Oleh Cahyo Junaedy dan Rieska Wulandari
Nationalgeographic.co.id—Pada suatu hari di tahun 1931 WOJ Nieuwenkamp tercenung. Sebagai seorang pelukis, arsitek, pemahat sekaligus etnolog ia punya imajinasi yang tinggi saat menjejak dataran tinggi Kedu. Dia melihat candi megah bak sekuntum teratai raksasa mengapung di tengah danau. Daun-daunnya mengelilingi bakal buah, seperti padma mekar.
Dua tahun berselang, seniman berkebangsaan Belanda itu menetaskan hipotesis yang menggemparkan lewat bukunya Fiet Borobudur Meer (Danau Borobudur). Menurut dia, Candi Borobudur semula dibangun di tengah telaga, menjadi perlambang mekarnya bunga padma yang mengapung di tengah kolam. Sejak itu, temuan Nieuwenkamp merangsang ilmuwan lain buat membuktikan. Hingga kini.
Pada satu sore medio pertama 2009 di desa Bumisegoro, Magelang, Jawa Tengah, jalan yang gripis membelah sawah yang nyaris simetris. Dari jalan itulah tertangkap potret sempurna: nun jauh di ujung jalan, monumen hitam menyembul kokoh. Angkuh tapi indah. Padu dengan warna hijau pepohonan yang berdiri tegak mengelilinginya.
Keindahannya tergenapkan dengan hamparan luas sawah menguning pada alasnya dan latar garis tipis punggung bukit yang tersaput kabut. Berkas cahaya senja seperti mengiris dari langit seakan paham, mana yang mesti diluputkan dari kuasa gelap: Borobudur. Candi hitam berundak yang dibentuk oleh 2 juta potong batu seberat 1,3 juta ton itu jadi titik yang paling banyak dihujani cahaya. Sekilas semakin membuatnya mirip teratai.
Lewat panorama itu terbayanglah saat Nieuwenkamp melemparkan argumennya. Jelas, dari kejauhan Borobudur tampak seperti padma. Namun satu yang pasti, tidak ada telaga atau bekas danau di kawasan itu. Sejauh mata memandang, Borobudur hanya “digenangi” hamparan padi menguning.
Panorama kawasan Borobudur di hari-hari belakangan ini tentu jauh berbeda dibanding saat Nieuwenkamp menuliskan hipotesisnya. Namun paling tidak ada satu kesamaan, tak ada telaga mengelilingi Borobudur. Yang ada cuma dataran landai menghijau seperti karpet alam terhampar hingga ke perbukitan dan kaki gunung.
Meski telaga yang disebut-sebut itu tak kasatmata--ini yang membuat pernyataan Nieuwenkamp jadi gempar karena tak sesuai fakta dan tak didukung bukti kuat--tak kurang tokoh geologi negeri kincir angin RW van Bemmelen mengamini hipotesis Nieuwenkamp di tahun 1949. Lewat makalahnya “The Geology of Indonesia”, Bemmelen menghubungkan hipotesis tersebut dengan erupsi Gunung Merapi tahun 1006.
Selepas itu, hampir semua kalangan ilmuwan yang mempelajari candi Buddha terbesar di Jawa tersebut baku debat. Penelitian yang minim membuat kesimpulan yang dilontarkan jauh dari memuaskan.