Siapa Sejatinya Sailendra: Penguasa Jawa atau Penguasa Sriwijaya?

By National Geographic Indonesia, Kamis, 11 Maret 2021 | 10:00 WIB
Tujuh kepala ular kobra memayungi prasasti persumpahan Telaga Batu. Banyak pangkat, profesi dan jabatan dalam Kedatuan Sriwijaya disebutkan dalam isi prasasti. Mereka disumpah agar selalu setia. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Dalam piagam batu Wat Sema Mue­ang sisi B tiba-tiba hadir nama Sailendra. Hal ini membentuk tanda tanya. Sailendra tak per­nah disebutkan dalam banyak prasasti Sriwijaya sejak Kedukanbukit. Bukankah mereka dinasti penguasa Jawa?

Sailendra dalam konteks Sriwijaya kembali tersurat dalam prasasti Nalanda—ditulis antara 810-850. Dikisahkan, Maharaja Balaputradewa adalah anak dari Samaragrawira (Samaratungga) dan Tara. Samaratungga adalah anak dari Rakai Panamkaran, permata Wangsa Sailendra. Tara adalah putri dari Dharmasetu, raja Sriwijaya.

Sejumlah prasasti India selatan abad ke-11 menyebutkan pula nama Cudamaniwarman  atau Cula­maniwarmadewa dan anaknya, Mara­wijayotunggawarman, sebagai keturunan Wangsa Sailendra. Tampak jelas, setidaknya sejak piagam Wat Sema Mueang sisi B (awal abad ke-9) hingga penyerbuan oleh Kerajaan Chola pada abad ke-11, raja-raja Sriwijaya berasal dari garis ketu­runan Wangsa Sailendra.

Hal itu, menurut ahli arkeo­logi Bambang Budi Utomo, “Diawali oleh pernikahan antara Samaratungga dan Tara.” Seperti halnya pra­sasti Nalanda, Wat Sema Mueang sisi B mengacu ke Rakai Panamkaran dari Sailendra. “Kedua prasasti itu ditulis atas perintah cucu Panamkaran, yakni Balaputradewa.”

Baca Juga: Melodrama Para Pionir Penjelajah Samudra di Kepulauan Rempah

Julukan Sesasavvarimadavimathana (pem­bunuh musuh-musuh sombong tidak bersisa) dalam piagam Wat Sema Mueang identik dengan Viravairivaraviravimardana yang disandang Dharanindra dalam prasasti Kelurak (782) di Jawa Tengah. Juga dengan Viravairimathana dalam prasasti Nalanda. Ketiga julukan itu, juga nama Dharanindra, mengacu ke Panamkaran.

Balaputradewa, berdasarkan logika ini, adalah raja Sriwijaya pertama dari Wangsa Sailendra. “Ia salah satu anak Samaratungga, selain Pramoda­wardhani. Yang terakhir ini perempuan. Ia menikah dengan Rakai Pikatan, pemeluk Hindu. Ketika Samaratungga mangkat, Pikatan naik takhta. Balaputradewa juga merasa berhak sehingga berperang melawan kakak iparnya, Pikatan,” jelas Bambang, menginterpretasikan berbagai isi prasasti. “Balaputradewa kalah perang lalu berpindah ke Sumatra. Karena ibunya keturunan raja Sriwijaya, Balaputradewa dapat naik takhta di Sriwijaya,” jelasnya.

Hanya satu wangsa

Para cendekiawan pernah mengira terdapat dua wangsa di Jawa: Sanjaya dan Sailendra. Hal ini mengacu kepada telaah para sarjana asing: FH van Naerssen, Bosch, George Coedes, WF Stutterheim, atau JG de Casparis. Alasannya perbedaan agama para raja. Wangsa Sanjaya beragama Hindu, sedangkan Sailendra penganut Buddhisme. Kesan itu juga disebabkan nama-nama raja dalam prasasti Manty­asih (Balitung). 

Istilah Wangsa Sanjaya ditampilkan oleh W. F. Stutterheim pada 1927. Ia membuat daftar raja Mataram, mulai dari Sanjaya hingga Balitung. Namun, ahli-ahli epigrafi terkemuka Indonesia yakni Poerbatjaraka dan Boechari sejak 1950-an telah mengoreksi, walau rupanya kurang diingat.

Poerbatjaraka mengatakan, semula raja-raja Sailendra menganut Hindu Siwa, lalu berpindah ke agama Buddha. Ia mengutip isi Carita Parahyangan, naskah kuno Sunda.

Alkisah, tersebutlah seseorang bernama Sanjaya. Ia  menyuruh anaknya, Panaraban atau Tamperan,  untuk berpindah ajaran, sebab ajaran yang dianutnya ditakuti semua orang. Oleh Poerbatjaraka, Sanjaya disamakan dengan Rakai Sanjaya dalam prasasti Canggal (732) di Candi Gunung Wukir di daerah Magelang. Sementara itu, Panaraban alias Tamperan disamakan dengan Rakai Panamkaran.

