Kuasa Hubungan Mancanegara di Masa Silam antara Champa dan Nusantara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 Februari 2021 | 16:00 WIB
Bangunan kuil peradaban Champa di My Son, Vietnam. (Lionel Lalaité/UNESCO)

Nationalgeographic.co.id—Selama peradaban di Nusantara terdapat ragam dan saling mempengaruhi dengan peradaban lainnya di Asia Tenggara, yang kini menjadi bagian dari negara lain.

Salah satunya adalah Champa, kerajaan kuno yang pernah berdiri di Vietnam itu memiliki banyak interaksi dengan kerajaan di Indonesia kini. Prabu Brawijaya V contohnya. Ia memiliki permaisuri yang berasal dari sana dan sangat berpengaruh di perpolitikan masa senja Majapahit.

Bangsa Champa, dalam buku The Champ of Vietnam karya Tran Ku Phong dan Bruce Lockhart, merupakan peradaban ras Austronesia yang menyerap peradaban, budaya dan agama dari India. Ras Austronesia sudah menetap di dataran Vietnam sejak neolitikum.

Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno

Secara biologis, Austronesia berhubungan dengan Mongoloid--ras yang berkembang di Asia Timur. Itu pula yang menjadi alasan kekaisaran-kekaisaran di Tiongkok kerap menguasainya, walau kerap pula mereka merdeka dengan memanfaatkan perpecahan.

Kerajaan pertama dalam kerajaan Champa bermula dari Lin Yi yang berdiri sejak abad ke-2 yang kerap dikuasai berkali-kali oleh Tiongkok. Kerajaan itu bercorak Hindu-Buddha dan menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Champa berjalan dengan sistem konfederasi.

Meski berbatasan langsung dengan Tiongkok, lantas mengapa bahasa dan budaya dari India lebih diterima bagi masyarakat Champa?

Anne-Valerie Schweyer dalam Ancient Vietnam: History, Art, and Archaeology, bahwa model kebudayaan Tiongkok bersifat imperialis. Bagi masyarakat Champa, model ini tidak cocok dengan sifat mereka yang memiliki filosofi kebebasan dan independen. Mereka menganggap kebudayaan India memiliki struktur sosial-politik yang lebih sesuai.

Baca Juga: Lima Makanan Khas Vietnam yang Lezat dan Bisa Ditemui di Indonesia

Pada abad ke-9, barulah prasasti berbahasa Champa yang bercorak Melayu-Austronesia muncul. Bahasa ini digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan bangsa Sansekerta digunakan untuk keagamaan. Berangsur-angsur dari abad ke-11 hingga ke-13, bahasa Champa menggeser dominasi Sansekerta dan menjadi bahasa resmi.

Hubungan dengan peradaban di Nusantara

Seperti yang dipaparkan di awal, Champa banyak sekali disebutkan dalam narasi sejarah Nusantara. Bahkan sejarawan Asia Tenggara, Michael Vickery lewat The Cham of Vietnam, memperkirakan bahwa asal-usul orang Champa dari kepulauan Asia Tenggara. Dugaan itu diperkuat karena kebahasaannya yang mirip dengan bahasa Melayu dan Aceh.

Vickery menjabarkan dalam bukunya, bahwa jalur migrasi Austronesia-Champa bermula dari Formosa, Kalimantan, dan berlabuh di Vietnam bagian selatan. Dengan kata lain, ia menyimpulkan, bahwa orang Champa adalah pelaut yang maju pada masanya.

Asumsi ini juga diamini oleh Anne-Valerie. Ia melihat bahwa arsitektur kerajaan Champa, terutama Candi Lembah My Son F1, dan Candi Po Dam di Binh Thuan sangat dipengaruhi dengan kebudayaan Jawa.

Lewat kisah lisan Aji Saka juga menyebutkan hubungan keduanya. Dalam legenda itu, disebutkan bahwa ia sempat tinggal di Champa dan menikah dengan Putri Prabawati di sana. Kunjungan itu terjadi setelah ia menyebarkan agama Hindu di Pulau Jawa.

Hubungan Champa dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan Asia Tenggara terekam dalam prasasti mereka. Disebutkan dalam prasasti Champa, bahwa Sriwijaya merupakan tempat asal singa untuk persembahan Champa kepada Dinast Song pada 1011.

Seorang Muslim Cham tengah membaca al Quran di masjid Al Azhar di Provinsi An Giang, Vietnam. (Lutfi Fauziah)

Singa bukanlah hewan endemik di Asia Tenggara. Tetapi karena Sriwijaya yang menguasai jalur utama perdagangan laut, mereka kerap didatangi pengusaha-pengusaha dari Jazirah Arab, Persia, dan Tiongkok.

