Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani

By National Geographic Indonesia, Senin, 5 April 2021 | 06:00 WIB
Helay, gerabah yang digunakan untuk memasak ikan presto dengan racikan khas Danau Sentani. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Budaya menyantap papeda dengan sempe merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Apabila papeda sudah dihidangkan, anak-anak akan berkumpul bersama dengan orang tua. Di situlah orang tua memberikan nasihat untuk didengarkan oleh anak-anak. Ada cerita dalam penyajian papeda.

Kepala Kampung Abar, Naftali Felle (58), menjelaskan keberadaan kampungnya di Sentani bersama dengan 24 kampung lainnya. Kampung Abar terdiri atas 12 suku, namun kini hanya tersisa lima suku. Dia bangga karena kampungnya menjadi satu-satunya kampung budaya yang bersejarah sekaligus diyakini sebagai kampung pertama yang hadir di Danau Sentani.

Naftali menceritakan proses pembuatan gerabah berawal dari pemisahan kerikil dari tanah liat dengan cara dipijat. “Dengan memijat adonan tanah liat, kerikil dengan sendirinya akan terpisah dari tanah liat,” terang Naftali. “Tanah liat hasil proses seleksi tersebut kemudian dibentuk menjadi sebuah prabot dengan lapisan yang cukup tebal.”

Baca Juga: Tata Kelola Gambut di Papua Demi Keberlangsungan Hidup Warga

Tungku-tungku dari Kampung Abar. Tradisi yang lestari merupakan tradisi yang mempu mengikuti perkembangan zaman, namun tidak kehilangan karakternya. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Tanah liat yang sudah dibentuk kemudian dibakar dengan daun pohon kelapa hingga mulai mengeras, menyusut, dan bentuknya menjadi padat. Saat proses pembakaran, penyusutan dapat terjadi tiga sampai lima sentimeter. Proses pembuatan tembikar bisa menghabiskan waktu hingga lima hari, tergantung pada besar kecilnya tembikar.

“Mengerjakan tembikar membutuhkan waktu, kerja keras, juga latihan,” ujarnya.

Pengerjaan kerajinan gerabah pertama kali dilakukan oleh kaum perempuan. Kini, kaum laki-laki juga turut mengerjakan pembuatannya. Pengerjaan gerabah pada dahulu dilakukan di dalam rumah secara tertutup, sehingga orang lain tidak dapat menyaksikan proses pembuatannya. Pengerjaannya pun dilakukan pada malam hari, biasanya di atas pukul sembilan malam.

Pohon sagu begitu melimpah di Papua. Selain sebagai simbol kedaulatan pangan, ampasnya pun bisa digunakan sebagai briket arang. Sebuah inovasi energi terbarukan dari Abar untuk Bumi yang lestari. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)