Corry duduk di tepian lapangan di dekat dermaga Kampung Asei. Dia berkisah bahwa lapangan ini merupakan tapak gereja. Sayangnya, saat Perang Pasifik pada 1944, gereja ini tertimpa bom sehingga bangunannya hancur dan rumah-rumah di sekitarnya ikut terbakar.
Usai pengeboman tersebut, warga bergotong royong mengumpulkan kayu pohon sowang sebagai tiang gereja dan membangun kembali gereja kampung. Terdapat pula sisa-sisa Perang Pasifik yang digunakan oleh warga untuk membangun gereja,
Dia bercerita bahwa pada dahulu, sebuah rumah di Kampung Asei masih berbentuk rumah klan atau rumah keluarga besar. “Dulu kami memakai rumah klan,” terangnya. “Kemudian Belanda mengajarkan kepada kami untuk hidup secara sendiri-sendiri; tidak boleh tinggal di dalam satu rumah.”
Kemudian warga Kampung Asei membangun rumahnya masing-masing di tanah milik keluarga, dan tidak lagi menggunakan rumah klan. Cara bermukim ini digunakan sampai sekarang usai Belanda mengajarkan warga Kampung Asei tentang pentingnya privasi keluarga.
Toponimi "Asei" menurpakan sebutan Belanda untuk toponimi asli pulau ini, yakni "Ohee". Nama-nama kampung di Danau Sentani banyak yang diubah oleh Belanda untuk kepentingan administrasi. Kini nama-nama kampung tersebut banyak berubah dari penyebutan nama aslinya, kata Corry.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Lautan dan Hutan di Kampung Tablasupa
Selain terjadi Perang Pasifik pada 1944, peristiwa besar juga pernah terjadi di Kampung Asei. Banjir besar melanda kampung tersebut dan menenggelamkan rumah-rumahnya. Sewaktu peristiwa banjir tersebut, rumah milik Corry yang awalnya berkolom-kolom menjadi seperti sanggar karena dinding dan lantainya terlepas dan hanyut terbawa air bah. Pada saat itu, air danau naik setinggi 2,6 meter dari permukaan. Usai peristiwa tersebut, dinas sosial setempat memberikan bantuan kepada tiap-tiap keluarga di Kampung Asei.
Motif-motif yang dilukis oleh seniman Asei di kulit kayu ini biasanya menggambarkan alam, manusia, hingga suasana lingkungan mereka. Setiap motif memiliki namanya sendiri. "Yoniki, Fouw, Aye-Mehele, Luwga, Kino, O Mane-Mane, Rasyin Rale, Kheleuw, Khaley, dan Kheyka, kata Corry.
Tradisi melukis di atas kulit kayu khombouw ini sempat ditinggalkan oleh warga seiring berubahnya zaman. Arnold Ap dan Danielo Constantino Ayamiseba, dua antropolog yang datang ke Asei Besar pada 1975, mulai menggerakkan seni tradisi ini kembali. "Sampai sekarang tradisi ini terus berlanjut dan diturunkan dari generasi ke generasi," ungkapnya.
Pohon khombouw tidak tumbuh di Pulau Asei. Apabila saat ini ada beberapa pohon khombouw di pekarangan, tampaknya ditanam sengaja oleh warga. Pohon itu pernah mudah dijumpai di tepian Danau Sentani. Namun, perkembangan permukiman di sekitar danau tampaknya telah menghilangkan pohon-pohon khombouw. Kalaupun masih ada, letaknya cukup jauh di pedalaman pinggang Cycloop.
"Dahulu pohon khombouw mudah dijumpai di tepi Danau Sentani, sehingga mudah memperolehnya," ujar Corry. "Sekarang kami mendapatkan kulit kayu olahan yang didatangkan dari kota lain—Yogyakarta. Selain menghemat waktu produksi, juga lebih murah."
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon