Cerita oleh Fadhil Ramadhan
Nationalgeographic.co.id—Warga Kampung Asei memiliki budaya kerajinan membuat kesenian lukisan yang menggunakan bahan alami. Lukisan-lukisan tersebut menggunakan media kulit kayu pohon dan pewarnanya pun menggunakan bahan dari alam.
Kanvas yang dijadikan media untuk membuat lukisan pun terbuat dari kulit pohon khombouw. Sehabis diambil kulit pohonnya, batang dari pohon tersebut digunakan untuk kayu bakar. Selain kanvas untuk melukis, aksesoris lainnya seperti topi, tas, dan dompet di Kampung Asei juga terbuat dari kulit pohon.
Warna kuning yang terdapat pada lukisan tersebut berasal dari kulit akar mengkudu, warna kuning juga bisa didapat dari kunyit. Lalu warna putih diambil dari kapur. Sedangkan warna hitam dibikin dari arang.
Pada dermaga Kampung Asei, terdapat salib besar sebagai penanda injil pertama masuk ke Kampung Asei. Pada kaki salib tersebut, terdapat beberapa pola lukisan khas Kampung Asei yang berupa pola spiral dan garis-garis teratur. Pola spiral tersebut berartikan kekerabatan.
Pola tersebut juga terpasang di lukisan-lukisan yang menggunakan kulit pohon. Lukisan-lukisan tersebut juga bergambarkan binatang seperti cenderawasih, buaya, cicak, juga ular naga.
Di Kampung Asei terdapat cerita moyang bahwa pada zaman dahulu, seorang putra mahkota pernah memanah burung cendrawasih untuk dijadikan hiasan kepala untuk menari. Namun cendrawasih tersebut ternyata adalah anak gadis dari ular naga.
Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua
Pada malam harinya, naga turun ke pemukiman dan menuntut agar anak perempuannya dikembalikan. Karena sudah tidak dapat dikembalikan, naga memerintahkan kepada seluruh warga untuk pergi menuju barat dengan menaiki naga tersebut.
Hingga tiba di suatu telaga, naga berkata kepada seluruh warga, “Tempatilah tanah ini.”
Namun, sudah ada manusia yang menempati tanah tersebut, namanya Yomoho. Akhirnya, seluruh warga bermukim di kawasan telaga tersebut bersama Yomoho. Lalu ular naga menuruni bukit dan berubah bentuk menjadi pulau; menjadi Kampung Asei. Pada musim kemarau dan bila warga dilanda kekeringan, mereka mencari air melintasi ke arah utara. Di sana ada sumber air dari Gunung Cycloop yang pada dahulu disebut sebagai Robong Holo.
Demikian penuturan asal mula Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, menurut Corry Ohee (60) kepada National Geographic Indonesia. Dia merupakan pegiat dan pelestari budaya adat Kampung Asei. Jadi menurut tradisi tutur, awalnya kawasan ini pada masa silam bukanlah sebuah danau, melainkan sebuah lembah.
Di dermaga kecil Kampung Asei, tampak menhir atau tugu batu yang mengekalkan guratan-guratan motif khas Asei. Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua, menjelaskan bahwa bagi warga setempat menyebut menhir sebagai batu berdiri. Sampai sekarang, tinggalan ini merupakan temuan tradisi megalitik satu-satunya di Pulau Asei.
"Itu batu monolit yg diukir [motif] fouw," ujar Hari. "Batunya didatangkan dari Cycloop, tentu saja dengan bergotong royong, dan tentu pula ada pemimpin yang bisa menggerakkan anak buahnya [yang menunjukkan] sistem kepemimpinan yang terstruktur."
"Motif-motif lukisan Kampung Asei tampaknya memiliki kaitan dengan motif-motif gambar cadas di Situs Arkeologi Tutari yang bisa kita temui di dekat Danau Sentani juga," ujarnya.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan