Kesatria Malam Penyambat Nyawa, Ketika Kita Bergantung pada Kelelawar

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 14:00 WIB
Dalam satu jam, kelelawar seperti ini dapat mengonsumsi 600 ekor serangga. (Dwi Oblo)

Nationalgeographic.co.id—Pagi menjelang di kawasan Purwosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Di bawah batas cakrawala nan tipis, lanskap laut selatan terlihat resah. Mengingatkan saya pada lukisan cat minyak: biru pekat berbaur hijau tua dengan ombak kelam mencuat-cuat dari atas kanvas. Kemudian di atas sana, campuran warna itu bagaikan tertapis oleh horison, melepaskan rona biru muda yang berlomba menuju zenit, jernih tak bermega.

Batu-batu karang sebesar rumah bermunculan dari balik air di tepi garis batas laut dan darat. Sesekali riak-riak putih raksasa melahapnya dalam sekejap, diiring bunyi hantaman dahsyat serta suara sisa-sisa pecahan air yang membuat bulu kuduk berdiri.

Sekitar 60 meter di atas golakan air, sekitar setengah tinggi Monas, Gunarso dan dua rekan­nya warga Kampung Klampok, Purwosari, Gunung Kidul, menapakkan kaki di bambu yang tersusun di antara dua tali tambang plastik berwarna biru. Berjangkar pada sebuah pohon sebesar lengan orang dewasa serta sela bebatuan, tangga tali ini berusaha mengikuti liuk tubuh sang tebing walau kadang harus mengalah dan menggantung di beberapa tempat.

 

Seolah tak lagi peduli dengan kencangnya ter­paan angin laut yang siap merenggut tubuh dari tali, para pemburu ini pun turun. Tujuan mereka hanya satu: sebuah mulut gua di kaki tebing bernama Kayuwalang yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Saya dan fotografer Dwi Oblo pun mengikuti mereka menuruni tebing dengan menggunakan single rope technique.

Di bawah sana, setelah melewati bongkahan karang raksasa dan menerabas jalan air laut setinggi pinggang yang semakin lama semakin naik, kekelaman pun dalam sekejap menyergap. Angin laut segar tergantikan oleh bau kotoran kelelawar (guano) serta udara lembap yang terperangkap di dalam gua. Suara cericit kele­lawar riuh tertangkap telinga. Sepatu saya me­nyentuh dasar yang halus: pasir putih meng­hampar di dasar gua.

Dalam bulat sorot sinar senter yang diarahkan Gunarso ke langit-langit, puluhan kelelawar terbang ke segala arah. Martono, rekan Gunarso, mengangkat dua bilah bambu berjaring setinggi sekitar sepuluh meter, tegak lurus ke atas langit-langit gua. Sambil menjunjungnya tinggi-tinggi di atas kepala, ia pun lari berkeliling.

Baca Juga: Cara Cegah Infeksi Virus Nipah yang Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya

Kelelawar di dalam gua. (Titania Febrianti)