Di kabupaten inilah rumah bagi Larung Gar Buddha Institute, lembaga pemeluk Buddha Tibet yang terbesar di dunia, yang didirikan pada 1980. Lembaga ini dihuni lebih dari 40.000 biarawan dan biarawati, mahasiswa, dan peziarah dari seluruh dunia.
Aktivitas para biarawan dan biarawati terlihat semenjak dini hari. Di pagi hari mereka melakukan doa dan meditasi, lalu dilanjutkan ceramah di beberapa tempat pendidikan. Setiap pagi pula para siswa berjalan teratur menuju ke pusat-pusat biara utama untuk belajar.
Saya cukup takjub dengan kekuatan fisik mereka yang menempuh perjalanan dengan jalan kaki, kendati jarak ke tempat tempat studi cukup jauh. Mereka berjalan mendaki bukit, namun tak membuat mereka cepat lelah.
Baca Juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?
Biksu yang saya temui di sini berbeda dengan biksu yang pernah saya jumpai di negara lain. Di sini mereka mempunyai kehidupan yang cukup mandiri. Mayoritas dari mereka mempunyai gawai cerdas untuk berkomunikasi, dan juga sepatu masa kini. Mereka juga bukan sebagai peminta sumbangan dari masayarakat sekitarnya, namun sebaliknya merekalah yang memberikan sedekah kepada fakir miskin.
Hidup mereka terlihat sangat disiplin, mulai saat bangun pagi untuk melakukan ritual sembahyang, belajar, dan mengakhiri aktivitas sore hari di perkebunan. Hidup mereka juga teratur, saya menyaksikan susunan peranti makan dan tempat penyimpanan barang di dalam seminari mereka.
Di dalam kompleks tersebut, saya hanya menjumpai segelintir kedai makan dan tempat belanja keperluan sehari hari. Itu pun barang yang dijual adalah bahan pokok. Lantaran para biksu adalah vegetarian, saya pun menikmati santapan yang sangat bersahaja. Sementara air bersih cukup sulit didapatkan—karena mereka harus mengangkutnya dari sumber air menuju ke pondok. Di sini saya pun berhemat air.
Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur
Saat mendokumentasikan kehidupan para biksu, saya dihadapkan oleh satu kendala lagi. Tampaknya mereka sulit untuk diajak berbincang karena mereka umumnya tak menguasai bahasa Inggris. Selain itu mereka kerap menghindar ketika diabadikan. Kebanyakan dari mereka berusaha menunduk saat saya mencoba memotret mereka. Saya merasa maklum, mungkin biksu-biksu itu mendapat tekanan dari pemerintah Tiongkok atas publikasi media. Atau, mungkin saja saya kurang menjalin kedekatan dengan mereka.
Namun, di kawasan kuil ini saya terpukau oleh beberapa peziarah. Mereka melakukan ritual sembahyang dengan tengkurap-berdiri-berjalan-tengkurap lagi, demikian seterusnya. Dengan cara itu, para peziarah mengelilingi sebuah kuil sebanyak jumlah usia mereka.
Setiap kali saya mendengar cerita kuil malang ini, saya terkenang wajah-wajah para biarawan penghuni di rumah-rumah merah. Entah, di mana mereka kini berada. Semoga Buddha memberkati perjalanan mereka.
Saya keheranan saat mendapati dua orang yang mengangkut peti hitam sembari mengelilingi kuil beberapa kali. Belakangan saya baru tahu, ternyata peti hitam itu berisi jenazah. Mereka melakukannya jelang prosesi pemakaman khas Larung Gar, yang dijuluki “Pemakaman Langit”.
Ritual Thian Zeng atau “Pemakaman Atas Langit” merupakan ritual pemakaman penting bagi para penganut Buddha Tibet. Jenazah akan dipersembahkan sebagai santapan burung-burung bangkai. Upacara ini menautkan konsep Buddha perihal kemurahan hati dan kasih sayang.
Baca Juga: Narasi Borobudur: Storynomicnya Megastruktur Terbesar di Dunia