"Kami protes itu dengan damai, mas. Kami kalau melawan enggak pakai kekerasan, karena cara itu selalu gagal seperti yang dulu-dulu dilakukan oleh Diponegoro, dan lainnya sebelum Ki Samin lahir," terang Pramugi Prawiro Wijoyo saat diwawancarai, Sabtu (20/03/2021).
Mereka diajarkan untuk berbicara apa adanya, tetapi dengan pihak pemerintah kolonial lebih memilih ketus.
Baca Juga: Perjuangan Sedulur Sikep dari Tuduhan Komunis sampai Soal Lingkungan
"Misal kalau ditanya, 'Pak, dari mana?' [jawabannya] 'dari belakang.' [ditanya lagi] 'Memangnya mau ke mana?' [jawabannya] 'ke depan.' Gitu aja, kami kasih ke mereka [orang Belanda] perilaku kalau kami enggak seneng," paparnya.
Perlawanan pengikut Samin kian mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Pada 1907 ada isu bahwa 1 Maret mereka akan melakukan pemberontakan, pemerintah Blora langsung mengutus polisi untuk mengangkap para pengikut Samin. Mereka tak melakukan perlawanan, bahkan Ki Samin tak hadir saat itu.
Keabsenan itu akhirnya membuat Bupati Rembang menangkapnya dengan dalih memanggilnya. Ia pun kemudian dibuang ke Sumatera Barat. Perjuangan di Jawa pun dilanjutkan oleh pengikutnya.
Pembuangannya di Sumatera Barat bukan berarti menghentikan perjuangan. Ia cukup dikenal oleh para pekerja buruh paksa atau "orang rantai" di Sawahlunto.
Dikutip dari Antara, Sukadi T Ketua Komunitas Dulur Tunggal Sekapal yang merupakan tempat berhimpunnya anak-cucu para buruh bercerita pengalaman leluhurnya. Para buruh dipaksa tinggal di lubang-lubang tambang miliki Belanda yang jauh dari kata layak mukim.
"Kondisi tersebut tentu menimbulkan sikap perlawanan dari kaum buruh paksa itu, salah satu yang paling fenomenal adalah perjuangan Samin Surosentiko," ujar Sukadi
"Dalam perlawanannya terhadap kaum penjajah, Mbah Suro sempat melarikan diri dan terus dikejar-kejar, bahkan beliau harus menghadapi orang suruhan penjajah yang diperintahkan menangkapnya dengan imbalan sejumlah uang."
Baca Juga: Sains Jelaskan Isi Kepala Pelaku Bom Bunuh Diri. Apakah Terkait Agama?
Ada banyak simpang siur terkait akhir hayatnya. Beberapa pengikut Samin di Jawa percaya bahwa Samin Surosentiko hidup abadi. Sedang Widyatwati menulis tokoh perlawanan itu meninggal di Sawahlunto pada 1914.
Namun demikian pasca kepergiannya perlawanan di Jawa berangsur-angsur mulai surut oleh para pengikutnya. Terutama, adanya penangkapan yang terus dilakukan oleh pemerintah kolonial.
"Walaupun perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial Belanda reda. Namun ajaran Samin tetap eksis hingga sekarang," tulis Widyatwati.