Sang Pejalan Terakhir Larung Gar, Biara Teragung Buddha Tibet

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 9 Maret 2021 | 18:56 WIB
Pemandangan pagi keemasan di Larung Gar pada Juni 2016. Tampak rumah-rumah para biarawan dan pusat biara mereka. Sejak Juni, sejatinya pemerintah Tiongkok telah menutup kawasan ini. Konflik domestik antara pemerintah Tiongkok dan Tibet telah membuat wajah kompleks biara ini tak lagi sama seperti har (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Setelah menunggu beberapa jam lamanya, sekitar pukul dua sore, peti jenazah dan keluarganya mulai berdatangan.  Seorang berjubah hitam mempersiapkan upacara dengan memotong-motong bagian jenazah. Saya menyaksikan adegan yang mengerikan sekaligus memilukan. Namun, keluarga yang ditinggalkan tidak boleh menangisi ataupun menitikkan air mata saat melihatnya. Mereka harus merelakannya dengan hati ikhlas. Bagian kecil dari tubuh jenazah itu diberikan kembali kepada salah satu anggota keluarga, mungkin sebagai simbol atau kenang-kenangan.

Ketika para biksu membacakan mantra, burung-burung pemakan bangkai mulai berdatangan untuk menanti menyantapnya. Saya takjub, berpuluh burung bangkai datang tanpa ada seorang pun yang memberi komando.

Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?

Para biksu berjalan mengelilingi salah satu biara dalam sebuah ritual. (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Hanya dalam sekejap, jenazah yang telah terpotong-potong, termasuk dengan tulang-tulangnya, habis dilalap burung-burung pemakan bangkai.

Setelah acara selesai, saya melihat ada seorang ibu yang menaruh makanan diatas sekam api, yang sebagai simbol persembahan ucapan syukur.

Meski hanya mendapatkan kesempatan tinggal selama dua hari di Seda, saya sangat bersyukur. Bukan hal yang mudah untuk memasuki kawasan sakral dan terlarang, sekaligus mendokumentasikan budaya dan alamnya.

Baca Juga: Jenazah Dimakan Burung, Begini Ritual Pemakaman Langit di Tibet

Dalam ritual Pemakaman Langit, puluhan burung nasar datang tepat pada waktunya untuk mengambil bagian dari acara . (Anton Gautama/National Geographic Traveler)

Saat meninggalkan dan menuruni wilayah Seda, saya berpapasan dengan konvoi ratusan truk tentara. Mereka melaju ke arah Biara Larung Gar. Saya menduga konvoi ini pasti berhubungan dengan keputusan pemerintah setempat yang menutup wilayah tersebut. Dugaan saya tidak meleset, dua hari kemudian saya mendapat kabar bahwa pemerintah telah memulai pembongkaran rumah-rumah merah secara maraton. Rencananya, kelak, dari 40.000 biarawan hanya tersisa sekitar 5.000 biarawan.

Saya mungkin telah ditakdirkan menjadi saksi mata terakhir yang merasakan budaya dan alam di sekitar Larung Gar. Setiap kali saya mendengar cerita kuil malang ini, saya terkenang wajah-wajah para biarawan penghuni di rumah-rumah merah. Entah, di mana mereka kini berada. Semoga Buddha memberkati perjalanan mereka.

Sampul majalah National Geographic Traveler edisi Oktober 2016. (National Geographic Traveler)
 

—Anton Gautama, seorang fotografer dokumenter yang berdomisili di Surabaya. Buku fotografinya bertajuk Pabean Passage yangdiluncurkan di Frankfurt, Jerman pada Oktober 2016. Kisah feature ini terbit di National Geographic Traveler edisi Oktober 2016.