Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur

By National Geographic Indonesia, Rabu, 24 Februari 2021 | 13:50 WIB
Perayaan Waisak di Borobudur. (Hafidz Novalsyah)

 

Oleh Cahyo Junaedy dan Rieska Wulandari

 

Nationalgeographic.co.id—Pada suatu hari di tahun 1931 WOJ Nieuwenkamp tercenung. Sebagai seorang pelukis, arsitek, pemahat sekaligus etnolog ia punya imajinasi yang tinggi saat menjejak dataran tinggi Kedu. Dia melihat candi megah bak sekuntum teratai raksasa mengapung di tengah danau. Daun-daunnya mengelilingi bakal buah, seperti padma mekar.

Dua tahun berselang, seniman berkebangsaan Belanda itu menetaskan hipotesis yang menggemparkan lewat bukunya Fiet Borobudur Meer (Danau Borobudur). Menurut dia, Candi Borobudur semula dibangun di tengah telaga, menjadi perlambang mekarnya bunga padma yang mengapung di tengah kolam. Sejak itu, temuan Nieuwenkamp merangsang ilmuwan lain buat membuktikan. Hingga kini.

Pada satu sore medio pertama 2009 di desa Bumisegoro, Magelang, Jawa Tengah, jalan yang gripis membelah sawah yang nyaris simetris. Dari jalan itulah tertangkap potret sempurna: nun jauh di ujung jalan, monumen hitam menyembul kokoh. Angkuh tapi indah. Padu dengan warna hijau pepohonan yang berdiri tegak mengelilinginya.

Keindahannya tergenapkan dengan hamparan luas sawah menguning pada alasnya dan latar garis tipis punggung bukit yang tersaput kabut. Berkas cahaya senja seperti mengiris dari langit seakan paham, mana yang mesti diluputkan dari kuasa gelap: Borobudur. Candi hitam berundak yang dibentuk oleh 2 juta potong batu seberat 1,3 juta ton itu jadi titik yang paling banyak dihujani cahaya. Sekilas semakin membuatnya mirip teratai.

Lewat panorama itu terbayanglah saat Nieuwenkamp melemparkan argumennya. Jelas, dari kejauhan Borobudur tampak seperti padma. Namun satu yang pasti, tidak ada telaga atau bekas danau di kawasan itu. Sejauh mata memandang, Borobudur hanya “digenangi” hamparan padi menguning.

Seorang pria membersihkan Candi Borobudur dari lumut menggunakan sapu lidi kecil. Menurut pria terse (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

Panorama kawasan Borobudur di hari-hari belakangan ini tentu jauh berbeda dibanding saat Nieuwenkamp menuliskan hipotesisnya. Namun paling tidak ada satu kesamaan, tak ada telaga mengelilingi Borobudur. Yang ada cuma dataran landai menghijau seperti karpet alam terhampar hingga ke perbukitan dan kaki gunung.

Meski telaga yang disebut-sebut itu tak kasatmata--ini yang membuat pernyataan Nieuwenkamp jadi gempar karena tak sesuai fakta dan tak didukung bukti kuat--tak kurang tokoh geologi negeri kincir angin RW van Bemmelen mengamini hipotesis Nieuwenkamp di tahun 1949. Lewat makalahnya “The Geology of Indonesia”, Bemmelen menghubungkan hipotesis tersebut dengan erupsi Gunung Merapi tahun 1006.

Selepas itu, hampir semua kalangan ilmuwan yang mempelajari candi Buddha terbesar di Jawa tersebut baku debat. Penelitian yang minim membuat kesimpulan yang dilontarkan jauh dari memuaskan.

Soal keberadaan danau yang memagari candi langsung ditentang Van Erp, insinyur Belanda yang pernah memimpin pemugaran Candi Borobudur kurun 1907-1911. Lewat perdebatan sengit, setidaknya tercatat dalam majalah Belanda terbitan kurun 1933 – 1937, Van Erp Bahkan menganggap Nieuwenkamp berilusi karena pendapatnya minim bukti. Misalkan, tidak ada satu prasastipun yang menyinggung soal danau di kawasan Kedu.

