Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani

By National Geographic Indonesia, Senin, 5 April 2021 | 06:00 WIB
Helay, gerabah yang digunakan untuk memasak ikan presto dengan racikan khas Danau Sentani. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Oleh Fadhil Ramadhan

 

Nationalgeographic.co.id—"Budaya penggunaan gerabah dan pengetahuan membuatnya di Papua, dikenalkan oleh orang berbahasa Austronesia 3.000 tahun yang lalu," ungkap Hari Suroto, peneliti di Balai Arkeologi Papua.

Hari memaparkan situs-situs arkeologi yang menyimpan peradaban gerabah di Papua. Beberapa situs berada di pesisir utara Papua, pulau lepas pantai Papua, sampai kawsan pesisir Kepala Burung. "Yang tidak ditemukan gerabah yaitu pesisir selatan Papua dan pegunungan Papua," ungkapnya kepada National Geographic Indonesia. "Untuk kawasan Danau Sentani," imbuhnya, "tertua di Situs Yomokho, Sentani Timur dengan pertanggalan 2.590 tahun yang lalu."

Budaya gerabah memang jarang ditemukan di Tanah Papua. Tradisi pembuatan gerabah tertua di Papua berada di Kayu Batu di Kota Jayapura, Abar di Sentani, Kurudu di Yapen, Mansinam di Manokwari. Sekarang, "yang masih eksis hanya Abar saja," ujarnya.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani

Danau Sentani yang berpagar bukit-bukit dan bentang Pegunungan Cycloop. Pada masa Plistosen, diduga terdapat sungai yang mengalir dari danau ini menuju Samudra Pasifik sehingga memungkinkan sebagai habitat satwa laut. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Kini, satu-satunya komunitas yang melestarikan budaya kerajinan tembikar Papua adalah warga Kampung Abar. Kampung ini berlokasi di tepian Danau Sentani, tidak begitu jauh dari Situs Yomokho. 

Hari menjelaskan bahwa warga Kampung Abar membuat gerabah dari bahan tanah liat dan dibentuk menjadi berbagai hasil kerajinan. Helai atau sempe untuk membuat papeda sekaligus tempat makan, hele sebagai tempat penyimpan sagu, ebe hele untuk memasak ikan dan sayuran, bhu ebe sebagai tempat air, hote tempat menyajikan ikan dan sayuran, dan kendanggalu sebagai mencetak sagu bakar.

"Gerabah Kampung Abar memiliki ciri khas dengan dasar cembung," ujarnya, "sehingga memerlukan dudukan dari anyaman rotan melingkar disebut mauka."

 Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan

Mama Barbie tengah membuat sempe, sebutan untuk wadah papeda. Gerabah menjadi kerajinan utama di Kampung Abar. Gerabah Kampung Abar memiliki ciri khas dengan dasar cembung sehingga memerlukan dudukan dari anyaman rotan melingkar yang disebut mauka. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Budaya menyantap papeda dengan sempe merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Apabila papeda sudah dihidangkan, anak-anak akan berkumpul bersama dengan orang tua. Di situlah orang tua memberikan nasihat untuk didengarkan oleh anak-anak. Ada cerita dalam penyajian papeda.

Kepala Kampung Abar, Naftali Felle (58), menjelaskan keberadaan kampungnya di Sentani bersama dengan 24 kampung lainnya. Kampung Abar terdiri atas 12 suku, namun kini hanya tersisa lima suku. Dia bangga karena kampungnya menjadi satu-satunya kampung budaya yang bersejarah sekaligus diyakini sebagai kampung pertama yang hadir di Danau Sentani.

Naftali menceritakan proses pembuatan gerabah berawal dari pemisahan kerikil dari tanah liat dengan cara dipijat. “Dengan memijat adonan tanah liat, kerikil dengan sendirinya akan terpisah dari tanah liat,” terang Naftali. “Tanah liat hasil proses seleksi tersebut kemudian dibentuk menjadi sebuah prabot dengan lapisan yang cukup tebal.”

Baca Juga: Tata Kelola Gambut di Papua Demi Keberlangsungan Hidup Warga

Tungku-tungku dari Kampung Abar. Tradisi yang lestari merupakan tradisi yang mempu mengikuti perkembangan zaman, namun tidak kehilangan karakternya. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Tanah liat yang sudah dibentuk kemudian dibakar dengan daun pohon kelapa hingga mulai mengeras, menyusut, dan bentuknya menjadi padat. Saat proses pembakaran, penyusutan dapat terjadi tiga sampai lima sentimeter. Proses pembuatan tembikar bisa menghabiskan waktu hingga lima hari, tergantung pada besar kecilnya tembikar.

“Mengerjakan tembikar membutuhkan waktu, kerja keras, juga latihan,” ujarnya.

