Fotografi Zaman Hindia Belanda, Lahir dari Eksotisme dan Kosmopolitan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 17 Maret 2021 | 14:00 WIB
Pria dan perempuan Eropa semasa Hindia Belanda duduk di dengan sebuah kamera sekitar 1935. (KITLV 158066)

Nationalgegoraphic.co.id—Kamera pertama kali diciptakan oleh ilmuwan Dinasti Fatimiyah, Ibnu Haytam pada abad ke-11, yang konsepnya masih sangat sederhana. Selama berabad-abad percobaan, kamera modern baru diciptakan pada 1816 oleh ilmuwan Prancis, Nicéphore Niépce.

Bersama temuan teknologinya, perlahan menjadi arogansi kalangan Eropa pasca revolusi industri yang dibawa ke negeri koloninya, tak terkecuali oleh Belanda di Hindia Timur.

Mulanya, kepopuleran fotografi bermula ketika Henry James Woodbury dari Inggris memasok stok foto untuk kebutuhan bisnis perusahaan fotografi kakaknya, Woodbury and Page. 

Sejarawan Peter B Carey, dalam webinar Kongkow Toekang Potret, menyampaikan, Woodbury pun sempat memfoto suasana di Hindia Belanda pada 1850-an, dan hasil fotonya terbit di Eropa. Hasil inilah yang membuat kebutuhan fotografi mulai muncul di Hindia Belanda.

Baca Juga: Rijsttafel: Gaya Hidup yang Menjadi Nilai Jual Pariwisata Kolonial

Gedung Harmonie diresmikan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 18 Januari 1815 yang bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Ratu Charlotte dari Inggris. Ironisnya, pada 1985, kita membongkarnya. (Woodbury and Pages/Tropenmuseum)

Carey menyebut, setidaknya ada tiga unsur mengapa ada kebutuhan fotografi di koloni terbesar Belanda ini, yakni militer, pasaran Eropa yang menggilai nuansa eksotis—terutama konsep Mooi Indie yang dipopulerkan, dan permintaan masyarakat Hindia Belanda.

"Dari segi militer, kamera penting sekali untuk bisa melacak medan tempur untuk melihat dan mengincar. Sebelum muncul kamera, di dalam kalangan setiap perwira dilatih seseorang yang bisa membuat sketsa," terangnya saat dihubungi National Geographic Indonesia.

Sedangkan pada pasaran di Eropa, banyak produksi kartu pos membuat penasaran masyarakat di benua biru itu. Menjadi daya tarik untuk menyaksikan daerah dan masyarakat eksotis, seperti pemandangan, kebudayaan yang dianggap primitif, dan ketelanjangan dari Nusantara.

Kebutuhan dari masyarakat Hindia Belanda sendiri bermula dari kebiasaan kalangan bangsawan kesultanan yang membutuhkan potret diri. Sebelumnya kebutuhan ini dilakukan oleh pelukis kerajaan, seperti Raden Saleh. Lalu, kebutuhan ini bergeser ke fotografi yang lebih cepat.

Baca Juga: Fotax Membekukan Masa Lalu Surabaya

Anak-anak berbusana tokoh-tokoh dalam wayang orang pada akhir abad ke-19. Kassian Cephas memotretnya di Yogyakarta sekitar 1890. (Kassian Chepas/Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Baca Juga: Penemu Kaset Rekaman dan CD, Lou Ottens Meninggal di Usia 94 Tahun

"Kini kita pergi ke photostudio. Sultan Jogja [yang dulunya dilukis] juga demikian, hingga munculah pemotret bumiputera pertama, Kassian Cephas (1845-1912)," ungkap Carey.

Dalam webinar, ia menjelaskan bila Cephas juga turut dalam kebutuhan dokumenter Archaeologische Vereeniginglembaga arkeologi Belanda. Kontribusinya diakui sebagai pelesetari warisan budaya Jawa lewat keanggotaan KITLV, dan emas kehormatan Ordo Oranje-Nassau.