Kesangsian tentang adanya telaga di sekeliling Borobudur bertahan hingga separuh abad kemudian dan menguat tatkala seorang peneliti berkebangsaan India G. Thanikaimoni yang menimba ilmu di French Institute, Pondicherry, Prancis, melakukan riset di kawasan Borobudur pada 1983. Dalam penelitiannya, Thanikaimoni gagal menemukan serbuk sari tanaman air. Dengan begitu dia menyimpulkan, tidak ada danau di kawasan tersebut. Dan riuh perdebatan seperti senyap.

Candi Borobudur (Zika Zakiya)

Perahu karet itu bergerak pelan. Empat orang penumpang di dalamnya—meski memegang dayung—hanya sesekali saja bergerak. Sepertinya, mereka sengaja membiarkan kuasa air menggerakkan arah perahu. Seorang penumpang, dengan wajah berseri menunjuk sebuah tebing menjulang. Perahupun bergegas menggapai lokasi yang ditunjuk.!break!

Inilah titik singgung sungai Elo dan Progo, berjarak 2 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Derasnya kedua arus sungai, menggerus dinding tebing hingga mengelupas. Memperlihatkan lapisan-lapisan tanah di baliknya. Setiap lapisan memiliki warna, tekstur, dan bentuk yang berbeda.

Setelah perahu merapat dan dinding berada dalam jangkauan, lelaki setengah baya--air mukanya semakin berseri—langsung mengeluarkan palu estwing. Lapisan paling gelap dinding dipapas. Sekepalan batu rontok dan jatuh dalam genggaman. Sejurus, batu ini langsung dipecah, diremas jadi bubur. Kedua tangannya yang terampil seperti langsung dapat membaca jenis lapisan hitam ini. “Ini sisa endapan khas danau Borobudur” kata lelaki berambut perak ini singkat.

Helmy Murwanto, si pemilik tangan terampil ini, tak lain adalah ahli geologi asli Muntilan, Yogyakarta. Beberapa tahun terakhir, sungai, lembah, dan perbukitan di sekitar Candi Borobudur jadi laboratoriumnya. Dia sepertinya telah hafal tiap jengkal tanah, batu, sungai, dan perbukitan di dataran Kedu ini. Temuannya seperti membuka kembali lembaran perdebatan usang soal danau Borobudur yang telah lama ditutup.

Lembaran itu dia buka dengan sebuah tantangan. Pasalnya, keyakinan Helmi soal Borobudur dibangun di tengah kepungan air danau bukanlah isapan jempol. Lewat sederet proses penelitian ilmiah dengan bimbingan Sutikno, Guru Besar bidang Geomorfologi UPN Veteran Yogyakarta, Helmy menguak mosaik-mosaik yang membenarkan Nieuwenkamp.

Gambaran kapal pada relief Borobudur, candi megah di Jawa Tengah. (Michael J. Lowe/Wikimedia Commons)

Helmy menemukan data-data geologis yang membuktikan, kawasan di sekitar candi Borobudur memang pernah terdapat danau. “Jika direkonstruksi danau purba Borobudur membentuk elips,” ujar Helmy di ruang kerjanya yang sesak oleh buku, komputer, serta berbagai contoh batuan dan mineral di kompleks kampus UPN Veteran pada paruh pertama tahun silam. “Danau itu mencakup wilayah dengan batas selatan di Perbukitan Menoreh hingga 10 km ke utara, sementara ke timur membujur sepanjang 7-8 kilometer dari Jembatan Wangon hingga Klipoh, Magelang, Jawa Tengah,” ujarnya. !break!

Helmy melihat, gugusan Bukit Menoreh dapat menjadi benteng yang kuat dalam membendung air. Dia juga menengok lokasi pertemuan antara Sungai Elo dan Sungai Progo di Desa Bojong, Magelang. “Sungai –sungai ini tak hanya mengalirkan air dari pegunungan, tetapi juga lempung yang bersifat permeable (tahan air), sebuah material yang tepat untuk menjadi pelapis kedap air, sehingga air tidak merembes ke dalam tanah dan tertahan hingga akhirnya terbentuk menjadi danau,” ujar lelaki berkacamata tersebut.

