Jokowi Keluarkan Limbah Batu Bara dan Sawit dari Kategori Berbahaya

By Utomo Priyambodo, Selasa, 16 Maret 2021 | 11:00 WIB
Potongan cover majalah TIME yang menampilkan foto paras Joko Widodo. (Time.com)

Nationalgeographic.co.idPresiden Joko Widodo mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3). Pemerintah mengesahkan langkah itu dalam salah satu Peraturan Turunan UU Omnibus Law No 1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hal itu tepatnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan ini sah pada 02 Februari 2021. Dalam bagian penjelasan Pasal 459, debu hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3.

“Pemanfaatan Limbah non-B3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan Limbah non-B3 khusus seperti fly ash (debu,red) batu bara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal CFB (Ciraiating Fluidized Bed) dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen pozzolan,” demikian tertulis dalam beleid itu, sebagaimana dilansir Kompas TV.

Dalam lampiran ke-14 beleid itu, limbah batu bara berjenis Bottom Ash juga tak termasuk dalam limbah B3. Namun, pada lampiran ke-9, ada pula limbah batu bara yang masih masuk kategori limbah B3.

Teknologi tungku industri yang bernama stock boiler jadi pembeda. Bila badan usaha menggunakan tungku industri, limbahnya akan tergolong sebagai limbah B3. Namun bila badan usaha menggunakan teknologi selain tungku industri, limbah batu bara akan tergolong sebagai limbah non-B3. Tak jelas teknologi apa yang aman dan tak menghasilkan limbah B3.

Baca Juga: Mengolah Permasalahan Sampah: Dari Sumber Marabahaya Menjadi Laba

Limbah batubara yang menguap dibuang oleh pabrik. (Lutfi Fauziah)

Tak hanya mengeluarkan limbah batu bara dari kategori B3, Presiden Jokowi juga menghapus limbah hasil penyulingan sawit atau spent bleaching earth (SBE) dari kategori B3. Aturan itu tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beleid itu sah pada 02 Februari 2021.

Hukum ini merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Omnibus Law tentang Cipta Kerja. SBE masuk dalam kategori limbah non-B3 pada lampiran XIV PP 22/2021.

"Proses industri oleochemical dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama dengan 3 persen," demikian penjelasan soal limbah SBE dalam aturan itu.

Beleid ini mengubah aturan sebelumnya pada PP 101 Tahun 2014. PP itu sah pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam PP 101/2014, limbah penyulingan sawit masuk dalam kategori B3.

Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas

Produksi minyak kelapa sawit. (Zika Zakiya)

Putusan Jokowi untuk mengeluarkan limbah batu bara dan sawit dari kategori B3 ini tak terlepas dari desakan pengusaha. “Peraturan penghapusan limbah batu bara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) tidak terlepas dari desakan simultan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya sejak pertengahan tahun 2020,” ungkap Trend Asia, lembaga yang berfokus di bidang energi terbarukan.

Sebelumnya APINDO mengklaim limbah batu bara tidak berbahaya sesuai hasil penelitian mereka. “Sebanyak 16 asosiasi di Apindo sepakat mengusulkan penghapusan fly ash dan bottom ash (FABA), karena berdasarkan hasil uji pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Apindo, Haryadi B. Sukamdan, Kamis (18/6/2020), dikutip dari apbi-icma.org.

Asosiasi yang mendukung langkah itu adalah Gapkindo (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia), APPI (Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia), IMA (Indonesian Mining Association), GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia), API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Akida (Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia), Apolin (Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia).

Kemudian, ada juga APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia), APROBI (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia), GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Inaplas (Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia), ASAKI (Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia), APBI-ICMA (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia), AIMMI (Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia), APSyFI (Asosiasi Produsen Serat Benang dan Filamen Indonesia), dan GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia).

Baca Juga: Penggundulan Hutan untuk Sawit di Indonesia Turun, tapi Banyak Catatan

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) juga pernah meminta pada Jokowi untuk mengeluarkan limbah sawit itu dari kategori B3 pada Juli 2020. “Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menetapkan SBE menjadi limbah B3, jelas menambah beban pelaku usaha industri pemurnian minyak sawit di Indonesia," ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Senin (20/7/2020), seperti dikutip dari Kontan.

Menurut Sahat, SBE memiliki potensi pengolahan menjadi produk bernilai tinggi yaitu recovered oil (R-oil). Limbah sawit ini juga dapat menghasilkan pengganti pasir bahan bangunan, bahan pupuk mikronutrien, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, penggunaan ulang bahan baku bleaching earth, dan bahan baku semen.

Sebelumnya, pihak KLHK sepakat bahwa SBE dapat dimanfaatkan. Namun, mereka menyatakan SBE tetap sebagai bahan berbahaya dan beracun.

SBE saat ini sering dibuang begitu saja di tanah. Mengutip sebuah makalah di AIP Conference Proceedings, limbah penyulingan sawit ini dapat menyebabkan polusi berat air dan udara.

“Di Malaysia, praktik umum saat ini adalah pembuangan SBE di tempat pembuangan sampah, yang menyebabkan kebakaran dan bahaya polusi karena degradasi minyak sisa di dalamnya, serta emisi gas rumah kaca (GRK),” tulis makalah itu.

Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah

Limbah batu bara pun sebenarnya tak kalah berbahaya dari SBR. Menurut Trend Asia dalam cuitannya di akun twitter @TrendAsia_Org, “Keputusan pemerintah menghapus limbah batu bara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah keputusan bermasalah dan sebuah kabar sangat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.” Padahal, sebagian besar negara lain sebenarnya masih memasukkan limbah batu bara sebagai kategori limbah B3.

“Limbah batu bara sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat karena mengandung senyawa kimia seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium, dsb,” tulis Trend Asia.

Hal itu diamini juga oleh pakar kesehatan yang menyatakan debu batu bara dapat membuat paru-paru menghitam karena penyakit pneumokoniosis. “Kasus ini umumnya muncul pada pekerja batu bara, nama lainnya coal workers pneumoconiosis,” jelas Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Agus Dwi Susanto, dikutip dari web Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Agus mengatakan, kasus ini dapat terjadi karena debu batu bara menumpuk di paru-paru. Lama-kelamaan tumpukan batu bara itu akan mengeraskan jaringan paru dan menurunkan fungsinya. Menurut Agus, warga yang hidup di dekat area penghasil limbah batu bara dapat terkena penyakit serupa. Fenomena ini biasanya baru disadari setelah 10 tahun terpapar debu batu bara. Gejala paru-paru menghitam ini adalah sesak napas dan batuk sesekali dengan dahak berwarna hitam.