Meski fotografi merebak di Hindia Belanda, bukan berarti pemerintah membuatnya menjadi wadah kebebasan berekspresi rakyat kolonial. Carey mengungkapkan, pemerintah memiliki sensor yang ketat akan citra mereka di tanah jajahan agar tak terpublikasi ke Eropa.

 

Konsep pariwisata Mooi Indie pada fotografi menyajikan pemandangan, dan perempuan dalam ketelanjangan yang dianggap eksotis bagi orang Eropa untuk berkunjung ke Hindia Belanda. (KITLV)

Pada abad ke-19, pemerintah menggunakan fotografi untuk pariwisata dengan konsep Mooi Indie untuk menggoda pelancong Eropa. Konsep ini—diterapkan pula dalam seni lukis—mendapat kritikan dari Abdul Moeis dan Henk Sneevliet, karena itu merupakan propaganda yang mengekspresikan secara tak adil pada realita ketimpangan di dalam negeri.

Perkembangan fotografi juga tak diimbangi oleh pengembangan produksi di Hindia Belanda. 

"Setahu saya, tidak ada pabrik [kamera] di sini yang didirikan oleh Belanda untuk bisa menyuplai pasar lokal," kata Carey. Menurutnya ini adalah kesengajaan agar koloni tak menyaingi industri kamera di Eropa.

Inilah yang dianggap menjadi petaka persaingan bisnis kamera di Hindia Belanda sendiri, terutama ketika Jepang sudah 'naik pangkat' setara dengan orang Eropa berkat restorasi Meiji mereka. Mereka memiliki pabrik kamera di Jepang, dan lebih suka menjual dan mengajarkan kamera pada kalangan bumiputera daripada Eropa.

Baca Juga: Budaya Indis, Pupusnya Jejak Akulturasi Budaya Eropa dan Nusantara

Tak ada kamera produksi dalam negeri, yang tercatat dalam sejarah adalah toko kamera pertama yang dimiliki oleh Tio Tek Hong yang berada di Sawah Besar, Jakarta. Toko ini juga menjadi pioner perusahan rekaman di Indonesia sejak 1902.

 

Selembar kartu pos yang menampilkan suasana Kebun Raya Bogor. Kartu pos ini diterbitkan oleh Tio Tek Hong, Weltevreden, Batavia. (Tio Tek Hong)

Karen Strassler dalam The Journal of Asian Studies (Vol.67 No.2 tahun 2008), perlengkapan kamera yang didistribusikan merupakan barang yang diimpor dari berbagai negara seperti Shanghai, Jerman, Jepang, Singapura, dan Hong Kong.

"Toko Tio Tek Hong menyediakan modernitas di sini," terang sejarawan budaya Tionghoa Didi Kwartanada saat diwawancarai. Dalam penelitian Strassler, Didi juga turut berkontribusi.

"Itu karena orang Tionghoa diberi posisi untung di masa itu, sebagai orang kosmopolitan akan temuan-temuan baru dan lebih adaptif atas perkembangan."

Kebiasaan masyarakat kosmopolis ini tak hanya menghadirkan kebiasaan fotografi muncul di Hindia Belanda, tetapi juga menguatkan kualitasnya. Terbukti, dalam laporan Strassler, ragam organisasi fotografi mulai bermunculan sejak 1923.

"Salah satu pionirnya itu adalah Tan Gwat Bing, kakek saya. Itu pun baru saya sadari [bila dia seorang pionir] dari temuan dia (Karen Strasler)," terang Didi.

Dari segi bisnis, fotografi sempat mengalami kelumpuhan selama periode 1940-an. Strassler menulis, bermula dari invasi Jepang pada 1942 yang membuat luluh lantak bisnis perankan Tionghoa. Lalu diikuti pada eksodusnya bisnis studio foto warga Jepang dan Eropa di Indonesia akibat revolusi kemerdekaan.