Di lokasi pertemuan dua sungai itu terdapat tebing-tebing menjulang setinggi 12 meter yang tersusun atas lapisan-lapisan tanah berwarna cokelat, lapisan piroklastik berwarna semi abu-abu yang merupakan hasil proses vulkanis dan paling bawah adalah tanah yang berwarna hitam pekat. Tanah atau lempung hitam pekat ini juga senada dengan tanah yang ada di dasar sungai.

Lempung hitam adalah lapisan khas kaya zat organik yang menyiratkan bahwa lapisan itu terbentuk dari material yang dibawa aliran sungai dan akhirnya mengendap bersama tumbuh-tumbuhan air. “Lapisan inilah yang memungkinkan kawasan ini menjelma danau karena sifatnya menahan air,” kata Helmy yang mengambil contoh lempung dari tebing dan dasar sungai untuk diteliti di laboratorium kampus.

Relief dalam salah satu lorong Candi Borobudur, yang difoto oleh Isidore van Kinsbergen pada 1873. (Tropenmusem)

Dari serpihan tanah tersebut, dia gembira menemukan sampel serbuk sari tanaman-tanaman air, yaitu teratai, genjer, paku-pakuan, dan rumput air. “Hanya pada situasi air tenanglah tanaman air ini tumbuh,” jelasnya. Jadi, lanjutnya, jika di sample tanah ini terdapat serbuk sari tumbuhan air, itu artinya air yang dulu ada di sekitar sini adalah air yang “diam” atau tenang. “Dan itu bisa saja danau,” ujar Helmy bersemangat.

Helmy mengaitkan temuannya itu dengan rujukan hasil penelitian geologi yang menunjukkan, cekungan di kawasan Borobudur terbentuk sekitar 1,8 juta tahun silam akibat proses tektonik (perlipatan, pengangkatan, dan persesaran kerak bumi). Pada masa itu terjadi gerakan sesar di bagian utara Jawa sehingga mengakibatkan penenggelaman di beberapa wilayah di mana tanah masuk hingga di bawah muka air laut sehingga terbentuklah cekungan yang terisi air laut--Helmy mengistilahkannya dengan cekungan Borobudur.!break!

Waktu berjalan, terjadi pula aktivitas vulkanis berupa lelehan lava dan pembentukan gunung api seperti Gunung Tidar di Magelang, Gunung Telomoyo, Andong, dan disusul dengan terbentuknya gunung api yang lebih besar seperti Merbabu, Merapi, Sumbing, dan Sindoro.

Kemunculan beberapa gunung api tersebut mengakibatkan cekungan yang terisi air laut menjadi tertutup. Sungai yang kemudian mengalir dari berbagai gunung di sekitarnya mengisi cekungan dengan air tawar. Sementara air laut yang asin terjebak dan tertahan di lapisan bawah tanah.

Saat ini di sekitar Borobudur yang relatif terletak di tengah Pulau Jawa memang ada sejumlah sumber air asin. “Jangan heran kalau banyak mata air asin di sekitar perbukitan di kawasan Borobudur. Itu membuktikan dulu daerah ini begitu cekungnya sehingga air laut masuk dan akhirnya terperangkap jauh di dasar tanah,” tutur Helmy.

Pemandangan matahari terbenam di daerah Borobudur. Foto diambil dari Desa Candirejo, sebuah desa wisata. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Yang jelas dia menambahkan, danau di kawasan Borobudur sudah ada jauh sebelum Borobudur dibangun. berdasarkan analisis karbon C14 yang dia lakukan pada 2001, diketahui bahwa endapan lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun sementara lempung hitam yang dibor dari sumur kedalaman 40 meter di sebuah rumah tak jauh dari Candi Borobudur diketahui umurnya 22 ribu tahun.

Selain itu, dari berbagai contoh material yang diambil pada luasan yang lebih besar, 10 kali 8 kilometer, informasi yang diperoleh pun sama. Helmy menemukan lapisan yang hampir seragam, yaitu lempung dengan kandungan serbuk sari tanaman air. Inilah yang membuat dia menyimpulkan, danau Borobudur menggenangi kawasan ini pada kurun 22.000 hingga 660 tahun silam. Sementara itu, Borobudur dibangun oleh Samaratungga dari Wangsa Syailendra pada sekitar 800-an Masehi atau sekitar 1.200-an tahun lampau.

Dengan mengacu pada pola pembangunan tempat suci yang lain, Helmy yakin Candi Borobudur dibangun di sebuah tanjung yang menjorok ke danau. “Pura hindu di Tanah Lot Bali itu kan candi yang dibuat di atas tanjung, tapi mengarah ke laut. Nah Borobudur dibuat seperti itu,” katanya.

Temuan Helmy jelas merupakan langkah baru, tetapi tampaknya masih banyak mozaik yang harus dilengkapi dan digenapi, khususnya menyangkut bangunan “teratai di tengah danau”.

Susunan bata kuno itu memanjang dari arah timur ke barat. Warnanya coklat kehitaman, panjangnya tak kurang dari 25 meter dengan ketebalan fondasi sekitar setengah meter. Sisa-sisa pecahan tembikar terserak di sekitar dinding fondasi. Temuan yang berlokasi di kaki bukit Candi Borobudur ini adalah hasil ekskavasi Balai Konservasi Peninggalan Borobudur pada 1997. Jika dilihat dari perspektifnya, tanah di sekeliling fondasi dengan dataran dalam kompleks candi Borobudur seperti dibangun selevel.

Pada tahun 1973, para mahasiswa arkeologi Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada menggali 200 kotak galian di halaman atas Candi Borobudur. Hasilnya, ditemukan sisa fondasi struktur batu sepanjang 53 cm membujur utara-selatan pada lokasi kira-kira 28 meter di sebelah timur dari tangga timur candi.

Tak jauh dari tempat itu ditemukan stupika--stupa berukuran kecil--berjumlah 2.307 buah dan 252 tablet, berdiameter 6-12 sentimeter dengan permukaan yang dicap gambar Buddha. Kedua benda ini berbahan tanah liat yang tidak dibakar tapi dikeringkan di terik matahari (sun dried).

Tidak itu saja, di sebelah barat laut candi Borobudur juga ditemukan fondasi. Kali ini beserta sejumlah paku, besi, pecahan gerabah dan tembikar halus, guci, keramik China dinasti Tang, abad ke-9 seusia dengan Borobudur, cermin perunggu, dan sebuah genta. “Ini menunjukkan kemungkinan adanya vihara untuk para bhiksu pengelola candi yang terletak di luar halaman candi,” jelas Marsis Sutopo, kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.

Tidak hanya di kaki bukit candi, sepuluh kilometer jauhnya, tepatnya di dusun Ngrajek, Mungkid--sebelah utara Candi Borobudur--sisa fondasi lain ditemukan. Fondasi bata ini ditemukan saat penduduk akan membangun rumah. Tidak hanya sisa fondasi, di sekitarnya juga ditemukan batu berelief, arca Nandi--seekor lembu dalam mitologi agama Hindu--serta sejumlah artefak.

Karenanya, pada 2002, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur melakukan penelitian lapangan soal penemuan tersebut. Tujuannya mencari jejak situs purbakala di sekitar Candi Borobudur. Khususnya di dataran rendah Kedu yang mengelilingi Candi. Mereka berbekal buku Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie, ROD ( 1914)--laporan penelitian Belanda soal temuan situs Hindu di sekitar Borobudur, serta survei lapangan dan penggalian cepat yang dilakukan hampir setahun.

