Alex Waisimon: Mencintai Alam Sama Dengan Membenci Para Perusaknya

By National Geographic Indonesia, Selasa, 6 April 2021 | 06:00 WIB
Bagi Alex Waisimon, mencintai alam sama dengan membenci para perusaknya. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Alex terus mengamati hutannya yang dia kelola seluas 150 hektar dan tetap menjaga total luas keseluruhannya seluas 19.000 hektar. Dalam ekowisata yang telah Alex bangun, dia menghadirkan spot bagi para calon wisatawan untuk melakukan bird watching, khususnya burung cendrawasih. Wisatawan yang pernah mengunjungi ekowisata milik Alex tidak hanya wisatawan lokal, namun juga wisatawan mancanegara.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan

Cenderawasih dua belas kawat di Hutan Repang Muaif. Ekowisata yang diinisiasi Alex menghadirkan spot bagi para peminat burung untuk pengamatan, khususnya burung cendrawasih. Pejalan yang pernah singgah di pondokan ekowisata milik Alex tidak hanya pejalan lokal, tetapi juga mancanegara. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Di hutan adat Repang Muaif, wisatawan dapat melihat sebanyak delapan jenis burung cendrawasih sekaligus kakaktua raja. Ada pula burung kasuari, mambruk, bahkan hewan seperti kuskus pun dapat kita lihat di hutan Repang Muaif.

Hutan Repang Muaif pun sudah membangun kerja sama di bidang pendidikan dengan semua perguruan tinggi di Provinsi Papua. Membangun kerja sama pula dengan perguruan tinggi UGM dan Udayana. Tidak hanya lingkup nasional, negara lain seperti Jerman dan Kanada pun turut membangun kerja sama dengan ekowisata Repang Muaif.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani

Kebinekaan warna. Noken yang direnda oleh Mama Bastiana Waisimon. Tali-temalinya berasal dari tanaman swei yang tumbuh di tepian hutan. Pewarnanya diracik dari tanaman, rona alami. Warna cokelat-merah berasal dari daun jati. Kuning dari kunyit. Biru dari buah kenewatekle. Hijau dari pondang atau pandan. Ungu dari mangga hutan atau indigo. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam proses mengembangkan ekowisata tersebut, Alex kerap melibatkan generasi di bawahnya, baik dalam pertemuan maupun dalam pelatihan. Karena bagi Alex, generasi selanjutnyalah yang akan meneruskan menjaga hutan Repang Muaef. Alex juga melibarkan warga setempat salah satunya untuk melestarikan kerajinan membuat noken.

Noken dibuat dari serat kulit pohon yang dipilin lalu dianyam. Bentuknya bisa berukuran kecil maupun besar, baik berupa tas pinggang maupun pakaian. Orang tua dahulu tidak memiliki pakaian dan menggunakan noken untuk menutupi bagian tubuhnya. Proses pengerjaan noken memakan waktu sekitar satu sampai tujuh hari tergantung ukurannya.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Gerabah-gerabah Abar di Tepian Danau Sentani

Sepanjang mama-mama rajin ke kebun, tradisi ini diyakini akan lestari, demikian kata Yustina Wouw. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Yustina Wouw, pengrajin noken, bercerita bahwa setelah Belanda datang, barulah ada pakaian. Setelah ada pakaian, noken hanyalah dipakai saat berkebun. Budaya menganyam noken diajarkan secara turun temurun dalam lingkup keluarga. Noken memiliki kaitan langsung dengan hutan karena seluruh bahannya berasal dari hutan. “Kalau hutan hilang, noken juga hilang,” ucap Yustina.

Orang Papua hidup dari hutan. Menghancurkan hutan sama dengan menghancurkan hidup orang Papua.

 

Menurut Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, orang Jakarta selalu salah dalam menilai Papua. Menurutnya, orang Papua tidak pernah diajak berbicara. Semua kunci penyelesaian masalahnya ada di lapangan, di Papua, bukanlah di Jakarta. “Banyak hal yang harus kita benahi,” terang Wiranto kepada National Geographic Indonesia. “Tidak hanya persoalan yang bersifat teknis, tetapi juga persoalan akal dan hati nurani.”

“Kalau ingin menyelesaikan masalah, kita tidak boleh jadi bagian dari masalah tersebut. Sebagaimana kita pun tidak bisa membersihkan lantai dengan sapu yang kotor,” tuturnya. Bagi Wiratno, tidak mudah untuk menempatkan masyarakat asli Papua sebagai subyek. Hal tersebut membutuhkan pendekatan personal agar dapat bekerja sama dan melahirkan rasa saling percaya.

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon

Degup Cycloop, kisah sampul National Geographic Indonesia edisi Januari 2021. Edisi pembuka tahun ini berbonus sisipan poster dua sisi tentang Pusparagam Cycloop dan Edisi Khusus Merapah Rempah. (National Geographic Indonesia)