Selain latarnya dari keluarga, anggapan Samin sebagai Bima juga tertera dari sifat-sifatnya yang tak sopan dan kasar, tetapi memiliki hati jujur, murah hati, luhur, dan sabar.
Di tangan Samin Surosentiko, ajaran ini pesat diterima masyarakat, terutama dirinya juga bekerja sebagai petani. Disebutkan ia memiliki sawah seluas tiga bau, ladang satu bau, dan enam ekor sapi, sehingga ia tetap tak tergolong sebagai petani miskin.
Namun demikian, tetap saja pekerjaannya sebagai petani membuatnya mudah bertemu dengan masyarakat kecil lainnya, untuk saling berdiskusi dan mempermudah penyebaran ajaran.
Sindhunata menulis buku Hoffen auf den Ratu-Adil (1992), menyebut pengilahaman Samin Surosentiko secara pribadi untuk mendapatkan ilmunya dari pertapaan. Dirinya pergi ke sebuah gunung dan memohon kepada Tuhan agar dapat mengangkat martabat manusia.
Sebagai jawaban, ia diberikan buku dari langit berisi ilmu untuk keselamatan manusia. Tetapi Widyatwati lebih menganggap buku pedoman ajaran itu yang bernama Kitab Jamus Kalimosodo berasal dari ayahnya, Samin Sepuh.
Menghadapi ajaran ini, pemerintah kolonial awalnya tak menghiraukan penyebaran ajaran ini. Gesekkan dengan masyarakat Samin baru terjadi pada 1905, ketika mereka tak mau membayar pajak, kerja bakti, dan mengumpulkan hasil tani.