Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara

By Utomo Priyambodo, Selasa, 16 Maret 2021 | 09:43 WIB
Ilustrasi kapal tenggelam di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Sampai tahun 2015, kegiatan pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia masih termasuk ke dalam bidang usaha yang terbuka untuk investor. Para investor dari dalam maupun luar negeri dapat mengajukan izin kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pencarian kapal karam dan muatannya di wilayah perairan negeri ini.

Pada tahun 2016, melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa pengangkatan BMKT tertutup untuk bidang investasi. Bahkan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada waktu itu juga memoratorium atau menghentikan pengeluaran semua izin pengangkatan BMKT.

Adapun kini, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, kesempatan bagi para investor, termasuk investor asing, untuk mencari BMKT di wilayah perairan Indonesia menjadi terbuka kembali. Izin pengangkatan BMKT ini tidak lagi melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan memang betul ada kecenderungan untuk mereduksi benda cagar budaya bawah air ini sebagai barang komoditi belaka. “Sebetulnya, secara legal, secara hukum, nggak ada yang salah dengan menjual-belikannya. Tapi kalau kemudian semata-mata ini disamakan dengan barang komoditi lain pada umumnya, tentu itu sangat disayangkan. Dan jelas itu bukan tujuan utamanya,” ujar Farid.

Farid menyatakan seharusnya tujuan utama pengangkatan BMKT “bukan untuk jual-belinya terlebih dulu, tapi untuk memanfaatkannya demi kepentingan kebudayaan.” Namun ia juga memahami bila para investor tentu tidak akan mau membiayai pengangkatan kalau mereka tak boleh membawa hasil pengangkatannya ke luar negeri untuk dilelang.

Menurut catatan Farid, pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia terakhir kali dilakukan pada tahun 2009. “Setelah itu tidak ada lagi,” katanya.

Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika

Data dari BRKP menyebut ada 463 kapal kuno yang karam di wilayah perairan Indonesia sekitar tahun 1508-1878. Dari jumlah itu, baru 10 titik yang sudah dilakukan pengangkatan. Kesepuluh titik tersebut berada di perairan Blanakan (Subang), Buaya Wreck (Batam), Karang Cina (Kepulauan Seribu), Intan Cargo Selat Gelasa (Bangka Belitung), Cirebon, Teluk Sumpat (Tanjungpinang), Karang Heliputan (Tanjung Pinang), Karawang, Belitung Timur, dan Jepara.

Belum adanya lagi upaya pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia bukanlah sesuatu yang bagus. Sebab, nasib kapal-kapal karam dan muatannya itu akan ditentukan oleh waktu juga. Surya Helmi mengatakan, “CBBA kalau dibiarkan terus menerus berada di bawah permukaan air (terutama laut), perlahan-lahan juga akan habis atau hilang, baik karena proses alam maupun dicuri atau diambil secara ilegal oleh pemburu harta karun.”

Sementara kalau hanya mengandalkan pemerintah untuk kegiatan pengangkatan ini, tentu “akan terkendala dengan dana dan SDM.” Sebab, Helmi menegaskan, kegiatan pelestarian CBBA ini membutuhkan pendanaan yang besar dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang tinggi dan khusus.

Kepada National Geographic Indonesia, arkeolog maritim di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo juga mengatakan bahwa keberadaan "benda cagar budaya bawah air merupakan dilema". Pemerintah pasti akan butuh dana yang besar untuk menjaga lokasi-lokasi cagar budaya bawah air di seluruh Indonesia. Namun bila kita kembali membolehkan investor untuk mengangkatnya, pengalaman membuktikan bahwa kita seringkali "dicurangi" dan "dirugikan." 

Perihal pengangkatan kapal karam dan muatannya yang sudah ditetapkan oleh Perpres No.10/2021 sebagai bidang usaha yang terbuka sehingga menyiratkan bahwa investor asing kembali diperbolehkan untuk melakukan pengangkatan kapal, Helmi mengimbau seyogyanya pemberian izin tersebut harus datang dari kementerian yang berwenang terhadap pelestarian CBBA. Jadi, pelaksanaan survei dan pengangkatan harus sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologi sesuai Undang-Undang Cagar Budaya.

“Harus ada regulasi yang tegas dalam hal pemanfaatan CBBA hasil pengangkatan. Hasil pengangkatan yang dianggap bernilai untuk ilmu pengetahuan dan sejarah harus dimiliki oleh negara,” tegasnya.

Baca Juga: Resmi Sandang Status Cagar Budaya Nasional, Situs Batujaya Jadi Bukti Keberlanjutan Pelestarian Masa Prasejarah Hingga Hindu-Buddha

Bambang Budi Utomo juga menyatakan perlunya aturan turunan yang rinci dan tegas mengenai izin pengangkatan barang muatan kapal tenggelam di Indonesia ini. "Solusinya, investor yang mengambil itu harus menyertakan arkeolog. Karena untuk penelitian underwater archeology (arkeologi bawah air) itu perlu biaya yang besar," kata Bambang kepada National Geographic Indonesia pada Senin (15/3/2021).

"Mungkin begitu jalan tengahnya. Investor (bisa melakukan pengangkatan) ke laut, ada arkeolognya juga yang menyertai di situ sehingga dapat pengetahuan arkeologi," ujarnya.

Jadi, perlu adanya jaminan penelitian arkeologi dalam setiap upaya pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia. Selain itu, pemerintah juga tetap perlu memiliki kewenangan untuk memilih dan memiliki 10% benda-benda yang paling berharga secara arkeologi dari hasil pengangkatan tersebut. Harapannya, pengetahuan dan nilai sejarah serta budaya yang ada pada setiap cagar budaya bawah air di Indonesia ini tidaklah hilang begitu saja setiap kali diangkat dan dimiliki sebagiannya oleh investor.

Bambang menegaskan, setiap BMKT harus dianggap sebagai cagar budaya dan juga diteliti karena mengandung pengetahuan sejarah kebudayaan Indonesia. "Hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan pihak di luar Nusantara ada di barang-barang itu," tutur Bambang mencontohkan.

Keberadaan barang keramik misalnya menunjukkan adanya hubungan dagang antara kerajaaan di Nusantara dengan Tiongkok. Sementara arca berlanggam seni India menunjukkan hubungan antara kerajaan di Nusantara dengan India. "Jadi bagaimanapun barang-barang itu mengandung nilai sejarah dan budaya Indonesia," tegas Bambang.