Sang Pejalan Terakhir Larung Gar, Biara Teragung Buddha Tibet

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 9 Maret 2021 | 18:56 WIB
Pemandangan pagi keemasan di Larung Gar pada Juni 2016. Tampak rumah-rumah para biarawan dan pusat biara mereka. Sejak Juni, sejatinya pemerintah Tiongkok telah menutup kawasan ini. Konflik domestik antara pemerintah Tiongkok dan Tibet telah membuat wajah kompleks biara ini tak lagi sama seperti har (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Saya dan beberapa teman menempuh perjalanan darat sekitar 350 kilometer dari Chengdu ke Markeang. Kemudian hari berikutnya kami menyusuri jarak 380 kilometer yang sangat melelahkan menuju Kabupaten Seda.

Ini awal perjalanan yang menegangkan dan menjengkelkan pada Juni silam. Jelang memasuki pos pemeriksaan untuk memasuki Seda—sekitar 70 kilometer sebelum Larung Gar—beberapa petugas keamanan memberhentikan kami. Tak sekadar berhenti, kami dilarang keras untuk meneruskan perjalanan ke Seda. Alasannya, pemerintah menyatakan bahwa Larung Gar telah menjadi kawasan terlarang, kendati kami telah memiliki perizinan lengkap. 

Baca Juga: Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan

Begitu padatnya rumah-rumah kecil yang berimpitan, dengan nuansa warna merah semarak. Pada Juni 2016, setidaknya, kawasan ini masih dihuni sekitar 40.000 siswa dan peziarah. (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Konflik domestik antara pemerintah Tiongkok dan Tibet telah membuat wajah kompleks kuil ini tak pernah sama seperti hari-hari sebelumnya.

Seorang biarawati yang bersiap mengikuti kelas studi pagi di Larung Gar, Tiongkok. (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Baca Juga: Macan Tutul Menewaskan Biksu Buddha yang Sedang Meditasi di Hutan

Sial! Kami memunguti sisa tenaga dan semangat yang nyaris pupus. Akhirnya, kami meneruskan perjalanan memutar hampir 400 kilometer supaya bisa memasuki Seda dengan aman. Celakanya, kami harus mengurus izin lagi dengan pemangku pariwisata setempat. Setelah menempuh perjalanan darat yang sangat panjang dan melelahkan sekitar hampir 20 jam dari Markeang, tibalah kami di Seda.

Sejatinya kondisi badan saya mulai melemah. Kami berada di ketinggian sekitar 4.000 meter di atas muka laut, dengan udara yang menipis dan suhu sekitar lima derajat celcius. Apapun kondisinya, saya mencoba bertahan untuk tetap bugar.

Seda—atau yang biasa disebut Sertar —merupakan kabupaten di Provinsi Sichuan, Tiongkok. Bagi warga Tibet, sertar bermakna “kuda mas”. Kabupaten ini terletak di sebelah tenggara dari dataran tinggi Tibet.

Baca Juga: Mengintip Tradisi Perayaan Waisak Dari Berbagai Negara di Dunia