Sang Pejalan Terakhir Larung Gar, Biara Teragung Buddha Tibet

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 9 Maret 2021 | 18:56 WIB
Pemandangan pagi keemasan di Larung Gar pada Juni 2016. Tampak rumah-rumah para biarawan dan pusat biara mereka. Sejak Juni, sejatinya pemerintah Tiongkok telah menutup kawasan ini. Konflik domestik antara pemerintah Tiongkok dan Tibet telah membuat wajah kompleks biara ini tak lagi sama seperti har (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Tak ada kata istirahat untuk belajar. Para siswa muda belajar bersama di salah satu beranda pusat studi di Larung Gar. Kendati berbusana khas biarawan klasik, mereka tetap bergaya hidup modern: memiliki sepatu bermerk, dan gawai cerdas untuk berkomunikasi. Umumnya mereka berasal dari keluarga mampu (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Di kabupaten inilah rumah bagi Larung Gar Buddha Institute, lembaga pemeluk Buddha Tibet yang terbesar di dunia, yang didirikan pada 1980.  Lembaga ini dihuni lebih dari 40.000 biarawan dan biarawati, mahasiswa, dan peziarah dari seluruh dunia.

Aktivitas para biarawan dan biarawati terlihat semenjak dini hari. Di pagi hari mereka melakukan doa dan meditasi, lalu dilanjutkan ceramah di beberapa tempat pendidikan.  Setiap pagi pula para siswa berjalan teratur menuju ke pusat-pusat biara utama untuk belajar.

Saya cukup takjub dengan kekuatan fisik mereka yang menempuh perjalanan dengan jalan kaki, kendati jarak ke tempat tempat studi cukup jauh. Mereka berjalan mendaki bukit, namun tak membuat mereka cepat lelah.

Baca Juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?

Seorang peziarah melakukan ritual sembahyang dengan tengkurap-berdiri-berjalan sembari mengelilingi sebuah kuil sebanyak jumlah usianya (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Biksu yang saya temui di sini berbeda dengan biksu yang pernah saya jumpai di negara lain.  Di sini mereka mempunyai kehidupan yang cukup mandiri. Mayoritas dari mereka mempunyai gawai cerdas untuk berkomunikasi, dan juga sepatu masa kini. Mereka juga bukan sebagai peminta sumbangan dari masayarakat sekitarnya, namun sebaliknya merekalah yang memberikan sedekah kepada fakir miskin.

Hidup mereka terlihat sangat disiplin, mulai saat bangun pagi untuk melakukan ritual sembahyang, belajar, dan mengakhiri aktivitas sore hari di perkebunan. Hidup mereka juga teratur, saya menyaksikan susunan peranti makan dan tempat penyimpanan barang di dalam seminari mereka.

Di dalam kompleks tersebut, saya hanya menjumpai segelintir kedai makan dan tempat belanja keperluan sehari hari. Itu pun barang yang dijual adalah bahan pokok. Lantaran para biksu adalah vegetarian, saya pun menikmati santapan yang sangat bersahaja. Sementara air bersih cukup sulit didapatkan—karena mereka harus mengangkutnya dari sumber air menuju ke pondok. Di sini saya pun berhemat air.

Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur

Pemandangan lembah Larung Gar dengan salah satu pusat studinya. Di latar belakang, tampak permukiman para siswa. Di atas bukit itu mereka membentangkan kain-kain berisi mantra atau doa. (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Saat mendokumentasikan kehidupan para biksu, saya dihadapkan oleh satu kendala lagi. Tampaknya mereka sulit untuk diajak berbincang karena mereka umumnya tak menguasai bahasa Inggris. Selain itu mereka kerap menghindar ketika diabadikan. Kebanyakan dari mereka berusaha menunduk saat saya mencoba memotret mereka. Saya merasa maklum, mungkin biksu-biksu itu mendapat tekanan dari pemerintah Tiongkok atas publikasi media. Atau, mungkin saja saya kurang menjalin kedekatan dengan mereka.

Namun, di kawasan kuil ini saya terpukau oleh beberapa peziarah. Mereka melakukan ritual sembahyang dengan tengkurap-berdiri-berjalan-tengkurap lagi, demikian seterusnya. Dengan cara itu, para peziarah mengelilingi sebuah kuil sebanyak jumlah usia mereka.

Setiap kali saya mendengar cerita kuil malang ini, saya terkenang wajah-wajah para biarawan penghuni di rumah-rumah merah. Entah, di mana mereka kini berada. Semoga Buddha memberkati perjalanan mereka.

Saya keheranan saat mendapati dua orang yang mengangkut peti hitam sembari mengelilingi kuil beberapa kali. Belakangan saya baru tahu, ternyata peti hitam itu berisi jenazah. Mereka melakukannya jelang prosesi pemakaman khas Larung Gar, yang dijuluki “Pemakaman Langit”.

Ritual Thian Zeng atau “Pemakaman Atas Langit” merupakan ritual pemakaman penting bagi para penganut Buddha Tibet. Jenazah akan dipersembahkan sebagai santapan burung-burung bangkai. Upacara ini menautkan konsep Buddha perihal kemurahan hati dan kasih sayang.

Baca Juga: Narasi Borobudur: Storynomicnya Megastruktur Terbesar di Dunia

Seorang pemeluk Buddha Tibet tengah berjaga di sebuah toko yang menjual kebutuhan para pelajar dan biksu Larung Gar. (Anton Gautama/National Geographic Traveler)