Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur

By National Geographic Indonesia, Rabu, 24 Februari 2021 | 13:50 WIB
Perayaan Waisak di Borobudur. (Hafidz Novalsyah)

Soal keberadaan danau yang memagari candi langsung ditentang Van Erp, insinyur Belanda yang pernah memimpin pemugaran Candi Borobudur kurun 1907-1911. Lewat perdebatan sengit, setidaknya tercatat dalam majalah Belanda terbitan kurun 1933 – 1937, Van Erp Bahkan menganggap Nieuwenkamp berilusi karena pendapatnya minim bukti. Misalkan, tidak ada satu prasastipun yang menyinggung soal danau di kawasan Kedu.

Kesangsian tentang adanya telaga di sekeliling Borobudur bertahan hingga separuh abad kemudian dan menguat tatkala seorang peneliti berkebangsaan India G. Thanikaimoni yang menimba ilmu di French Institute, Pondicherry, Prancis, melakukan riset di kawasan Borobudur pada 1983. Dalam penelitiannya, Thanikaimoni gagal menemukan serbuk sari tanaman air. Dengan begitu dia menyimpulkan, tidak ada danau di kawasan tersebut. Dan riuh perdebatan seperti senyap.

Candi Borobudur (Zika Zakiya)

Perahu karet itu bergerak pelan. Empat orang penumpang di dalamnya—meski memegang dayung—hanya sesekali saja bergerak. Sepertinya, mereka sengaja membiarkan kuasa air menggerakkan arah perahu. Seorang penumpang, dengan wajah berseri menunjuk sebuah tebing menjulang. Perahupun bergegas menggapai lokasi yang ditunjuk.!break!

Inilah titik singgung sungai Elo dan Progo, berjarak 2 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Derasnya kedua arus sungai, menggerus dinding tebing hingga mengelupas. Memperlihatkan lapisan-lapisan tanah di baliknya. Setiap lapisan memiliki warna, tekstur, dan bentuk yang berbeda.

Setelah perahu merapat dan dinding berada dalam jangkauan, lelaki setengah baya--air mukanya semakin berseri—langsung mengeluarkan palu estwing. Lapisan paling gelap dinding dipapas. Sekepalan batu rontok dan jatuh dalam genggaman. Sejurus, batu ini langsung dipecah, diremas jadi bubur. Kedua tangannya yang terampil seperti langsung dapat membaca jenis lapisan hitam ini. “Ini sisa endapan khas danau Borobudur” kata lelaki berambut perak ini singkat.

Helmy Murwanto, si pemilik tangan terampil ini, tak lain adalah ahli geologi asli Muntilan, Yogyakarta. Beberapa tahun terakhir, sungai, lembah, dan perbukitan di sekitar Candi Borobudur jadi laboratoriumnya. Dia sepertinya telah hafal tiap jengkal tanah, batu, sungai, dan perbukitan di dataran Kedu ini. Temuannya seperti membuka kembali lembaran perdebatan usang soal danau Borobudur yang telah lama ditutup.

Lembaran itu dia buka dengan sebuah tantangan. Pasalnya, keyakinan Helmi soal Borobudur dibangun di tengah kepungan air danau bukanlah isapan jempol. Lewat sederet proses penelitian ilmiah dengan bimbingan Sutikno, Guru Besar bidang Geomorfologi UPN Veteran Yogyakarta, Helmy menguak mosaik-mosaik yang membenarkan Nieuwenkamp.

Gambaran kapal pada relief Borobudur, candi megah di Jawa Tengah. (Michael J. Lowe/Wikimedia Commons)

Helmy menemukan data-data geologis yang membuktikan, kawasan di sekitar candi Borobudur memang pernah terdapat danau. “Jika direkonstruksi danau purba Borobudur membentuk elips,” ujar Helmy di ruang kerjanya yang sesak oleh buku, komputer, serta berbagai contoh batuan dan mineral di kompleks kampus UPN Veteran pada paruh pertama tahun silam. “Danau itu mencakup wilayah dengan batas selatan di Perbukitan Menoreh hingga 10 km ke utara, sementara ke timur membujur sepanjang 7-8 kilometer dari Jembatan Wangon hingga Klipoh, Magelang, Jawa Tengah,” ujarnya. !break!

Helmy melihat, gugusan Bukit Menoreh dapat menjadi benteng yang kuat dalam membendung air. Dia juga menengok lokasi pertemuan antara Sungai Elo dan Sungai Progo di Desa Bojong, Magelang. “Sungai –sungai ini tak hanya mengalirkan air dari pegunungan, tetapi juga lempung yang bersifat permeable (tahan air), sebuah material yang tepat untuk menjadi pelapis kedap air, sehingga air tidak merembes ke dalam tanah dan tertahan hingga akhirnya terbentuk menjadi danau,” ujar lelaki berkacamata tersebut.

Di lokasi pertemuan dua sungai itu terdapat tebing-tebing menjulang setinggi 12 meter yang tersusun atas lapisan-lapisan tanah berwarna cokelat, lapisan piroklastik berwarna semi abu-abu yang merupakan hasil proses vulkanis dan paling bawah adalah tanah yang berwarna hitam pekat. Tanah atau lempung hitam pekat ini juga senada dengan tanah yang ada di dasar sungai.

