Senyawa Ganja Berpotensi Menghambat Replikasi Virus Corona di Manusia

By Utomo Priyambodo, Selasa, 16 Maret 2021 | 17:58 WIB
Wacana legalisasi ganja di Indonesia. (georgeoprea9/Getty Images/iStockphoto)

Baca Juga: Riset: Virus Corona Lebih Banyak Menular Lewat Udara ketimbang Benda

Tim kemudian menyelidiki juga apakah senyawa kanabinoid lain yang berasal bukan dari tanaman ganja juga dapat menghambat infeksi SARS-CoV-2. Uniknya, ternyata satu-satunya senyawa kanbinoid yang secara kuat menghambat replikasi virus hanyalah CBD dari ekstrak ganja. Adapun senyawa kanabinoid lain, setelah diuji, ternyata hanya memiliki efek antivirus yang sangat terbatas atau bahkan tidak memiliki efek antivirus.

Lebih lanjut, metabolit 7-OH-CBD, bahan aktif dalam pengobatan epilepsi dengan menggunakan CBD, juga secara efektif menghambat replikasi SARS-CoV-2 dalam sel A549-ACE2.

Ketika para peneliti menyelidiki apakah CBD dapat mencegah pembelahan proteolitik oleh Mpro atau PLpro, mereka menemukan CBD tidak berpengaruh pada aktivitas protease. Hal ini membuat tim berhipotesis bahwa CBD menargetkan proses sel inang.

Hasil pengobatan dengan CBD selama 24 jam pada sekuens RNA dari sel A549-ACE2 yang terinfeksi SARS-CoV-2 juga menunjukkan penekanan yang signifikan dari perubahan ekspresi gen yang diinduksi virus tersebut. Jadi,  para peneliti meyakini, CBD secara efektif menghilangkan ekspresi RNA virus, termasuk RNA yang mengkode protein spike.

Selain itu, CBD secara efektif membalikkan induksi virus dari sitokin yang dapat memicu respons hiperinflamasi yang mematikan efek yang disebut sebagai "badai sitokin" selama tahap infeksi selanjutnya.

“Jadi, CBD memiliki potensi tidak hanya untuk bertindak sebagai agen antivirus pada tahap awal infeksi tetapi juga untuk melindungi host dari sistem kekebalan yang terlalu aktif pada tahap selanjutnya,” kata Rosner dan tim.

Baca Juga: Jumlah Orang Hikikomori Diprediksi Meningkat Pasca Pandemi COVID-19

Secara garis besar hasil riset ini menunjukkan jumlah kejadian infeksi SARS-CoV-2  pada pasien yang mengonsumsi CBD ditemukan lebih rendah daripada mereka yang tidak mengonsumsinya. Rincinya, kejadian SARS-CoV-2 hanya ditemukan sebanyak 1,2% di antara pasien yang diresepkan CBD, dibandingkan dengan 12,2% di antara pasien yang tidak memakai CBD.

“Penurunan substansial dalam risiko infeksi SARS-CoV-2 pada pasien yang menggunakan CBD yang telah dilegalkan FDA menyoroti potensi kemanjuran obat ini dalam memerangi infeksi SARS-CoV2,” kata Rosner dan rekan-rekannya.

“Kami menganjurkan uji klinis terkontrol dengan plasebo yang dirancang dengan hati-hati dengan konsentrasi yang diketahui dan formulasi yang sangat khas untuk menentukan peran CBD dalam mencegah dan mengobati infeksi dini SARS-CoV-2,” simpul mereka.