Menurunnya Daya Kebal Mengakibatkan Infeksi Covid-19 Kedua Kali

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 8 Februari 2021 | 14:42 WIB
Berkat terapi plasma darah, pasien Covid-19 bisa lepas dari ventilator. ()

Nationalgeographic.co.id—Para ahli berpendapat, bila sekali terpapar daya tahan tubuh berkembang untuk mencegah terserang virus yang sama untuk kedua kalinya. Tetapi pada beberapa kasus, ternyata paparan virus Covid-19 dapat terjadi untuk kedua kalinya, dan para dokter mulai waspada.

Para dokter dari Yale University School of Medicine, melaporkan bahwa ada kemungkinan serangan kedua Covid-19 di waktu terpisah. Mereka memublikasikan laporannya dalam jurnal BMJ Case Report setelah merawat seorang pasien yang terpapar kembali.

Pasien tersebut kembali positif, setelah sebelumnya sempat sembuh selama empat bulan. Selama kepulihannya itu, ia juga sempat tak memiliki gejala dan hasil tesnya negatif.

Baca Juga: Tak Semua Anak Bebas COVID-19, Perlukah Penanganan Khusus Pediatri?

Dalam laporan, mereka menduga bahwa penyebabnya adalah kekebalan yang lemah dapat meningkatkan risiko infeksi kembali. Para dokter juga berpendapat, bahwa mungkin saja infeksi pertama justru lebih lemah daripada yang kedua kalinya.

Saat ini masih menjadi teka-teki bagi mereka mengapa terdapat orang-orang yang terinfeksi Covid-19 kedua kalinya. Sebab masih sedikitnya kasus yang telah dilaporkan di seluruh dunia mengenai fenomena ini. Misteri lainnya dari kasus kali ini, benarkah infeksi kali kedua disebabkan pelepasan virus yang terus menerus, atau virus yang sempat tak terdeteksi sejak awal.

Sebelumnya, pasien berusia sekitar 40 itu sempat sembuh pada April 2020, setelah terinfeksi parah. Infeksi yang berikutnya terjadi sekitar Agustus 2020 itu cenderung lebih ringan dari sebelumnya.

Pasien itu juga menderita diabetes tipe 2 yang cukup terkontrol, kelenjar tiroid yang kurang bekerja optimal, dan mengalami obesitas. Kondisi itu diyakini sebagai faktor membuat penyakit Covid-19 berkomplikasi lebih parah.

Berdasarkan catatan perawatan rumah sakit, ketika terinfeksi pertama kali, pasien itu mengalami kesulitan bernafas, sehingga ia membutuhkan ventilator. Dokter juga memberikannya pengencer darah dan berbagai obat lain yang umum digunakan untuk mengatasi Covid-19.

Baca Juga: Riset: Virus Corona Lebih Banyak Menular Lewat Udara ketimbang Benda

Ia dirawat di rumah sakit selama dua bulan dan mengalami komplikasi yang sangat serius, seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal, pneumonia, dan gagal ginjal. Kemudian saat kondisinya membaik dibawa ke perawatan akut—seperti trakeostomi setelah intubasi berkepanjangan—untuk rehabilitasi ketergantungan.

 “Saat dibawa ke unit gawat darurat, tanda-tanda vitalnya terlihat pada suhu 101,2 ° F (38,4 oC), denyut jantung 110 denyut per menit, kecepatan pernapasan 30 napas per menit dan saturasi oksigen 95% pada masker non-rebreather,” tulis para dokter yang kali ini meneliti.

“Dia memiliki indeks massa tubuh 41,1 kg / m2. Data laboratorium menunjukkan jumlah sel darah putih 7800 sel / μL (neutrofil 78%, limfosit 17%, monosit 5%), hemoglobin 14,8 g / dL dan jumlah trombosit 204.000 sel / μL.”

Setelah sembuh, selama kurang lebih tiga bulan melakukan tes SARS-CoV-2 RNA yang hasilnya negatif. Tetapi pada bulan keempat ia dinyatakan kembali positif SARS-CoV-2 setelah diuji dengan swab hidung. Karena riwayat empat bulan sebelumnya, pihak rumah sakit merawatnya selama sehari.

Namun berdasarkan wawancara dengan dokter di hari itu, pasien juga mengakui bahwa dirinya sesekali tersedak, sesak napas, dan suaranya menjadi serak. Kemudian ia dirawat inap di rumah sakit selama seminggu.

Baca Juga: Wabah COVID-19, Peluang Perempuan Indonesia untuk Akrabi Teknologi

Ketika dinyatakan kembali positif, ia bersikeras bahwa selama empat bulan hanya sedikit berinteraksi dengan orang lain. Di rumah, ia hanya berinteraksi dengan kerabat dan keluarga dekatnya yang sama sekali tidak memiliki gejala dan tidak sakit apapun dalam jangka waktu dekat.

Para ahli yang mendiagnosa menyimpulkan bahwa kejadian ini mungkin dikarenakan infeksi ulang. Gejala yang kali ini lebih ringan, bisa jadi disebabkan karena sisa kekebalan dari infeksi parah pertama, ungkap mereka.

Sedangkan Centers of Disease Control and Prevention (CDC), sebelumnya beranggapan kejadian terinfeksi kedua kalinya disebabkan adanya pelepasan virus lanjutan yang sudah diidap.

Para dokter bersiteguh dalam laporannya, “Ketika pagebluk Covid-19 berevolusi, laporan yang muncul menunjukkan bahwa infeksi ulang SARS-CoV-2 sangat mungkin, tetapi tes positif RNA SARS-CoV-2 dalam selang waktu yang lama, tidak selalu menunjukkan hasil pelepasan virus dari infeksi Covid-19 sebelumnya yang persis.”

“Kalau pasien dengan penyakit parah mengembangkan tingkat antibodi yang lebih kuat, rentang waktu perlindungan mereka terhadap infeksi ulang dan mengakibatkan keparahan penyakit hingga kejadian, sebenarnya dapat diredam,” tulis mereka.

Tinjauan ini menjadi teka-teki yang perlu dipecahkan ke depannya. Pengamatan pasti akan menjelaskan lebih lanjut mengenai peristiwa ini, apakah yang diungkapkan CDC benar, atau spekulasi para peneliti. Mereka menghimbau agar semua yang sudah terinfeksi Covid-19 agar tetap mengikuti protokol kesehatan seperti masyarakat lainnya yang belum terpapar.