Samin Surosentiko dari Ningrat Jadi Tokoh Perlawanan Tani dan Buruh

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 30 Maret 2021 | 16:00 WIB
Patung Ki Samin Surosentiko di Desa Sambongrejo, Blora, Jawa Tengah. Desa ini adalah salah satu masyarakat Sedulur Sikep tinggal sebagai petani. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sedulur Sikep merupakan falsafah bagi beberapa komunitas adat yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Paham ini pertama kali disebarkan oleh Samin Surosentiko pada 1890 di desanya hingga akhirnya menyebar ke daerah lainnya.

Samin Surosentiko adalah nama ubahan, sosok ini bernama asli Raden Kohar yang sebelumnya berasal dari keluarga ningrat. Ia adalah keturunan dari Bupati Sumoroto (Raden Mas Adipati Brotodiningrat) yang berkuasa 1802-1826.

Ken Widyatwati dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dalam jurnal NUSA (Vol.12 No.1 Februari 2017) menulis paham Samin ini bermula dari sosok ayahnya yang bernama Raden Surowijoyo.

Karena tak menyukai tindakan pemerintah Hindia Belanda, ia menciptakan gerakan moral pada masyarakat sekitar dan mengubah nama menjadi Samin Sepuh. Pengubahan nama ini mencerminkan sosoknya untuk bisa melebur dengan wong cilik (orang kecil).

Samin Sepuh hanya memiliki lima putra, dan anak keduanya adalah adalah Samin Surosentiko yang melanjutkan ajarannya. Menurut A Widyarsono dari Universitas Islam Indonesia dalam tulisannya, inilah yang membuat para pengikutnya menganggap Samin Surosentiko sebagai Bima dari Pandawa.

Baca Juga: Ajaran Saminisme, Ketika Anarkisme 'Kawin' dengan Paham Kejawen

Selain latarnya dari keluarga, anggapan Samin sebagai Bima juga tertera dari sifat-sifatnya yang tak sopan dan kasar, tetapi memiliki hati jujur, murah hati, luhur, dan sabar.

Di tangan Samin Surosentiko, ajaran ini pesat diterima masyarakat, terutama dirinya juga bekerja sebagai petani. Disebutkan ia memiliki sawah seluas tiga bau, ladang satu bau, dan enam ekor sapi, sehingga ia tetap tak tergolong sebagai petani miskin.

Namun demikian, tetap saja pekerjaannya sebagai petani membuatnya mudah bertemu dengan masyarakat kecil lainnya, untuk saling berdiskusi dan mempermudah penyebaran ajaran.

Sindhunata menulis buku Hoffen auf den Ratu-Adil (1992), menyebut pengilahaman Samin Surosentiko secara pribadi untuk mendapatkan ilmunya dari pertapaan. Dirinya pergi ke sebuah gunung dan memohon kepada Tuhan agar dapat mengangkat martabat manusia. 

Sebagai jawaban, ia diberikan buku dari langit berisi ilmu untuk keselamatan manusia. Tetapi Widyatwati lebih menganggap buku pedoman ajaran itu yang bernama Kitab Jamus Kalimosodo berasal dari ayahnya, Samin Sepuh.

Menghadapi ajaran ini, pemerintah kolonial awalnya tak menghiraukan penyebaran ajaran ini. Gesekkan dengan masyarakat Samin baru terjadi pada 1905, ketika mereka tak mau membayar pajak, kerja bakti, dan mengumpulkan hasil tani.

"Kami protes itu dengan damai, mas. Kami kalau melawan enggak pakai kekerasan, karena cara itu selalu gagal seperti yang dulu-dulu dilakukan oleh Diponegoro, dan lainnya sebelum Ki Samin lahir," terang Pramugi Prawiro Wijoyo saat diwawancarai, Sabtu (20/03/2021).

Mereka diajarkan untuk berbicara apa adanya, tetapi dengan pihak pemerintah kolonial lebih memilih ketus.

Baca Juga: Perjuangan Sedulur Sikep dari Tuduhan Komunis sampai Soal Lingkungan

"Misal kalau ditanya, 'Pak, dari mana?' [jawabannya] 'dari belakang.' [ditanya lagi] 'Memangnya mau ke mana?' [jawabannya] 'ke depan.' Gitu aja, kami kasih ke mereka [orang Belanda] perilaku kalau kami enggak seneng," paparnya.

 

Perempuan masyarkat adat Sedulur Sikep atau Samin di Sambongrejo, Blora. (Taufiqur Riza Subthy)

Perlawanan pengikut Samin kian mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Pada 1907 ada isu bahwa 1 Maret mereka akan melakukan pemberontakan, pemerintah Blora langsung mengutus polisi untuk mengangkap para pengikut Samin. Mereka tak melakukan perlawanan, bahkan Ki Samin tak hadir saat itu.

Keabsenan itu akhirnya membuat Bupati Rembang menangkapnya dengan dalih memanggilnya. Ia pun kemudian dibuang ke Sumatera Barat. Perjuangan di Jawa pun dilanjutkan oleh pengikutnya.

Pembuangannya di Sumatera Barat bukan berarti menghentikan perjuangan. Ia cukup dikenal oleh para pekerja buruh paksa atau "orang rantai" di Sawahlunto.

Dikutip dari Antara, Sukadi T Ketua Komunitas Dulur Tunggal Sekapal yang merupakan tempat berhimpunnya anak-cucu para buruh bercerita pengalaman leluhurnya. Para buruh dipaksa tinggal di lubang-lubang tambang miliki Belanda yang jauh dari kata layak mukim.

"Kondisi tersebut tentu menimbulkan sikap perlawanan dari kaum buruh paksa itu, salah satu yang paling fenomenal adalah perjuangan Samin Surosentiko," ujar Sukadi

"Dalam perlawanannya terhadap kaum penjajah, Mbah Suro sempat melarikan diri dan terus dikejar-kejar, bahkan beliau harus menghadapi orang suruhan penjajah yang diperintahkan menangkapnya dengan imbalan sejumlah uang."

Baca Juga: Sains Jelaskan Isi Kepala Pelaku Bom Bunuh Diri. Apakah Terkait Agama?

Ada banyak simpang siur terkait akhir hayatnya. Beberapa pengikut Samin di Jawa percaya bahwa Samin Surosentiko hidup abadi. Sedang Widyatwati menulis tokoh perlawanan itu meninggal di Sawahlunto pada 1914.

Namun demikian pasca kepergiannya perlawanan di Jawa berangsur-angsur mulai surut oleh para pengikutnya. Terutama, adanya penangkapan yang terus dilakukan oleh pemerintah kolonial.

"Walaupun perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial Belanda reda. Namun ajaran Samin tetap eksis hingga sekarang," tulis Widyatwati.