Hipotesa Simulasi, dari Filsafat hingga Teknologi Algoritma Fisika

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 9 Maret 2021 | 13:00 WIB
Bumi dan alam semesta (titoOnz/Getty Images/iStockphoto)

Qin menulis di Scientific Reports, hasil temuannya. Ia mengklaim bila algoritma itu dapat bertransformasi pada energi sehingga dapat menguak kemungkinan realita yang diduga seperti simulasi.

Algoritma itu menggunakan proses kecerdasan buatan yang disebut sebagai machine learning, yang dapat belajar secara otomotasi lewat pengalaman sekitar.

Baca Juga: Kecerdasan Buatan Melampaui Skor Manusia Memainkan Gim Era 80-an

Awalnya, algoritma ini ditujukan untuk memprediksi orbit benda langit di tata surya. Qin melatih pengembangannya lewat data orbit Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Ceres, dan Jupiter.

"Datanya persis dengan apa yang dimiliki Kepler dari Tycho Brahe pada 1601," tulisnya.

Dari data itu, penyajian algoritmanya dapat memprediksi dengan tepat orbit planet lainnya di tata surya, termasuk orbit parabola dan hiperbolanya. Yang luar biasa dari alat ini, ia dapat melakukannya tanpa diajari hukum gerak Newton dan gravitasi universal.

Algoritma ini kemudian ia gunakan untuk memprediksi dan mengontrol perilaku lainnya yang lebih rumit. Ia memfokuskan pada partikel plasma untuk memanen energi fusi yang dapat menggerakan Matahari dan bintang-bintang.

Tujuannya dikutip dari Big Think, agar dapat mempelajari algoritma ketetapan struktur yang efektif dengan stabilitas jangka panjang untuk "simulasi dinamika gyrocenter (cabang studi fisika yang mempelajari koordinat gaya) dalam plasma fusi magnetik."

Selanjutnya, ia juga berencana untuk memanfaatkannya pada pelajaran fisika kuantum. Meski demikian, uji coba pendekatan ini adalah hal yang rumit baginya, karena merupakan hal yang tidak biasa.

"Biasanya dalam studi fisika harus melakukan observasi, lalu membuat teori harus berlandaskan observasi, kemudian menggunakan teorinya untuk memprediksi observasi baru," terang Qin. "Yang saya lakukan adalah mengganti proses ini dengan kotak hitam yang dapat menghasilkan prediksi yang akurat tanpa menggunakan teori atau hukum tradisional."

Baca Juga: Ahli Antariksa Temukan Badai Luar Angkasa Hujani Bumi dengan Elektron

"Pada dasarnya, saya melewati semua bahan dasar studi fisika. Saya langsung dari data ke data."

Sebagian studi yang dilakukan Qin ini diakui karena sebagian terinspirasi dari Hipotesa Simulasi yang digagas oleh Nick Bostrom pada 2003. Inilah diyakini Qin, untuk membuat algoritma sebagai teknologi yang meberikan contoh kerja yang didasari dan mendukung hipotesa Bostrom.

Untuk mendukung Hipotesa Simulasi lewat algoritma, alat itu harus dapat ditetapkan pada celah ruang-waktu yang tak saling berhubungan tetapi memiliki nilai tertentu dan terpisah.

Dari hipotesa Bostrom itu, Qin menyelaraskannya pada teori medan diskrit sebagai pembelajaran mesin.

Teori medan diskrit, menurut S. Gudfer dari Depatment of Mathematics University of Denver dalam Discrete Spacetime Quantum Field Theory, memandang dimensi ruang dan waktu tidak bersifat tetap, melainkan kontinu.

Qin menilai, teori ini dapat dipandang sebagai kerangka yang bersifat algoritmik untuk temuannya. Kerangkan ini kemudian dapat disesuaikan dan dilatih menggunakan data observasi yang terpisah-pisah.

Setelah alat itu dilatih dan diberi data-data yang terpisah, teori medan diskrit itu menjadi algoritma alam sekitar kita. Sehingga, algoritma itu dapat menjalankan komputer untuk memprediksi hasil dari sautu pengamatan.

Menurutnya, jika dunia dipandang dengan kacamata teori medan diskrit ini, maka akan terlihat seperti 'matriks' yang terbuat dari piksel dan titik data yang dapat ditangkap.

Baca Juga: Filsuf Kontemporer Abad 21: Humor dan Filsafat Ala Slavoj Žižek

"Teori medan diskrit lebih fundamental daripada hukum fisika kita saat ini dalam ruang yang kontinu," terang Qin. "Generasi kedepan harus menemukan teori medan diskrit yang lebih alami dari hukum [fisika populer] yang menganggap ruang selalu tetap yang digunakan nenek moyang mereka selama abad ke-17 hingga ke-21."

Qin juga beranggapan, bahwa teknologi temuannya belum dapat diakui secara kuat untuk langung menyimpulkan bila kehidupan kita adalah simulasi. Melainkan sebagai sebuah pengantar yang dapat memantik generasi di masa depan untuk melakukan studi yang hasilnya mutlak.