Lempung hitam adalah lapisan khas kaya zat organik yang menyiratkan bahwa lapisan itu terbentuk dari material yang dibawa aliran sungai dan akhirnya mengendap bersama tumbuh-tumbuhan air. “Lapisan inilah yang memungkinkan kawasan ini menjelma danau karena sifatnya menahan air,” kata Helmy yang mengambil contoh lempung dari tebing dan dasar sungai untuk diteliti di laboratorium kampus.

Relief dalam salah satu lorong Candi Borobudur, yang difoto oleh Isidore van Kinsbergen pada 1873. (Tropenmusem)

Dari serpihan tanah tersebut, dia gembira menemukan sampel serbuk sari tanaman-tanaman air, yaitu teratai, genjer, paku-pakuan, dan rumput air. “Hanya pada situasi air tenanglah tanaman air ini tumbuh,” jelasnya. Jadi, lanjutnya, jika di sample tanah ini terdapat serbuk sari tumbuhan air, itu artinya air yang dulu ada di sekitar sini adalah air yang “diam” atau tenang. “Dan itu bisa saja danau,” ujar Helmy bersemangat.

Helmy mengaitkan temuannya itu dengan rujukan hasil penelitian geologi yang menunjukkan, cekungan di kawasan Borobudur terbentuk sekitar 1,8 juta tahun silam akibat proses tektonik (perlipatan, pengangkatan, dan persesaran kerak bumi). Pada masa itu terjadi gerakan sesar di bagian utara Jawa sehingga mengakibatkan penenggelaman di beberapa wilayah di mana tanah masuk hingga di bawah muka air laut sehingga terbentuklah cekungan yang terisi air laut--Helmy mengistilahkannya dengan cekungan Borobudur.!break!

Waktu berjalan, terjadi pula aktivitas vulkanis berupa lelehan lava dan pembentukan gunung api seperti Gunung Tidar di Magelang, Gunung Telomoyo, Andong, dan disusul dengan terbentuknya gunung api yang lebih besar seperti Merbabu, Merapi, Sumbing, dan Sindoro.

Kemunculan beberapa gunung api tersebut mengakibatkan cekungan yang terisi air laut menjadi tertutup. Sungai yang kemudian mengalir dari berbagai gunung di sekitarnya mengisi cekungan dengan air tawar. Sementara air laut yang asin terjebak dan tertahan di lapisan bawah tanah.

Saat ini di sekitar Borobudur yang relatif terletak di tengah Pulau Jawa memang ada sejumlah sumber air asin. “Jangan heran kalau banyak mata air asin di sekitar perbukitan di kawasan Borobudur. Itu membuktikan dulu daerah ini begitu cekungnya sehingga air laut masuk dan akhirnya terperangkap jauh di dasar tanah,” tutur Helmy.

Pemandangan matahari terbenam di daerah Borobudur. Foto diambil dari Desa Candirejo, sebuah desa wisata. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Yang jelas dia menambahkan, danau di kawasan Borobudur sudah ada jauh sebelum Borobudur dibangun. berdasarkan analisis karbon C14 yang dia lakukan pada 2001, diketahui bahwa endapan lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun sementara lempung hitam yang dibor dari sumur kedalaman 40 meter di sebuah rumah tak jauh dari Candi Borobudur diketahui umurnya 22 ribu tahun.

Selain itu, dari berbagai contoh material yang diambil pada luasan yang lebih besar, 10 kali 8 kilometer, informasi yang diperoleh pun sama. Helmy menemukan lapisan yang hampir seragam, yaitu lempung dengan kandungan serbuk sari tanaman air. Inilah yang membuat dia menyimpulkan, danau Borobudur menggenangi kawasan ini pada kurun 22.000 hingga 660 tahun silam. Sementara itu, Borobudur dibangun oleh Samaratungga dari Wangsa Syailendra pada sekitar 800-an Masehi atau sekitar 1.200-an tahun lampau.

Dengan mengacu pada pola pembangunan tempat suci yang lain, Helmy yakin Candi Borobudur dibangun di sebuah tanjung yang menjorok ke danau. “Pura hindu di Tanah Lot Bali itu kan candi yang dibuat di atas tanjung, tapi mengarah ke laut. Nah Borobudur dibuat seperti itu,” katanya.

Temuan Helmy jelas merupakan langkah baru, tetapi tampaknya masih banyak mozaik yang harus dilengkapi dan digenapi, khususnya menyangkut bangunan “teratai di tengah danau”.

Susunan bata kuno itu memanjang dari arah timur ke barat. Warnanya coklat kehitaman, panjangnya tak kurang dari 25 meter dengan ketebalan fondasi sekitar setengah meter. Sisa-sisa pecahan tembikar terserak di sekitar dinding fondasi. Temuan yang berlokasi di kaki bukit Candi Borobudur ini adalah hasil ekskavasi Balai Konservasi Peninggalan Borobudur pada 1997. Jika dilihat dari perspektifnya, tanah di sekeliling fondasi dengan dataran dalam kompleks candi Borobudur seperti dibangun selevel.

Pada tahun 1973, para mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada menggali 200 kotak galian di halaman atas Candi Borobudur. Hasilnya, ditemukan sisa fondasi struktur batu sepanjang 53 cm membujur utara-selatan pada lokasi kira-kira 28 meter di sebelah timur dari tangga timur candi.

Tak jauh dari tempat itu ditemukan stupika--stupa berukuran kecil--berjumlah 2.307 buah dan 252 tablet, berdiameter 6-12 sentimeter dengan permukaan yang dicap gambar Buddha. Kedua benda ini berbahan tanah liat yang tidak dibakar tapi dikeringkan di terik matahari (sun dried).