Kesatria Malam Penyambat Nyawa, Ketika Kita Bergantung pada Kelelawar

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 14:00 WIB
Dalam satu jam, kelelawar seperti ini dapat mengonsumsi 600 ekor serangga. (Dwi Oblo)

Dalam tiga jam mereka berhasil mengumpul­kan 300 kelelawar. Ketiga orang itu pun kembali ke arah karang raksasa di tepi laut lepas: Kembali mempertaruhkan nyawa mereka di ketinggian, di antara runcingnya karang serta hempasan air yang membentuk tirai raksasa, di atas tali yang sama yang telah mereka gunakan sejak delapan belas tahun yang lalu.

Sukarwanti, seorang wanita paruh baya yang mengelola sebuah warung makan di Kecamatan Panggang, sekitar 45 menit berkendara dari tebing itu, berseri-seri saat melihat sekarung kelelawar yang dibawa oleh Gunarso.

Saya baru saja duduk di sebuah kursi panjang dari kayu di dalam warung, saat sebuah piring makanan berisi dua puluh kelelawar bacem disodorkan tepat di muka saya. Dengan spontan, saya menggelengkan kepala. Sukarwanti pun berkisah tentang pelanggannya, seorang lelaki yang menderita sakit jantung. Saat pertama mem­beli kelelawar olahan darinya, lelaki itu harus dipapah saat berjalan. Keluarganya pun rutin membeli kelelawar. “Sekali beli, lima belas ekor,” kenangnya. “Dari mulai seminggu sekali, lama-lama menjadi dua minggu sekali, hingga akhirnya dua bulan sekali. Bapak itu kini sudah bisa ambil pensiun sendiri,” tuturnya bangga. “Saya lebih suka codot dari tepi laut, karena kalau dari gua di darat, biasanya apek,” imbuhnya. Sukarwanti yang meneruskan tradisi ini dari sang ibunda dan buyutnya, juga didatangi para pelanggan dari Pulau Sumatra dan Kalimantan.

Keadaan medan karst Gunung Kidul yang tandus membuat warga yang bermukim di atasnya tidak memiliki banyak pilihan. Saat melihat kelelawar yang warnanya sudah berubah menjadi hitam di atas meja hidang, terngiang kata-kata Gunarso saat saya sedang menunggu giliran untuk menuruni tebing: “Di sini hidup itu keras, mbak.” Ya, selain menggembalakan ternak di musim hujan, lahan Gunung Kidul yang kering membuat dirinya memilih untuk mengambil kelelawar khususnya di musim panas, agar bisa menghidupi anak cucunya.

 

Sementara di Kolaka, Sulawesi Tenggara, perburuan kelelawar tidaklah mengenal musim. Pemburu liar sering datang dan pergi dari daerah itu dengan mobil bak terbuka yang penuh dijejali oleh kalong. Mereka pergi melewati jalan trans-Sulawesi, menuju utara,” papar Amran, Kepala Resor Kolaka 2, Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara.

Ada saatnya pemburu tak perlu bersusah payah menempuh medan yang sulit untuk mengumpulkan kelelawar. Pada April 2011, sekitar 25 kilometer dari Kolaka tepatnya di Desa Tondowatu, belasan kalong bergelayut mem­bebani setiap pelepah pohon kelapa yang ada di sana. Lima ratus pohon kelapa milik penduduk pun tak lagi mampu berproduksi. Sigit Wiantoro, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Biologi LIPI), menduga hal ini terkait dengan lenyapnya hutan di area Pegunungan Mekongga, tempat dia dan timnya mengadakan ekspedisi beberapa tahun belakangan ini. Pemburu pun datang untuk menangkap kalong yang dianggap menjadi hama oleh masyarakat.

Di daerah padat pemukim, kelelawar justru memenuhi relung-relung kelam yang ada di gedung bahkan bangunan sekolah. Manusia pun terganggu dengan aroma serta suara mereka. Bagi masyarakat, kelelawar bisa jadi merupakan hewan buruan atau justru dianggap sebagai hama. Tetapi di mata para peneliti, kelelawar yang juga berfungsi sebagi penyerbuk ini memiliki daya pikat tersendiri.

Baca Juga: Ancaman Virus Nipah Akibat Rusaknya Habitat Kelelawar di Asia

Menjelang senja di kawasan wisata Gua Ngerong, Tuban, ribuan kelelawar bersiap menguasai langit kota. (Dwi Oblo)

kota tuban mulai berselimut temaram senja saat saya menjejakkan kaki di kota ini untuk bertemu dengan Sigit Wiantoro dan Ibnu Maryanto, profesor mamalia zoologi dari Puslit Biologi LIPI. Ia sedang  memegang sebuah kantong berbahan kain belacu berukuran sebesar kertas folio. Tak berapa lama kemudian barulah saya sadari: di sekitar kursi yang saya duduki, menjulang tiga palem-paleman. Di sana-sini, tubuh pepohonan dipenuhi kain belacu berisi gumpalan sekepalan tangan.

Saya mengikuti Sigit yang membawa salah satu kantong itu ke dalam ruangan berukuran sekitar tiga kali tiga meter. Perlahan, ia membuka bagian atasnya, menarik apa yang ada di dalamnya. Saya terperanjat. Alih-alih menatap muka bak anjing seperti bayangan wajah kelelawar yang ada di benak saya, muka mungil bagaikan monster muncul perlahan dari balik kain: kedua matanya hitam kecil. Di bagian tengah tampak gelambir bertumpuk-tumpuk bagai kelopak bunga tak beraturan, tak berbentuk muka sewajarnya. Cuping telinganya besar. As­taga, ini mamalia terjelek yang pernah saya lihat. Saya tak bisa membedakan, yang mana bagian hidung atau mulutnya. “Ini pemakan serangga,” jelas Sigit sambil mengamati kelelawar itu.

Makhluk kecil itu memberontak, rongga di bagian bawah mukanya membuka dan me­ngatup. Namun hanya suara cericit kecil yang terdengar. Sigit mengambil sebuah peranti berlabel bat detector. Ukurannya sebesar buku novel besar. Ujungnya yang memiliki tonjolan mirip seperti lampu proyektor ia sodorkan ke muka si pemberontak. Dalam sekejap ruangan sepi itu dipenuhi oleh suara gemeratak yang nyaring dan tajam di telinga. Trak trak trak trak!