Bukit Punthuk Setumbu memberikan alternatif lain untuk menikmati Borobudur dari kejauhan. (Rahmad Azhar/National Geographic Indonesia)

Hasilnya, ditemukan sebaran situs terserak hingga 9 kecamatan-- Muntilan, Dukun, Mungkid, Sawangan, Salam, Srumbung, Borobudur, Tempuran, dan Salaman--seperti mengepung Candi Borobudur, dengan radius hingga 15 kilometer dari poros, Candi Borobudur. “Diperoleh data arkeologis berupa 14 situs Hindu, 4 situs Buddha, 26 diduga situs, dan 32 nonsitus,” jelas Marsis.

Percandian di sekitar Borobudur ini diperkirakan dibangun semasa dengan Candi Borobudur. Yakni abad ke 8-9 Masehi. “Jadi agak sulit menerima Borobudur dikepung danau saat dibangun,” kata Marsis. Apa lagi tidak ditemukan satu data arkeologis-pun seperti tinggalan prasasti yang menyebut soal danau. Padahal, kala itu, masyarakat pembangun Borobudur sudah melek huruf.!break!

Borobudur sendiri sebenarnya banyak disebut di sejumlah prasasti. Baik prasasti yang seusia dengan masa pembangunan candi atau prasasti yang ditulis ratusan tahun setelah Borobudur berdiri.

Sebut saja misalnya Prasasti Karang Tengah yang diterbitkan pada 824 Masehi. Prasasti itu menyebut bhumisambharabudhara yang diidentifikasikan sebagai Candi Borobudur oleh arkeolog Belanda JG de Casparis. Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Prapanca juga menyebut tentang sebuah biara di Budur. Sementara Babad tanah Jawi (1709-1711) berkisah soal ditangkapnya pemberontak di sekitar Borobudur. Namun, semuanya tak menyinggung tentang danau.

Sebenarnya, sejumlah arkeolog menyepakati adanya danau di sekitar Borobudur. “Tapi jauh sebelum Borobudur dibangun,”kata Junus Satrio Atmodjo, Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Budaya dan Pariwisata. “Ketika Candi dibangun, danau telah kering,” imbuhnya.

Alasannya jelas, buat membangun candi yang megah seperti Borobudur--tinggi candi 42 meter, memiliki 10 tingkat, 1.460 panel selebar 2 meter, 1.212 panil relief dan 504 patung Buddha-- dibutuhkan sumber daya alam dan manusia yang besar. Apa lagi Borobudur tak dibangun satu atau dua tahun, tetapi nyaris 50 tahun. Karenanya dibutuhkan sistem produksi pangan berkelanjutan yang baik sebagai pemasok logistik para pekerja. “Jika di sekelilingnya danau, di mana sawahnya?” jelas Junus.

Soal hipotesis Nieuwenkemp tentang keberadaan danau yang ditandainya dengan banyaknya kampung yang memiliki kata “tanjung” dan “segara”--kajian toponimi—di antaranya Tanjungsari, Bumisegoro, Sabrangrowo, Segaran dan Wanurejo mungkin berasal dari Banyurejo. Junus melihatnya malah menebalkan keyakinan bahwa danau telah mengering dan bersalin rawa. “Lahan seperti ini jelas subur dan tak menutup kemungkinan danau kering ini yang disulap jadi sawah,” kata Junus.

Off Road mendaki pegunungan Menoreh, di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. (Abiyu Pradipa)

Pendekatan toponimi—ilmu kebumian yang mengkaji dan mempelajari permasalahan penamaan unsur geografi, baik buatan alam maupun manusia—yang dilempar Nieuwenkemp ternyata dapat juga dipakai buat menjelaskan bagaimana lingkungan budaya Kedu saat Borobudur dibangun.

Adalah Sumardjoko mantan camat Borobudur yang bertahun-tahun tertarik dengan penamaan kampung “unik” di sekitar Candi Borobudur. Menurut Sumardjoko berdasarkan Prasasti Kayumwungan 824 M, sistem administrasi desa di sekitar candi memiliki otonomi yang luas. Kata Crimadwenuwana pada prasasti dapat diartikan wenua, desa yang berdiri sendiri yang berkewajiban mengurusi bangunan suci. “Desa pada masa itu mungkin kota pada masa sekarang,” tambahnya.

Proses pembangunan candi Borobudur juga meninggalkan jejak pada penamaan kampung. Sebut saja misalnya, Desa Pare, 4 kilo dari Candi Borobudur berasal dari kata paren--bahasa jawa kuna-- yang artinya padi. “Desa ini mungkin dulunya dijadikan sawah,” jelasnya. Atau desa Bogowanti, Bogo artinya pangan dan wanti atau wandi berarti warung atau depo. “Setalah panen, padi dikumpulkan di sini,” kata Sumardjoko.

Soal pembagian kerja dalam pembangunan candi juga bisa ditelusuri lewat toponimi. Ada Bukit Dagi-berlokasi 1 kilometer di barat laut Borobudur- yang dalam bahasan Jawa Kuna, dagi berarti pemahat. Atau dusun Jagalan, yang berasal dari kata jelagra, artinya pemecah batu.

Di depan pintu masuk candi Borobudur, ada desa Kenayan. Dalam bahasa Jawa Kuna berasal dari kata kenoyo, artinya abdi, kuli atau tenaga kasar. “Mungkin di sinilah dulu asrama para pekerja pembangun Borobudur,” jelas Sumardjoko. Atau desa Janan, kini berlokasi di belakang pasar Borobudur, kemungkinan berasal dari kata saujanan yang artinya sarjana. “Bisa jadi di sinilah asrama para arsitek pembangun candi,” tegasnya.

Sementara itu, terdapat desa bernama Kerekan yang terletak 8 kilometer di timur candi. “Setelah saya pelajari kerekan artinya alat buat mengangkat benda, semacam timba,” jelas Sumardjoko. Desa ini terletak di tubir sungai Progo. Hanya berjarak 5 meter dari bibir sungai dengan ketinggian 2 meter. “Melihat posisinya, inilah salah satu titik paling mudah buat mengangkat batu-batu bahan candi dari sungai Progo,” kata Sumardjoko, “Desa ini pun dinamakan kerekan.”

Sumardjoko menduga, batu-batu itu lalu disuplai ke desa Ngaran Duwur(atas) dan Ngaran Ngisor (bawah). Desa Ngaran Duwur telah direlokasi saat pemugaran candi Borbudur lantaran lokasinya tepat di kaki candi. Sedang Ngaran Ngisor terletak di dekat bekas Sungai Sileng purba di selatan candi. Kata Ngaran menurut Sumardjoko meretas dari kata ngoro, oro-oro yang artinya lapangan. “Dugaan saya pembuatan relief, arca, dan ornamen detail lainnya dikerjakan di Ngaran Duwur sebelum ditempel di bangunan candi,” katanya.

Breitling Jet Team bermanuver di atas Candi Borobudur, Magelang. (Katsu Tokunaga)

Dugaan ini mungkin harus diteliti lebih lanjut. Namun satu yang pasti, saat melakukan pemugaran candi Borbudur, para arkeolog banyak menemukan tatal (serpihan) batu andesit di halaman candi Borobudur. “Ini memang perlu penelitian lanjutan,” tambah Junus.

Candi Borobudur yang menyerupai bunga padma--sesuai dengan kosmologi agama Buddha, diyakini sebagai tempat kelahiran sang Buddha--di tengah danau adalah keniscayaan menurut Nieuwenkamp. Lantaran agama Buddha dan Hindu menempatkan bunga lotus dan air dalam posisi suci.

Apalagi dalam sejumlah kitab suci, air dan padma menjadi bakal dunia. Sebut saja misalnya kitab Veda Samhita—kitab suci agama Hindu—air adalah bentuk pertama yang dicipta dewa sebelum dunia.

