Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 3 April 2021 | 15:54 WIB
Seorang anak merapikan lembaran lukisan kulit kayu di Kampung Asei Besar, Sentani. Kampung yang berda di tengah Danau Sentani ini merupakan satu-satunya kampung yang melestarikan tradisi seni lukis pada kulit pohon. Mereka menggunakan kulit kayu pohon khombouw, jenis pohon bergetah, seperti pohon sukun atau nangka, sebagai kanvas lukis mereka. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Cerita oleh Fadhil Ramadhan

 

Nationalgeographic.co.id—Warga Kampung Asei memiliki budaya kerajinan membuat kesenian lukisan yang menggunakan bahan alami. Lukisan-lukisan tersebut menggunakan media kulit kayu pohon dan pewarnanya pun menggunakan bahan dari alam.

Kanvas yang dijadikan media untuk membuat lukisan pun terbuat dari kulit pohon khombouw. Sehabis diambil kulit pohonnya, batang dari pohon tersebut digunakan untuk kayu bakar. Selain kanvas untuk melukis, aksesoris lainnya seperti topi, tas, dan dompet di Kampung Asei juga terbuat dari kulit pohon.

Warna kuning yang terdapat pada lukisan tersebut berasal dari kulit akar mengkudu, warna kuning juga bisa didapat dari kunyit. Lalu warna putih diambil dari kapur. Sedangkan warna hitam dibikin dari arang.

Pada dermaga Kampung Asei, terdapat salib besar sebagai penanda injil pertama masuk ke Kampung Asei. Pada kaki salib tersebut, terdapat beberapa pola lukisan khas Kampung Asei yang berupa pola spiral dan garis-garis teratur. Pola spiral tersebut berartikan kekerabatan.

Pola tersebut juga terpasang di lukisan-lukisan yang menggunakan kulit pohon. Lukisan-lukisan tersebut juga bergambarkan binatang seperti cenderawasih, buaya, cicak, juga ular naga.

Di Kampung Asei terdapat cerita moyang bahwa pada zaman dahulu, seorang putra mahkota pernah memanah burung cendrawasih untuk dijadikan hiasan kepala untuk menari. Namun cendrawasih tersebut ternyata adalah anak gadis dari ular naga.

Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua

Menhir ini merupakan temuan tradisi megalitik satu-satunya di Pulau Asei. Motif guratannya menautkan seni lukis Kampung Asei kini, dan tampaknya berkait dengan tradisi gambar cadas di Situs Arkeologi Tutari, tepian Danau Sentani juga. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada malam harinya, naga turun ke pemukiman dan menuntut agar anak perempuannya dikembalikan. Karena sudah tidak dapat dikembalikan, naga memerintahkan kepada seluruh warga untuk pergi menuju barat dengan menaiki naga tersebut.

Hingga tiba di suatu telaga, naga berkata kepada seluruh warga, “Tempatilah tanah ini.”

Namun, sudah ada manusia yang menempati tanah tersebut, namanya Yomoho. Akhirnya, seluruh warga bermukim di kawasan telaga tersebut bersama Yomoho. Lalu ular naga menuruni bukit dan berubah bentuk menjadi pulau; menjadi Kampung Asei. Pada musim kemarau dan bila warga dilanda kekeringan, mereka mencari air melintasi ke arah utara. Di sana ada sumber air dari Gunung Cycloop yang pada dahulu disebut sebagai Robong Holo.

 

Demikian penuturan asal mula Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, menurut Corry Ohee (60) kepada National Geographic Indonesia. Dia merupakan pegiat dan pelestari budaya adat Kampung Asei. Jadi menurut tradisi tutur, awalnya kawasan ini pada masa silam bukanlah sebuah danau, melainkan sebuah lembah.

Di dermaga kecil Kampung Asei, tampak menhir atau tugu batu yang mengekalkan guratan-guratan motif khas Asei. Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua, menjelaskan bahwa bagi warga setempat menyebut menhir sebagai batu berdiri. Sampai sekarang, tinggalan ini merupakan temuan tradisi megalitik satu-satunya di Pulau Asei.

"Itu batu monolit yg diukir [motif] fouw," ujar Hari. "Batunya didatangkan dari Cycloop, tentu saja dengan bergotong royong, dan tentu pula ada pemimpin yang bisa menggerakkan anak buahnya [yang menunjukkan] sistem kepemimpinan yang terstruktur."

