Ride for Equality, Bersepeda Menyambut Hari Perempuan Sedunia

By Utomo Priyambodo, Senin, 8 Maret 2021 | 16:01 WIB
Rangkaian kegiatan Ride for Equality di Jakarta. (Silvia Luis/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Di Nusa Tenggara Barat ada banyak anak perempuan yang putus sekolah pada usia 13 tahun. Lalu di umur 20 tahun sebagian besar dari mereka sudah menikah dan punya anak. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah menjadi janda beranak dua di usia muda tersebut karena mengalami perceraian.

Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, menceritakan hal itu saat ditemui tim National Geographic Indonesia. Ia menuturkan ada banyak anak perempuan di desa-desa Nusa Tengara Barat yang tak menamatkan pendidikan sekolah menengah mereka dan terjebak dalam praktik perkawinan anak. Hal itu ia jumpai juga di banyak desa di Nusa Tenggara Timur dan daerah lainnya.

Angka perkawinan anak di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di Asia dan tertinggi kedelapan di dunia. Meski pada 2019 pemerintah Indonesia telah menetapkan batas usia minimal perkawinan di Indonesia adalah 19 tahun, angka perkawinan anak di negara ini tetaplah tinggi.

"Apalagi di masa pandemi ini. Jadi dari Januari sampai Desember 2020, sudah ada lebih dari 60 ribu, bahkan hampir 70 tibu permintaan dispensasi untuk nikah di bawah umur," tutur Dini. Dan menurut catatannya, 97 persen dari permohonan dispensasi itu dikabulkan oleh pengadilan.

Baca Juga: Catatan-catatan Awal Para Pejalan Perempuan Indonesia. Siapa Mereka?

Dini mengatakan penyebab tingginya permintaan dispensasi pernikahan di bawah umur ini bisa jadi karena pandemi mempeangaruhi ekonomi keluarga. Bisa jadi juga karena anak-anak itu memang sudah direncanakan untuk dinikahkan di bawah umur sebelum adanya undang-undang penetapan batas usia minimal 19 tahun.

Ini merupakan masalah pelik. "Karena biasanya anak-anak yang menikah di bawah umur itu biasanya drop out dari sekolahnya. Kemudian mereka hamil muda di bawah umur, yang kesiapannya secara fisik dan secara mental belum siap untuk jadi ibu."

Lalu, kata Dini, anak-anak yang lahir dari perempuan di bawah umur ini juga rentan mengalami stunting dan terjebak dalam kondisi kemiskinan yang membuat mereka rentan mengalami pekawinan anak juga. "Jadi kita menjebloskan anak-anak ke dalam kemiskinan yang terus berkelanjutan. Kemiskinannya yang berkelanjutan," ujar Dini kepada National Geographic usai acara Ride for Equality di Jakarta pada Sabtu, 6 Maret 2021.

Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa

Didi Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia. (Silvia Luis/National Geographic Indonesia)

Acara Ride for Equality sendiri merupakan rangkaian kegiatan bersepeda bersama sembari menggaungkan kampanye untuk mendukung kesetaraan bagi anak perempuan dan laki-laki di Indonesia. Gerakan ini dilakukan secara global oleh Plan International di 71 negara di dunia melalui cabang-cabang organisasinya termasuk Yayasan Plan International Indonesia.

Rangkaian kegiatan ini diselenggarakan untuk sekaligus menyambut International Women's Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional yang diperingati tiap tanggal 8 Maret. Tema peringatan IWD tahun 2021 ini adalah "Choose to Chalengge".

"Challenge yang terbesar (di Indonesia) adalah norma patriarki," ujar Dini. Norma patriarki yang dimaksud Dini meliputi anggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, perempuan tidak usah bersekolah tinggi-tinggi, dan sebagainya. "Jadi, choose to challenge this kind of norms," tegasnya.

UNDP mencatat, indeks ketimpangan gender (gender inequality index) di Indonesia adalah sebesar 0,480. Angka ketimpangan ini jauh lebih besar dibanding banyak negara ASEAN lainnya, misalnya Singapura yang hanya 0,065, Malaysia yang hanya 0,253, dan Brunei Darussalam yang hanya 0,255. Menurut catatan Bappenas pada 2020, 1 dari 9 perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun.

Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun

Selain mengampanyekan bentuk dukungan untuk kesetaraan perempuan lewat gerakan bersepeda dengan mengajak komunitas-komunitas pesepeda dan masyarakat umum, Yayasan Plan International Indonesia juga menggalang dana lewat platform KitaBisa.com untuk membiayai pelatihan dan pendidikan kepemimpinan perempuan muda di Indonesia. Target pengumpulan dana yang akan berlangsung hingga 10 Maret 2021 ini adalah Rp400 juta. Hingga hari ini, 8 Maret 2021, sudah terkumpul sekitar Rp168 juta.

Dana yang terkumpul ini nantinya akan digunakan untuk menambah pembiayaan rangkaian kegiatan Girls Leadership Program (GLP), sebuah program berkelanjutan dari Plan International untuk memberdayakan anak dan kaum muda perempuan di Indonesia. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak akhir tahun lalu dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi Principal Mentor dalam rangkaian kegiatan ini.

"Jadi digunakan untuk pelatihan dan pendidikan kepemimpinan anak perempuan. Ada 120 anak yang dipilih dari seluruh wilayah Indonesia. Ada yang dari Papua, Jepara, Lombok, dan lain-lain. Kemudian dari situ ada 31 anak yang terpilih untuk dimentori lebih jauh," jelas Dini.

Sebanyak 31 anak dan kaum muda perempuan yang terpilih ini kemudian mendapatkan dana sponsor untuk mengadakan atau meningkatkan (jika sudah ada) gerakan-gerakan sosial mereka untuk komunitas perempuan di daerah mereka. Jadi, harapannya, program ini dapat berdampak atau memberi manfaat bagi ratusan atau bahkan lebih dari seribu anak dan kaum muda perempuan di Indonesia.

"Dengan adanya penggalanan dana ini kita mau meningkatkan lagi program ini," ujar Dini.

Baca Juga: Wabah COVID-19, Peluang Perempuan Indonesia untuk Akrabi Teknologi

Plan International mencatat, 62% dari 10.000 anak dan kaum muda perempuan yang disurvei di 19 negara, mengatakan yakin dengan kemampuan mereka untuk memimpin dan 76% secara aktif ingin menjadi pemimpin dalam karier, komunitas, atau negara mereka. Namun hingga kini, anak perempuan di berbagai pelosok masih menghadapi berbagai hambatan untuk maju.

Bahkan, Plan International mencatat masih ada 65 juta anak perempuan yang tidak bisa mengakses pendidikan. Hal ini menunjukkan anak perempuan punya keinginan kuat untuk maju, tapi sayangnya masih menghadapi berbagai hambatan.

Di Indonesia sendiri, kata Dini, angka serapan untuk angkatan kerja perempuan hanya sebesar 50%. "Kalau laki-laki sekitar 70 sampai 80 persen yang terserap," katanya.

Ada stereotipe gender di Indonesia bahwa perempuan tidak perlu bekerja dan berperan dalam pembangunan negara. "Padahal lulusan universitas (di Indonesia) itu kebanyakan perempuan, tapi nggak semuanya melanjutkan kerja. Kemudian ketika menikah dan punya anak, (mereka yang bekerja setelah lulus kuliah pun) gugur satu-satu," beber Dini.

Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda

Padahal, menurut hasil riset McKinsey, memberdayakan perempuan dan mendorong kesetaraan gender dapat meningkatkan potensi PDB nasional sebesar 135 miliar dolar AS per tahun hingga 2025, setara dengan pertumbuhan 0,7% per tahun. Selain itu, menurut AIPEG Progress Report, hal ini juga bisa membuat rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia meningkat sebesar 430 dolar AS per individu per tahun. Adapun menurut USAID, perempuan dapat melipatgandakan dampak investasi dengan menurunkan pada generasi berikutnya, anggota keluarga mereka, dan masyarakat.

Pada akhirnya, dukungan dan investasi dari berbagai pihak mutlak diperlukan demi terciptanya kesempatan dan partisipasi setara bagi anak perempuan dalam pembangunan.