Dalam Sejarah Melayu (Dahlan, 2014) Sriwijaya sangat penting bagi Champa sebagai pusat transit mancanegara. Sriwjiaya juga menjadi sekutu untuk melindungi mereka dari perompak yang sempat menyerang ke pusat Champa.

Interaksinya dengan Sriwijaya ini pula, dalam Champa: Kerajaan Kuno di Vietnam (Ibrahim & Putranto, 2016) agama Islam juga berkembang di Champa sejak abad ke-10.

Hubungan dengan Sumatera ini terus berlanjut di masa berikutnya ketika kerajaan dan kebudayaan Aceh dan Minangkabau. Kebudayaan di Sumatera dengan Champa ini memliki kesamaan, yakni berkonsep matrilineal.

Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno

Pada masa berikutnya, Champa di bawah Jaya Simhawarman III turut andil dalam menghalangi serbuan Mongol ke tanah Jawa. Karena sebelumnya, Kertanegara dari Singhasari menikahkan Simhawarman dengan putrinya, Putri Tapasi, dengan tujuan memperkuat kerjasama ekonomi.

Dampaknya, ketika Jaya Simhawarman III mengetahui rencana invasi Mongol ke Jawa dengan membawa 1.000 kapal, ia melarang mereka transit di pelabuhan Champa. Pelarangan ini memaksa bangsa Mongol harus berlayar non-stop 40.000 kilometer yang sangat berisiko.

Risiko pelyaran itu bagi bangsa Mongol berupa ombak yang begitu tinggi, angin dan kencang, dan persediaan makanan yang habis karena keadaan demikian.

Peran Champa di Jawa hadir lewat Ratu Dwarawati, permasuri Brawijaya V yang merupakan putri raja Champa yang sudah memeluk Islam. Ketika dia mendampingi suaminya, ia memiliki peran membantu perpolitikan Majapahit yang tercerai berai.

Meski nasihatnya banyak dipenuhi oleh raja, sikap ini justru menjadi kritik bagi masyarakat Majapahit. Bahkan, menurut Andi Farid Hidayanto dalam jurnal Eksis (Vol.8 Maret 2014) Ki Agung Kutu Suryongalam dari Wengker menyindir Brawijaya V dan Ratu Dwarawati lewat kesenian reog.

Pada 1471, Vijaya (kini Qui Nhon) ibukota Champa jatuh di tangan Dai Viet. Ibrahim dan Putranto menyebut, babak ini menjadi awal dari berakhirnya pengaruh kebudayaan India di Vietnam. Dai Viet dalam penyerangannya menghancurkan kota, menjarah, dan genosida terhadap puluhan ribu warga.

Baca Juga: Pengamatan Transit Venus dari Gang Torong Batavia Abad Ke-18

Penyerangan ini membuat kuasa Kerajaan Champa menyusut di Vietnam selatan, tepatnya di Kauthara (Nha Trang) dan Padunranga (Phan Rang). Tetapi kondisinya yang menyusut, secara militer patut diperhitungkan pada masanya.

Misalnya pada 1594, kerajaan kecil itu sempat mengirim pasukan untuk membantu Kesultanan Malaka yang berperang melawan Portugis. Dua tahun berikutnya, ketika Spanyol tiba di Phnom Penh, catatan sejarah menemukan adanya relawan Champa untuk membantu raja Kamboja.

Kerajaan Champa juga eksis pada 1641 ketika Belanda berhasil menaklukan Portugis di Semenanjung Malaya. Tercatat bahwa Champa membuka hubungan dagang dengan VOC. Keluarga kerajaan juga sempat datang ke Batavia pada 1680 untuk kerja sama.

"Dia [Po Rome, raja Champa] memberikan izin kepada Belanda untuk berdagang di Champa dengan syarat tak menyerang armada Portugis yang juga [telah] menjadi mitra dagang negara itu," tulis Ibrahim dan Syahrizal.

Namun eksistensi kerajaan Champa yang sudah menyusut itu akhirnya dianeksasi Vietnam di bawah kuasa Nguyen Phuoc Chu sekitar 1690. Kerajaan itu tak mendapatkan bala bantuan baik dari Eropa maupun kerajaan yang pernah menjadi mitranya.

Perlahan, perannya di dunia internasional pun meredup seiring Vietnamisasi yang dilakukan pada masyarakat Champa hingga 1823.