Kudeta Militer hingga Parpol, Mengapa Banyak Orang Haus Kekuasaan?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 9 Maret 2021 | 20:00 WIB
Pengumuman kudeta oleh pejabat militer disiarkan oleh stasiun televisi. (Gloria Samantha)

Kasus dibebaskannya pelaku penabrakan yang dilakukan anak-anak orang kaya juga terjadi di Indonesia. Mulai dari anak Ahmad Dhani hingga anak Hatta Rajasa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa menjadi makmur secara finansial dapat memberi seseorang kekuasaan untuk membayar kembali kesalahan yang bagi sebagian orang sebenarnya tak termaafkan.

Kasus penabrakan itu hanyalah salah satu jenis contoh. Banyak kasus hukum lainnya, misalnya terkait UU ITE dan tindakan korupsi, yang juga bisa dikaitkan dengan pengaruh kekuasaan pelakunya.

Baca Juga: Rawon Dinobatkan sebagai Sup Terenak di Asia, Gulai Cincang Nomor Tiga

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko. (Bayu Dwi Mardana)

Ada hal menarik dari riset yang dilakukan oleh UBC Sauder School of Business terkait preferensi kekuasaan manusia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa meskipun tidak mendapatkan uang, status, ataupun pengaruh, banyak orang tetap menginginkan kekuasaan.

Pada umumnya, kekuasaan akan memberi banyak manfaat bagi orang yang memilikinya—seperti uang, keamanan, pengaruh, dan status sosial, dan lainnya. Tetapi jika semua manfaat sampingan itu dihilangkan, ternyata banyak orang tetap menginginkannya.

Hasil penelitian dari UBC Sauder School of Business itu menunjukkan bahwa 28 persen orang yang menjadi peserta dalam riset ini ternyata memiliki preferensi murni untuk berkuasa, meskipun kekuasaan itu tidak menguntungkan mereka dan bahkan dapat merugikan mereka.

Untuk menguji "preferensi kekuasaan" para responden dalam riset ini, para peneliti merancang serangkaian permainan kekuasaan di mana para peserta dapat membayar untuk memberikan pengaruh terhadap sesama peserta, yang dirahasiakan identitasnya. Beberapa pilihan dari pengaruh atau kekuasaan yang didapatkan dalam permainan itu dapat menguntungkan atau merugikan diri mereka sendiri, menguntungkan atau merugikan peserta lain, ataupun tidak berpengaruh pada keuntungan finansial mereka.

Baca Juga: Riset: Pandemi COVID-19 Memang Membuat Langit Jadi Lebih Bersih

Yang menarik, 28 persen perseta ternyata memiliki preferensi yang lurus atas kekuasaan, meskipun kekuasaan itu tidak menguntungkan mereka dan bahkan dapat merugikan mereka. "Saya kagum bahwa persentase orang dengan preferensi kekuasaan murni dan tidak ada preferensi sosial ternyata begitu besar —hampir 30 persen," kata Elena Pikulina, Assistant Professor dari UBC Sauder School of Business yang menjadi salah satu peneliti dalam riset ini, sebagaima dilansir laman resmi kampus tersebut.

Namun begitu, meski menemukan ada orang-orang yang mencari kekuasaan dengan preferensi murni alias bukan demi menguntungkan dirinya sendiri, hasil riset ini juga menemukan bahwa jika orang-orang itu diberi kesempatan untuk memberikan pengaruh terhadap sebuah organisasi, efek baiknya akan berkurang secara signifikan. Dengan kata lain, orang-orang yang telah naik pangkat dalam organisasi, dalam politik, dan bahkan dalam keluarga tidak selalu melakukan terbaik saat memegang jabatan tersebut.

“Orang-orang yang mau memperebutkan kekuasaan dan membayar kekuasaan bukanlah orang-orang yang harus memiliki kekuasaan, karena keputusan yang mereka ambil belum tentu meningkatkan kesejahteraan. Dalam kasus kami, mereka merugikan kesejahteraan,” ujar Pikulina. Jadi, organisasi bisnis dan partai politik harus melakukan pemeriksaan yang jelas untuk mencegah kandidat yang hanya haus kekuasaan tanpa memiliki kompetensi terbaik.

Baca Juga: Menyingkap Waktu Tsunami Aceh dari Catatan Alam di Gua Euk Leuntie

Misalnya, di lingkungan perusahaan, orang-orang harus diminta untuk tidak hanya menunjukkan keinginan mereka untuk maju, tetapi juga menjelaskan bagaimana mereka akan memimpin tim, dan kebijakan apa yang akan mereka terapkan yang menguntungkan organisasi secara keseluruhan.

“Ada pepatah yang mengatakan bahwa kekuasaan merusak --dan jika orang-orang tertentu dibiarkan memiliki kekuasaan yang tidak terkendali, dan mempengaruhi orang lain sesuka mereka, beberapa orang akhirnya membuat keputusan yang sangat buruk,” tegas Pikulina.