Sedangkan pada pasaran di Eropa, banyak produksi kartu pos membuat penasaran masyarakat di benua biru itu. Menjadi daya tarik untuk menyaksikan daerah dan masyarakat eksotis, seperti pemandangan, kebudayaan yang dianggap primitif, dan ketelanjangan dari Nusantara.
Kebutuhan dari masyarakat Hindia Belanda sendiri bermula dari kebiasaan kalangan bangsawan kesultanan yang membutuhkan potret diri. Sebelumnya kebutuhan ini dilakukan oleh pelukis kerajaan, seperti Raden Saleh. Lalu, kebutuhan ini bergeser ke fotografi yang lebih cepat.
Baca Juga: Fotax Membekukan Masa Lalu Surabaya
Baca Juga: Penemu Kaset Rekaman dan CD, Lou Ottens Meninggal di Usia 94 Tahun
"Kini kita pergi ke photostudio. Sultan Jogja [yang dulunya dilukis] juga demikian, hingga munculah pemotret bumiputera pertama, Kassian Cephas (1845-1912)," ungkap Carey.
Dalam webinar, ia menjelaskan bila Cephas juga turut dalam kebutuhan dokumenter Archaeologische Vereeniging, lembaga arkeologi Belanda. Kontribusinya diakui sebagai pelesetari warisan budaya Jawa lewat keanggotaan KITLV, dan emas kehormatan Ordo Oranje-Nassau.
Meski fotografi merebak di Hindia Belanda, bukan berarti pemerintah membuatnya menjadi wadah kebebasan berekspresi rakyat kolonial. Carey mengungkapkan, pemerintah memiliki sensor yang ketat akan citra mereka di tanah jajahan agar tak terpublikasi ke Eropa.
Pada abad ke-19, pemerintah menggunakan fotografi untuk pariwisata dengan konsep Mooi Indie untuk menggoda pelancong Eropa. Konsep ini—diterapkan pula dalam seni lukis—mendapat kritikan dari Abdul Moeis dan Henk Sneevliet, karena itu merupakan propaganda yang mengekspresikan secara tak adil pada realita ketimpangan di dalam negeri.
Perkembangan fotografi juga tak diimbangi oleh pengembangan produksi di Hindia Belanda.
"Setahu saya, tidak ada pabrik [kamera] di sini yang didirikan oleh Belanda untuk bisa menyuplai pasar lokal," kata Carey. Menurutnya ini adalah kesengajaan agar koloni tak menyaingi industri kamera di Eropa.
Inilah yang dianggap menjadi petaka persaingan bisnis kamera di Hindia Belanda sendiri, terutama ketika Jepang sudah 'naik pangkat' setara dengan orang Eropa berkat restorasi Meiji mereka. Mereka memiliki pabrik kamera di Jepang, dan lebih suka menjual dan mengajarkan kamera pada kalangan bumiputera daripada Eropa.
Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara
Tak ada kamera produksi dalam negeri, yang tercatat dalam sejarah adalah toko kamera pertama yang dimiliki oleh Tio Tek Hong yang berada di Sawah Besar, Jakarta. Toko ini juga menjadi pioner perusahan rekaman di Indonesia sejak 1902.
Karen Strassler dalam The Journal of Asian Studies (Vol.67 No.2 tahun 2008), perlengkapan kamera yang didistribusikan merupakan barang yang diimpor dari berbagai negara seperti Shanghai, Jerman, Jepang, Singapura, dan Hong Kong.
"Toko Tio Tek Hong menyediakan modernitas di sini," terang sejarawan budaya Tionghoa Didi Kwartanada saat diwawancarai. Dalam penelitian Strassler, Didi juga turut berkontribusi.
"Itu karena orang Tionghoa diberi posisi untung di masa itu, sebagai orang kosmopolitan akan temuan-temuan baru dan lebih adaptif atas perkembangan."
Kebiasaan masyarakat kosmopolis ini tak hanya menghadirkan kebiasaan fotografi muncul di Hindia Belanda, tetapi juga menguatkan kualitasnya. Terbukti, dalam laporan Strassler, ragam organisasi fotografi mulai bermunculan sejak 1923.
"Salah satu pionirnya itu adalah Tan Gwat Bing, kakek saya. Itu pun baru saya sadari [bila dia seorang pionir] dari temuan dia (Karen Strasler)," terang Didi.
Dari segi bisnis, fotografi sempat mengalami kelumpuhan selama periode 1940-an. Strassler menulis, bermula dari invasi Jepang pada 1942 yang membuat luluh lantak bisnis perankan Tionghoa. Lalu diikuti pada eksodusnya bisnis studio foto warga Jepang dan Eropa di Indonesia akibat revolusi kemerdekaan.