Pengerjaan kerajinan gerabah pertama kali dilakukan oleh kaum perempuan. Kini, kaum laki-laki juga turut mengerjakan pembuatannya. Pengerjaan gerabah pada dahulu dilakukan di dalam rumah secara tertutup, sehingga orang lain tidak dapat menyaksikan proses pembuatannya. Pengerjaannya pun dilakukan pada malam hari, biasanya di atas pukul sembilan malam.

Pohon sagu begitu melimpah di Papua. Selain sebagai simbol kedaulatan pangan, ampasnya pun bisa digunakan sebagai briket arang. Sebuah inovasi energi terbarukan dari Abar untuk Bumi yang lestari. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Ada semacam pantangan dalam membuat gerabah. Pantangan pertama, pembuat gerabah tidak boleh dalam keadaan datang bulan. Pantangan lainnya, tidak ada anak kecil yang menangis di rumah saat pembuatan gerabah. Berikutnya, tidak diperbolehkan ada anggota keluarga yang sedang marah. Apabila pantangan tersebut tidak diindahkan, gerabah yang sedang dibuat bisa jadi akan hancur atau pecah.

Pada 2008, Naftali Felle mendirikan kelompok gerabah bernama Titian Hidup. Setelah dua tahun, pemerintah kabupaten menyediakan loka karya kepada masyarakat Kampung Abar demi memperkaya dan melestarikan budaya kerajianan tembikar. Perwakilan kelompok diberangkakan untuk mengikuti loka karya tembikar di Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Naftali turut dalam loka karya tembikar ini.

Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua

Gambar cadas ikan di Situs Megalitik Tutari, tepian Danau Sentani. Ada beragam motif geometris yang menampilkan sosok satwa endemik dan puspa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Peristiwa banjir besar terjadi di Kampung Abar pada 2019. Banjir tersebut menenggelamkan dermaga dan rumah-rumahnya. Warga membawa semua gerabah mereka ke daratan yang lebih tinggi. Sampai sekarang banjir besar ini membekas di dinding-dinding rumah dan ingatan mereka.

Budaya membuat gerabah sudah dilestarikan secara turun temurun selama 13 generasi. Benda-benda tradisional yang mereka miliki berupa sempe, wadah sagu bakar, cetakan sagu bakar, dan wadah air sudah mulai hilang. Semua benda ini mulai jarang ditemui dan tergantikan oleh benda-benda buatan pabrik.

Baca Juga: Tari Wutukala, Inovasi Berburu Ikan Ala Suku Moy di Papua Barat

Gerabah Kampung Abar yang telah ditambah motif geometris berupa ikan yang mengacu pada gambar cadas di Situs Megalitik Tutari. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Sempe-sempe bertatakan mauka atau anyaman rotan di tepian Danau Sentani, siap menanti Festival Papeda yang digelar setiap tahun. Sagu dan papeda merupakan jati diri Papua sekaligus simbol ketahanan pangan setempat. Perlu keterampilan menggulung papeda dengan sendok kayunya yang disebut hiloy. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Kerajinan gerabah kini hanyalah tersisa di Kampung Abar. Bahan baku tanah liat yang digunakan untuk membuat gerabah pun hanyalah tersedia di Kampung Abar. Kelangkaan beserta keunikan dalam proses pembuatannya merupakan sesuatu yang harus dijaga, sekaligus budaya yang perlu kita dukung pelestariannya.

Balai Arkeologi Papua turut berupaya melestarikan tradisi gerabah ini melalui pemanfaatan temuan motif-motif tradisi setempat. Mereka memberikan pelatihan pembuatan gerabah pada siswa sekolah menengah. Pengajarnya, Naftali Felle dan Mama Barbie Elbakoi—warga Kampung Abar.

 

Ikan mujair presto yang diracik dengan balutan keladi kering dan dimasak langsung di gerabahnya. Aromanya khas Danau Sentani. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Salah satu tradisi prasejarah yang pernah berkembang di Danau Sentani adalah gambar cadas di Situs Megalitik Tutari. Peninggalannya berupa bongkahan-bongkahan batu bergambar cadas. Motif yang ditorehkan pada batu-batu itu berupa pola geometris manusia, puspa, satwa endemik, dan garis-garis geometris.

"Gerabah menjadi salah satu media untuk melestarikan motif megalitik ini," kata Hari. "Motif megalitik tutari harus dilestarikan dan harus bermanfaat pada kesejahteraan masyarakat sekitar situs, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di Danau Sentani di Papua."

 

Gerabah sempe untuk wadah papeda, dan wadah ikan mujair bakar. Siap disantap saat masih hangat. Dahulu, santap bersama keluarga menjadi tradisi untuk menuturkan teladan orang tua kepada anak. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Degup Cycloop, kisah sampul National Geographic Indonesia edisi Januari 2021. Edisi pembuka tahun ini berbonus sisipan poster dua sisi tentang Pusparagam Cycloop dan Edisi Khusus Merapah Rempah. (National Geographic Indonesia)