Boechari juga menulis Satu atau Dua Dinasti di Mataram Kuno? “Yang dimaksud ialah yang berkuasa sebagai maharaja,” demikian Boechari.  Mataram Kuno terdiri dari daerah-daerah otonom di bawah rakarayan (rakai) atau pangat.

“Masing-masing penguasa lokal itu,” tulis Boechari, “memiliki silsilahnya sendiri. Istilah Sanjayawamsa tidak pernah ditemui dalam prasasti maupun naskah sastra masa klasik. Daftar dalam prasasti Mantyasih dan susunan Stutterheim bukanlah suatu silsilah.” Sebaliknya, Sailendrawamsa jelas disebutkan dalam sejumlah prasasti di Jawa yaitu prasasti Kalasan, Kelurak, atau Abhayagiriwihara.

Pada beberapa puluh tahun terakhir terjadi perkembangan lagi mengenai Sailendra. Rakai Panamkaran kemudian diidentifikasi sebagai Raja Sankhara. Nama ini diberitakan dalam prasasti dari daerah Sragen (Jawa Tengah).

Kisahnya, ayah dari Raja Sankhara sakit panas delapan hari lalu meninggal. Takut akan ajaran guru ayahnya yang tidak benar, Raja Sankhara meninggalkan agama Siwa dan menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana. Ia juga memindahkan pusat kerajaan  ke arah timur.

Oleh para ahli sejak era Boechari, ayah Raja Sankhara yang tak disebutkan dalam prasasti disamakan dengan Sanjaya. Sedangkan Raja Sankhara disamakan dengan Panamkaran. “Sayangnya,” keluh Bambang Budi Utomo, “prasasti Raja Sankhara entah di mana keberadaannya saat ini. Prasasti itu pernah disimpan di Museum Adam Malik. Saat museum itu ditutup, koleksinya dijual ke pedagang loak.”

Asal mula Sailendra

Pada awal 1963 di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, dekat Pekalongan, ditemukan prasasti yang, uniknya, berbahasa Melayu Kuno. Huruf-huruf Pallawa dalam piagam batu itu menyebutkan nama-nama keluarga dari seorang tokohnya, Dapunta Selendra.

“Sembah kepada Siwa Bhatara Parameswara dan semua dewa... Dari yang mulia Dapunta Selendra. Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra.” Demikian terjemahan isi prasasti Sojomerto.

Paleografinya bercorak abad ketujuh. “Lebih tua dari prasasti Kedukanbukit,” tulis Boechari. Ia juga menganalisis, Selendra adalah penyebutan Melayu untuk Sailendra (bahasa Sanskerta). Sedangkan kata “dapunta” adalah terminologi Melayu Kuno. Dapunta Selendra adalah awal dari Dinasti Sailendra, tegasnya.

Kesimpulan ini memperkuat teori Poerba­tjaraka, bahwa Sailendra berasal dari Nusantara. Pada masa sebelumnya para ahli beranggapan Sailendra datang dari luar Indonesia.

George Coedes mengusulkan, Sailendra berasal dari Funan, kerajaan kuno di wilayah Kamboja sebelum Chenla. Menurutnya, Sailendra berarti “raja gunung”. Ketika Funan runtuh dan terjadi kerusuhan, keluarga kerajaan ini hijrah ke Jawa menggunakan nama Sailendra.

Baca Juga: Studi Ikonografi Mengungkap Puncak Keindahan Seni Pahat Majapahit

Lampu kilat menerangi Stupa Mahligai dan Candi Tua di ambang malam. Percandian Muaratakus di Riau ini diyakini memiliki peran penting pada suatu babak perjalanan Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Sejarawan India RC Majumdar memiliki pendapat sendiri: Sailendra berasal dari India, tepatnya dari Kalingga, India Selatan. Keluarga Sailendra, menurut Majumdar, kemudian menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hyang. Pada 682, keluarga ini menyingkir ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya. Pada waktu itu, masih versi Majumdar, Sriwijaya berpusat di Semenanjung Malaka. 

“Raja-raja Sailendra adalah keturunan Dapun­ta Selendra. Jadi tak perlu menghubung­kan kata itu dengan ‘raja gunung’,” sanggah Boechari. Dalam hal ini, menurutnya, Dapunta Selendra berasal dari Akhandalapura. Berita-berita Cina menyebutkannya sebagai Gantuoli (Kantoli), kerajaan pendahulu Sriwijaya.

Bambang Budi Utomo mendukung. “George Coedes dulu banyak menghabiskan waktu di Thailand dan Kamboja. Wajar dia beranggapan Sailendra dari Funan. Namun, tidak ada prasasti atau peninggalan arkeologis Sailendra di sana. RC Majumdar orang India. Saya kira ada faktor-faktor yang demikian,” kata Bambang. “Yang jelas, berdasarkan bukti prasasti Sojomerto, tampaknya Sailendra berasal dari Sumatra.”