Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 25 Maret 2021 | 10:00 WIB
Pocut Meurah Intan ()

Nationalgeographic.co.id—Demi mempertahankan kedaulatannya agar tak jatuh dari kuasa Hindia Belanda, Aceh punya banyak perempuan-perempuan tangguh.

Henri Carel Zentgraaf dalam bukunya, Atjeh, bahwa ketangguhan perempuan Aceh tak bisa dianggap remeh. Ia menulis, hampir semua perempuan Aceh yang ditemui pihak militer, tak gentar berjuang hingga titik darah penghabisan melawan, terlebih jika suaminya dibunuh.

Ketangguhan ini pun juga dimiliki oleh Pocut Meurah Intan yang juga dikenal sebagai Pocut Di Biheue. Ia sudah ditanamkan karakter agamis dan patriotik sejak kecil oleh ayahnya, Teuku Meureh Intan yang juga seorang hulubalang di Biheue.

Ia pun berambisi untuk melawan kolonialisme Belanda yang masuk ke negerinya. Puncak kemarahannya adalah ketika mantan suaminya yang justru patah arang dan takluk pada kekuasaan Belanda.

Tak tanggung-tanggung, ia mengumpulkan para pengikutnya bersama tiga putranya (Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad, dan Tuanku Nurdin), dan tangan kanannya, Pang Mahmud, untuk memimpin perjuangan.

Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman

'Peta Pengepungan Atchin dan Pertahanannya (pandangan mata burung)' dengan potret Mayor Jenderal G.M. Kohler di kiri bawah, potret Letnan Jenderal J. van Swieten di kanan bawah, dan nama-nama kapal perang Belanda yang terlibat. Diterbitkan oleh Van Egmond & Heuvelink dalam Arnhem 1873. (KITLV)

Ia memiliki karakter yang sangat tegas untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan kemakmuran masyarakat sekitarnya sehingga memiliki banyak pengikut. Pengaruh dan karakter Pocut Meurah Intan inilah yang membuat pemerintah Belanda resah, dan berusaha menghentikan sepak terjangnya.

Dalam ekspedisi militer Hindia Belanda November 1902 di Aceh, Mayjen T.J  Veltman bersama 17 tentaranya berpatroli di tempat persembunyian Pocut Meurah Intan di Biheue.

Seketika Pocut Meurah Intan beraksi sendirian melawan rombongan patroli itu. Sehingga dia memiliki banyak luka yang dalam kepala, bahu, dan otot tumitnya yang putus sehingga harus diamputasi ketika dirawat dalam tahanan kolonial.

Letnan Satu T.J. Veltman bersama brigade Marechaussee dan porter mereka di Aceh Besar, 1898. Fotografer: C.B. Nieuwenhuis . (KITLV)

Ketangguhannya itu membuat kagum Veltman, bahkan berempati ketika seorang komandannya menyarankan untuk membunuhnya. Veltman menyebut Pocut Meurah Intan memiliki jiwa heroik dan cukup terpandang sebagai pemberontak di masa Kolonialisme.

Sedangkan H.C Zentgraff dalam bukunya, menjulukinya sebagai de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (perempuan besar).

Bagaimana akhir tragis Pocut Meurah Intan?

Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda