Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 28 Februari 2021 | 11:42 WIB
Ilustrasi penari topeng (Dok. Shutterstock)

Kirana jamah aku, jamahlah rindukuTak akan pernah usai cintaku padamuHanya kata yang lugas yang kini tersisaKuingin rasakan cinta...

Nationalgeographic.co.id—Ketika mendengarkan kembali Kirana karya Dewa 19 yang rilis pada 1997, imaji saya mengembara memaknai lirik lagu itu. Judulnya yang merupakan suatu nama, dan liriknya bercerita soal penderitaan yang dihadapinya dan kekasihnya, saya teringat akan romansa Panji Semirang.

Legenda itu bertokoh Galuh Candrakirana yang hendak dijodohkan dengan cinta sejatinya, Raden Inu Kertapati. Keduanya saling jatuh cinta dan mendapat restu, terlebih orang tua mereka juga memiliki tujuan untuk menyatukan kerajaan mereka, Kediri dan Jenggala.

Sayangya meski sudah dekat dengan pujaan hatinya sejak kecil, Candrakirana harus diusir oleh ayahnya dari kerajaan. Ia dirundung fitnah karena telah membunuh permaisuri yang sebenarnya adalah taktik licik saudarinya, Galuh Ajeng.

Hilangnya Candrakirana membuat dilema Raden Inu Kertapati sebagai pangeran kerajaan, di satu sisi dia harus tetap menikah. Mempelai perempuannya akan digantikan dengan Galuh Ajeng supaya penyatuan kerajaan berlangsung.

Namun hatinya terus berkata tidak dan lebih memilih berpetulang mencari Candrakirana hingga waktu yang lama.

Baca Juga: Di Balik Cerita Cinta dalam Tradisi Panji yang Selalu Berakhir Bahagia

Sedangkan Galuh Candrakirana berkali-kali menyamar di antara masyarakat sebagai perampok bernama Panji Semirang, dan pelantun syair dengan nama Wargo Asmoro. Selain hilang dan penyamaran yang berkali-kali itu, tentu membuat Raden Inu Kertapati sukar menemukannya.

Secara makna, budaya Panji yang memiliki ragam kisah itu mengandung pesan politik yang merakyat, kesetiaan, dan keteguhan. Ceritanya juga menggambarkan kesetaraan gender dan kasih.

"Saat Sekartaji (nama lain Candrakirana) menghilang dia jadi lelaki, dan cross gender sebagai Panji Semirang," ungkap pegiat dan peneliti seni, Purnawan Andra. "Saya memaknainya kalau isu cross gender yang sudah diangkat pada masanya."

Ia mengungkapkan, bahwa kebudayaan Panji ini sangat tampak kemunculannya di masa-masa akhir Majapahit.

Kendati demikian, budaya Panji itu ternyata tidak mutlak pada satu kejadian di masa lalu seperti penyatuan Kediri dan Jenggala. Melainkan ia tumbuh pada tempat dan waktu tertentu yang dapat dirujuk sebagai latar belakang kisahnya.

Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa