetapkan negara-negara di dunia akibat pandemi Covid-19.

“Pandemi kita merasakan luar biasa dampak negatifnya. Kunjungan turun secara drastis,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam gelaran Jumpa Pers Akhir Tahun Kemenparekraf, akhir tahun 2020.

Berdasarkan data dari Kemenparekraf yang dipaparkan Sandiaga, jumlah kunjungan wisman tahun 2020 adalah sekitar 4 juta orang. Jumlah tersebut cukup memenuhi target Kemenparekraf, yakni 2,8–4 juta kunjungan wisman. Namun jumlah tersebut menurun cukup tajam dari jumlah kunjungan tahun 2019, yakni 16,11 juta kunjungan.

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19

Selain pandemi, hal lain yang sebenarnya juga bisa mempengaruhi tingkat kedatangan turis asing atau wisman ke lokasi-lokasi wisata di Indonesia adalah perubahan iklim. Menurut hasil sebuah riset yang telah diterbitkan di Journal of Cleaner Production pada 2020 lalu, secara global, perubahan iklim telah berdampak pada pariwisata, sektor yang penting bagi ekonomi beberapa negara, termasuk Indonesia.

Berdasarkan hasil riset ini, setiap kenaikan satu persen suhu dan satu persen kelembapan relatif di Indonesia terkait dengan penurunan kedatangan turis internasional masing-masing sebesar 1,37 persen dan 0,59 persen. Riset ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari provinsi-provinsi di Indonesia yang paling disukai oleh wisatawan internasional yang melakukan perjalanan selama tahun 2008-2018.

“Temuan ini [akan membantu] mengembangkan wawasan baru untuk adaptasi perubahan iklim bagi para pembuat kebijakan dan industri pariwisata di Indonesia serta di destinasi hangat lainnya,” tulis para peneliti dalam laporan hasil riset tersebut.

Baca Juga: Dalam Sehari Tiga Orangutan di Kalimantan Tengah Berhasil Diselamatkan

Wisatawan asing berjemur usai menyeburkan diri di laut nan jernih. (Valentino Luis/National Geographic Traveler)

Pada 2019, sebanyak 16,11 juta wisman dari berbagai negara, termasuk Australia dan China, berkunjung ke Indonesia, menurut data resmi, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 15,81 juta. Berkenaan dengan kedatangan wisatawan asing di tempat-tempat wisata unggulan Indonesia, data menunjukkan bahwa pada 2019 Jakarta mengalami penurunan jumlah wisatawan internasional sebesar 14,05 persen jika dibandingkan dengan 2018. Namun, Pulau Bali di Indonesia, yang terkenal dengan pantai, pura Hindu, dan sawah teraseringnya, menunjukkan sedikit peningkatan dalam jumlah wisatawan internasional, yakni sebesar 3,55 persen.

Xinzhu Zheng, asisten profesor di School of Economics and Management, China University of Petroleum, Beijing, yang merupakan salah satu peneliti dalam riset ini, mengatakan bahwa korelasi negatif antara suhu, kelembapan, dan kedatangan turis dimungkinkan karena suhu yang lebih tinggi memperburuk kenyamanan iklim di sebuah negara kepulauan dengan cuaca tropis.

Menurut Zheng, temuan ini tidak berlaku pada lintas negara. “Dengan kata lain, negara dengan suhu dan kelembapan yang meningkat mungkin mengamati dampak negatif perubahan iklim pada jumlah [turis], tetapi itu tidak berarti [bahwa] negara dengan cuaca yang lebih panas dan basah mendapatkan lebih sedikit turis daripada negara lain,” ujarnya seperti dikutip dari SciDev.Net.

“Misalnya, meskipun Thailand lebih panas dan lebih lembap daripada Indonesia, ciri khasnya pada daya tarik nasional dan lokasi geografisnya mungkin menjadi faktor paling menonjol yang berkontribusi terhadap jumlah wisatawan internasional di sana.”

Baca Juga: Riset Ungkap Bagaimana Medsos Perburuk Kesehatan Mental di Indonesia

Kaitano Dube, dosen manajemen ekowisata di Vaal University of Technology, Gauteng, Afrika Selatan, mengatakan, “Studi ini penting karena memperkuat perdebatan tentang dampak buruk dari pemanasan global yang didorong oleh antropogenik [yang disebabkan oleh manusia] pada salah satu sektor ekonomi paling sensitif, industri pariwisata [jika kita ingin melihat temuan terbaru ini].”

Ia mengatakan kepada SciDev.Net bahwa perhatian yang cermat perlu diberikan pada dampak pemanasan global terhadap pasar pariwisata di berbagai destinasi.

Menurut Arsum Pathak, pengajar di School of Geosciences, University of South Florida, Amerika Serikat, temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa perubahan pola pariwisata dapat disebabkan bahkan oleh perubahan suhu dan kelembapan secara bertahap. Dalam riset ini bahkan oleh perubahan suhu dan kelembapan yang sangat kecil, yakni satu persen.

“Dengan suhu global yang cenderung meningkat bahkan dengan skenario kasus terbaik sekalipun, perubahan iklim tidak lagi menjadi risiko yang bisa dianggap jauh bagi bisnis pariwisata di negara-negara kepulauan,” imbuhnya.