Pusparagam Cycloop: Gerabah Terakhir Papua di Tepian Danau Sentani

By National Geographic Indonesia, Senin, 5 April 2021 | 06:00 WIB
Helay, gerabah yang digunakan untuk memasak ikan presto dengan racikan khas Danau Sentani. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Ada semacam pantangan dalam membuat gerabah. Pantangan pertama, pembuat gerabah tidak boleh dalam keadaan datang bulan. Pantangan lainnya, tidak ada anak kecil yang menangis di rumah saat pembuatan gerabah. Berikutnya, tidak diperbolehkan ada anggota keluarga yang sedang marah. Apabila pantangan tersebut tidak diindahkan, gerabah yang sedang dibuat bisa jadi akan hancur atau pecah.

Pada 2008, Naftali Felle mendirikan kelompok gerabah bernama Titian Hidup. Setelah dua tahun, pemerintah kabupaten menyediakan loka karya kepada masyarakat Kampung Abar demi memperkaya dan melestarikan budaya kerajianan tembikar. Perwakilan kelompok diberangkakan untuk mengikuti loka karya tembikar di Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Naftali turut dalam loka karya tembikar ini.

Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua

Gambar cadas ikan di Situs Megalitik Tutari, tepian Danau Sentani. Ada beragam motif geometris yang menampilkan sosok satwa endemik dan puspa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Peristiwa banjir besar terjadi di Kampung Abar pada 2019. Banjir tersebut menenggelamkan dermaga dan rumah-rumahnya. Warga membawa semua gerabah mereka ke daratan yang lebih tinggi. Sampai sekarang banjir besar ini membekas di dinding-dinding rumah dan ingatan mereka.

Budaya membuat gerabah sudah dilestarikan secara turun temurun selama 13 generasi. Benda-benda tradisional yang mereka miliki berupa sempe, wadah sagu bakar, cetakan sagu bakar, dan wadah air sudah mulai hilang. Semua benda ini mulai jarang ditemui dan tergantikan oleh benda-benda buatan pabrik.

Baca Juga: Tari Wutukala, Inovasi Berburu Ikan Ala Suku Moy di Papua Barat

Gerabah Kampung Abar yang telah ditambah motif geometris berupa ikan yang mengacu pada gambar cadas di Situs Megalitik Tutari. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Sempe-sempe bertatakan mauka atau anyaman rotan di tepian Danau Sentani, siap menanti Festival Papeda yang digelar setiap tahun. Sagu dan papeda merupakan jati diri Papua sekaligus simbol ketahanan pangan setempat. Perlu keterampilan menggulung papeda dengan sendok kayunya yang disebut hiloy. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

Kerajinan gerabah kini hanyalah tersisa di Kampung Abar. Bahan baku tanah liat yang digunakan untuk membuat gerabah pun hanyalah tersedia di Kampung Abar. Kelangkaan beserta keunikan dalam proses pembuatannya merupakan sesuatu yang harus dijaga, sekaligus budaya yang perlu kita dukung pelestariannya.

Balai Arkeologi Papua turut berupaya melestarikan tradisi gerabah ini melalui pemanfaatan temuan motif-motif tradisi setempat. Mereka memberikan pelatihan pembuatan gerabah pada siswa sekolah menengah. Pengajarnya, Naftali Felle dan Mama Barbie Elbakoi—warga Kampung Abar.

 

Ikan mujair presto yang diracik dengan balutan keladi kering dan dimasak langsung di gerabahnya. Aromanya khas Danau Sentani. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Salah satu tradisi prasejarah yang pernah berkembang di Danau Sentani adalah gambar cadas di Situs Megalitik Tutari. Peninggalannya berupa bongkahan-bongkahan batu bergambar cadas. Motif yang ditorehkan pada batu-batu itu berupa pola geometris manusia, puspa, satwa endemik, dan garis-garis geometris.

"Gerabah menjadi salah satu media untuk melestarikan motif megalitik ini," kata Hari. "Motif megalitik tutari harus dilestarikan dan harus bermanfaat pada kesejahteraan masyarakat sekitar situs, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di Danau Sentani di Papua."

 

Gerabah sempe untuk wadah papeda, dan wadah ikan mujair bakar. Siap disantap saat masih hangat. Dahulu, santap bersama keluarga menjadi tradisi untuk menuturkan teladan orang tua kepada anak. (Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)

 

Degup Cycloop, kisah sampul National Geographic Indonesia edisi Januari 2021. Edisi pembuka tahun ini berbonus sisipan poster dua sisi tentang Pusparagam Cycloop dan Edisi Khusus Merapah Rempah. (National Geographic Indonesia)