Selanjutnya pada zaman Upanisad, dunia dianggap berasal dari Brahman. Menurut Taittriya Upanisad yang pertama meretas dari diri Brahma adalah angkasa, lalu mengalir hawa, membentuk api dan muncullah air. Dari air mengalir bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia. “Air punya makna religius buat agama Buddha dan Hindu,” kata Hariani Santiko, arkeolog senior ui (ini siapa).

Bunga padma dalam sejumlah karya sastra besar negeri ini juga menempatkan posisi tinggi. Sebut saja kitab Lubdhaka dan Hariwijaya, karya Mpu Tanakung yang terbit pada 1128 Masehi. Padma diidentikkan dengan kesucian diri manusia.

Jika mempertimbangkan kondisi geografi dan kosmologi, jelas pendapat Nieuwenkamp bukan tanpa alasan. “Tapi ini belum cukup,” kata Mundardjito. Ia menambahkan sebuah candi didirikan pada sebuah lokasi bukan hanya atas pertimbangan keagamaan, tapi juga melibatkan pertimbangan ekologis. “Sebuah candi tidak dibangun untuk kemudian ditinggalkan tetapi untuk digunakan,” kata Guru Besar Universitas Indonesia ini.

Karenanya, orang yang menggunakan candi haruslah bisa hidup di sekitarnya, sehingga dibutuhkan syarat khusus di luar alasan agama dan kosmologi, seperti kemiringan tanah yang tidak terlalu terjal, dekat dengan sumber air, dan bisa bercocok tanam. “Sulit menerima jika candi ini dikepung telaga,” kata Mundardjito.

Soal pendekatan ekologis yang kerap digunakan buat membangun candi sebenarnya dapat ditemukan di kitab Mansara-Silpasastra--buku pintar pegangan kaum Hindu, India. Sebelum candi dibangun, arsitek pendeta (sthapaka) dan arsitek perencana (sthapati) meninjau lokasi. Mereka mengamati kondisi lahan: kelerengannya, tekstur, bau, dan keadaan tumbuhan liar di sekelilingnya. !break!

"Para pendeta itu mula-mula melubangi tanah setinggi dengkul, lalu diisi air. Bila dalam 24 jam air surut, berarti daya serapnya tinggi. Itu tidak baik untuk pembuatan candi karena nanti candi bisa merosot," tuturnya fasih, "Bila air tetap banyak, berarti kecepatan peresapan air lambat. Itu juga jelek karena candi bisa banjir."Tanah yang masih sedikit genangan airnyalah yang dianggap terbaik.

Tanah demikian, menurut arkeolog yang dikenal memiliki "jam terbang" tinggi di lapangan ini, adalah tanah geluh—campuran lempung, pasir, dan debu—tanah yang permeabilitasnya sedang. Kualitas tanah itu kemudian oleh para empu dibagi menjadi brahmana dan ksatria. "Saya kira lokasi Borobudur berkualitas brahmana," katanya.

Bagaimanapun sebuah candi yang dikeliling telaga adalah menakjubkan. Mungkin ini pula yang dirasakan oleh Nieuwenkamp 76 tahun silam. Dengan gentar ia melukiskan riak danau mengepung Borobudur. Sejak itu, perbincangan soal telaga Borobudur memercik perdebatan.

Temuan-temuan ilmiah tentang Borobudur yang belum terangkai menjadi sebuah alur cerita yang saling menguatkan dengan mulus tersebut menunjukkan masih banyak mozaik yang harus disusun buat merekonstruksi masa lalu Borobudur. Oleh karena itu, Mundardjito berpendapat, penelitian lintas disiplin ilmu patut digelar. “Agar penelitian soal danau Borobudur tak saling gugat,” katanya.

Borbudur bukanlah keheningan. Bukan sekumpulan patung Buddha membisu. Sesungguhnya ia sebuah daya, vitalitas, sebuah rangsangan. Mungkin, inilah yang merasuki Nieuwenkamp, saat pertama menjejak dataran tinggi Kedu dan itu pula yang hingga kini terus ditawarkan Borobudur bagi mereka yang haus akan pengetahuan.

 

Feature "Candi Agung di Tubir Danau" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2010.