"Motif-motif lukisan Kampung Asei tampaknya memiliki kaitan dengan motif-motif gambar cadas di Situs Arkeologi Tutari yang bisa kita temui di dekat Danau Sentani juga," ujarnya.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan

Danau Sentani dan bukit-bukit yang memagarinya, yang dilihat Dari Bukit Tutari—situs arkeologi gambar cadas yang mungkin berkait dengan seni lukis Asei. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Corry duduk di tepian lapangan di dekat dermaga Kampung Asei. Dia berkisah bahwa lapangan ini merupakan tapak gereja. Sayangnya, saat Perang Pasifik pada 1944, gereja ini tertimpa bom sehingga bangunannya hancur dan rumah-rumah di sekitarnya ikut terbakar.

Usai pengeboman tersebut, warga bergotong royong mengumpulkan kayu pohon sowang sebagai tiang gereja dan membangun kembali gereja kampung. Terdapat pula sisa-sisa Perang Pasifik yang digunakan oleh warga untuk membangun gereja,

Corry Ohee, pegiat dan pelestari budaya di Kampung Asei. Kini, dia satu-satunya penutur asal-usul Danau Sentani menurut versi warga Kampung Asei. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Dia bercerita bahwa pada dahulu, sebuah rumah di Kampung Asei masih berbentuk rumah klan atau rumah keluarga besar. “Dulu kami memakai rumah klan,” terangnya. “Kemudian Belanda mengajarkan kepada kami untuk hidup secara sendiri-sendiri; tidak boleh tinggal di dalam satu rumah.”

Kemudian warga Kampung Asei membangun rumahnya masing-masing di tanah milik keluarga, dan tidak lagi menggunakan rumah klan. Cara bermukim ini digunakan sampai sekarang usai Belanda mengajarkan warga Kampung Asei tentang pentingnya privasi keluarga.

Toponimi "Asei" menurpakan sebutan Belanda untuk toponimi asli pulau ini, yakni "Ohee". Nama-nama kampung di Danau Sentani banyak yang diubah oleh Belanda untuk kepentingan administrasi. Kini nama-nama kampung tersebut banyak berubah dari penyebutan nama aslinya, kata Corry.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Lautan dan Hutan di Kampung Tablasupa

Situs Gereja Tua Asei, yang berada di bukit Pulau Asei Besar. Awalnya, gereja pertama berada di tepian pulau, namun hancur saat Perang Pasifik 1944. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Selain terjadi Perang Pasifik pada 1944, peristiwa besar juga pernah terjadi di Kampung Asei. Banjir besar melanda kampung tersebut dan menenggelamkan rumah-rumahnya. Sewaktu peristiwa banjir tersebut, rumah milik Corry yang awalnya berkolom-kolom menjadi seperti sanggar karena dinding dan lantainya terlepas dan hanyut terbawa air bah. Pada saat itu, air danau naik setinggi 2,6 meter dari permukaan. Usai peristiwa tersebut, dinas sosial setempat memberikan bantuan kepada tiap-tiap keluarga di Kampung Asei.

Motif-motif yang dilukis oleh seniman Asei di kulit kayu ini biasanya menggambarkan alam, manusia, hingga suasana lingkungan mereka. Setiap motif memiliki namanya sendiri. "Yoniki, Fouw, Aye-Mehele, Luwga, Kino, O Mane-Mane, Rasyin Rale, Kheleuw, Khaley, dan Kheyka, kata Corry.

Tradisi melukis di atas kulit kayu khombouw ini sempat ditinggalkan oleh warga seiring berubahnya zaman. Arnold Ap dan Danielo Constantino Ayamiseba, dua antropolog yang datang ke Asei Besar pada 1975, mulai menggerakkan seni tradisi ini kembali. "Sampai sekarang tradisi ini terus berlanjut dan diturunkan dari generasi ke generasi," ungkapnya.

Salib peringatan masuknya injil di Asei pada 1 Juli 1928. Hampir si setiap gereja di kampung-kampung lama terdapat monumen masuknya para misionaris pada masa Hindia Belanda. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pohon khombouw tidak tumbuh di Pulau Asei. Apabila saat ini ada beberapa pohon khombouw di pekarangan, tampaknya ditanam sengaja oleh warga. Pohon itu pernah mudah dijumpai di tepian Danau Sentani. Namun, perkembangan permukiman di sekitar danau tampaknya telah menghilangkan pohon-pohon khombouw. Kalaupun masih ada, letaknya cukup jauh di pedalaman pinggang Cycloop.

"Dahulu pohon khombouw mudah dijumpai di tepi Danau Sentani, sehingga mudah memperolehnya," ujar Corry. "Sekarang kami mendapatkan kulit kayu olahan yang didatangkan dari kota lain—Yogyakarta. Selain menghemat waktu produksi, juga lebih murah."

Awalnya tradisi kulit pohon digunakan untuk busana dan lukisan. Kini, warga melestarikannya tradisi lukis kulit pohon sebagai cinderamata berupa dompet, tas, kntong gawai cerdas, dan tentu saja lukisan khas Asei. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon