Nationalgeographic.co.id – 27 Februari 1942, merupakan sejarah kelam bagi Sekutu yang tergabung dalam ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Commando) untuk mempertahankan Hindia Timur agar tidak jatuh ke tangan Kekaisaran Jepang di Laut Jawa.
Armada laut Belanda menggunakan HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, dan HNLMS Kortenaer, bersama armada sekutu lainnya, karam ditorpedo armada Jepang. Di pihak Belanda korban tewas berjumlah 915 orang, termasuk Jenderal Karel Doorman yang memimpin pertempuran. Secara keseluruhan di kedua belah pihak 2.300 nyawa melayang.
Demi menjaga warisan Karel Doorman, Kerajaan Belanda mencari sisa-sisa Perang Dunia II di Laut Jawa. Mereka kemudian menemuka HNLMS Java dan HNLMS De Ruyter pada 1 Desember 2002 oleh tim penyelam Australia. Sedangkan HNLMS Kortenaer ditemukan pada 2004.
Pada tahun 2016, dalam laporan Journal of Maritime Archaeology sejumlah penyelam independent menyelam kembali kawasan itu. Saat menyelam, mereka tidak menemukan tanda-tanda apapun terkait laporan 2002. Yang tersisa hanyalah cekungan di dasar laut dan serpihan-serpihan kecil.
Baca Juga: Kenaikan Air Laut, Arkeolog Berlomba-lomba Ungkap Misteri Benteng Kuno Sebelum Tenggelam
Informasi terkait laporan mengenai sisa-sisa itu pun diterima oleh Karel Doorman Fonds (KDF). Yayasan Belanda yang memiliki hubungan dengan Karel Doorman itu segera mendesak pemerintah Belanda melakukan peninjauan. Pemerintah Belanda melanjutkannya pada pihak Pemerintah Indonesia.
“Indonesia juga merespon itu dengan melalui jalur diplomatik, difasilitasi juga oleh Kemenlu untuk mengumpulkan bukti di dasar laut,” terang Shinatria Adhityatama dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PUSLIT ARKENAS) yang turut membuat studi.
“Nah yang diundang itu adalah ARKENAS, kantor yang fungsinya melakukan riset arkeologi yang di darat dan laut.”
Terkait pelaporan itu, dari 6 hingga 9 Februari 2017, kedua negara bertemu di Jakarta dan melakukan babak—atau mereka sebut sebagai track—pertama: memverifikasi bersama tentang status bangkai kapal HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, dan HNLMS Kortenaer. Tujuannya agar mevalidasi informasi yang dikumpulkan penyelam pada 2016, dan membahas hilangnya kapal-kapal itu.
“Memang kalau dari hasil riset ini sepertinya [kehilangan ini akibat] adanya aktivitas ilegal. Pengangkatan yang cukup terorganisir—bukan perorangan, soalnya ini ada di perairan laut dalam sekali,” terang Shinatria saat dihubungi National Geographic Indonesia (06/02).
Ini dibuktikan berdasarkan hasil penyelaman resmi yang dilakukan pihak Indonesia dan Belanda. Di lokasi, mereka menemukan tali yang sempat diduga sebagai jaring ikan, tetapi kemudian disimpulkan sebagai sisa-sisa pengangkutan ilegal dengan cara yang kasar.
Baca Juga: Sisa Reruntuhan Salah Satu Masjid Tertua di Dunia Ditemukan di Israel
Kedua belah pihak kemudian membahas di track kedua. Bertujuan menyelidiki skenario tentang apa yang terjadi pada bangkai kapal dan siapa yang mesti bertanggung jawab berdasarkan hukum.
“Dari awal track [kedua] ini, ada pemahaman antar kedua pemerintah bahwa ini bisa menjadi babak tersulit dan sensitif bagi keduanya. Di satu sisi penyelamatan bangkai kapal kemungkinan besar sangat tipis, tetapi masalah besar yang mengakibatkan perpecahan bisa muncul dari perihal kepemilikan resminya,” tulis Shinatria bersama tim.
Secara kepemilikan berdasarkan bendera memanglah milik Belanda, tetapi juga sekaligus milik Indonesia dalam konteks teritorial. Jalur ini kemudian disepakati dalam pertemuan track ketiga sebagai tanggung jawab bersama.
Pada track ketiga, kedua belah pihak membuat rencana untuk kerja sama. Kerja sama ini disepakati pada Februari 2017 antara Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu pengetahuan belanda dengan Kemendikbud Indonesia.
Kerja sama itu kemudian menghasilkan eksekusi bersama untuk penyelaman pada Juni 2019 antara PUSLIT ARKENAS dan Cultural Heritage Agency of the Netherlands (RCE). Penyelidikan itu diselenggarakan pada Juni selama 10 hari di lokasi tiga bangkai kapal Belanda itu. Tujuannya adalah memetakan dasar laut secara sitematis di lokasi tersebut.
Menggunakan kapal Baruna Jaya II, ekspedisi penelitian itu berhasil mendokumentasikan dasar laut menggunakan teknik magnetometer, multibeam echosunder, ROV, pemindaian sonar, dan sub-bottom profiler.
Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa
Kondisi ketiga situs dilaporkan sebagai berikut:
Pada HNLMS Java yang ditumpangi Karel Doorman di masa lalu secara kasatmata hanya menyisakan cekungan, dan ditemukan bahan logam tepat di bawah sedimen berpasir, kotak kartrid sepanjang 15 cm. Banyak ditemukan sisa-sisa pengangkutan ilegal di lokasi.
Hampir sama dengan HNLMS Java, HNLMS De Ruyter kondisinya sekitar 5%. Terdapat puing-puing kecil, tidak ditemukan benda pribadi yang dapat mendokumentasi sejarah. Sebagian kapal juga ditemukan terkubur di pasir dasar laut, dan ditemukan pula sisa-sisa pengangkutan paksa seperti tali tebal.
HNLMS Kortenaer memiliki kondisi yang lebih baik, 85 hingga 90% ditemukan utuh sebagaimana laporan dari tahun 2016. Tinggi kapal itu mencapai 10 meter di dasar laut, dengan sisi logam yang rusak dan penyok akibat usaha pengangkutan ilegal.
Hasil ekspedisi penelitian ini menjadi titik awal bagi dunia arkeologi Indonesia untuk melestarikan peninggalan di darat maupun di bawah laut. Mengingat, sebenarnya sudah ada regulasi perlindungan dan pelestarian lewat UU Warisan Budaya No. 11.
“Satu kasus yang berhasil oleh kami itu pada HMS Perth di teluk Banten dengan Australia. Kita join research, lalu kita berikan situsnya ke Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi kawasan konservasi maritim,” papar Shinatria.
Meski sudah terlindungi lewat regulasi, tetapi di lapangan masih minimnya pengawasan peninggalan bersejarah di bawah air. Pengawasan ini tentunya membutuhkan peralatan yang memadai, dan SDM yang bertanggung jawab.
Baca Juga: Lukisan Cadas 45.500 Tahun Asal Sulawesi Jadi Temuan Tertua di Dunia
“Peneltian ini is a good start untuk ditiru negara-negara lain. Jika mereka concern akan peninggalannya ada di wilayah Indonesia harus sering lakukan riset bareng ARKENAS seperti yang dilakukan Belanda,” tawarnya agar ada permintaan negara-negara yang pernah bertempur di teritori Indonesia.
“Mungkin berita kapal-kapal sekutu dari Perang Dunia II ini kurang perhatian karena adanya anggapan ‘ini kan kapal asing, ngapain kita urusin?’. Opini itu dari orang yang tidak sadar sejarah, padahal kalau sadar kita dulunya tergabung di Hindia Belanda”
“[ketiga kapal yang tenggelam] Ini simbol berakhirnya penjajahan. Jadi Battle of Java Sea ini simbol yang mengubah geopolotik di dunia, dan Indonesia yang dampaknya yang dikuasai Jepang hingga muncul peluang kemerdekaan kita,” pungkasnya untuk meningkatkan kesadaran akan sejarah.