Alat berwarna putih dan kuning ini mampu menangkap dan menyimpan suara ultrasonik berfrekuensi di atas 20kHz yang dihasilkan oleh kelelawar untuk melakukan ekolokasi (bernavigasi dengan mengeluarkan suara dan menangkapnya kembali untuk mengetahui situasi sekitarnya dan juga letak mangsa). Suara dalam rentang frekuensi ini tidak bisa ditangkap oleh telinga manusia.
“Kami sedang membuat database kelelawar di Indonesia berdasarkan hasil rekaman ini. Jadi nanti suatu saat, untuk mengetahui spesies kelelawar yang tinggal di suatu tempat, orang tidak perlu lagi menangkapnya. Cukup dengan merekam suara kelelawar itu kemudian mencocokkannya dengan data yang ada,” papar Ibnu kepada saya.
Sejauh ini, sekitar 230 spesies dari seluruh Indonesia berhasil diketahui. Kedua peneliti ini pun menjelaskan, di Indonesia masih banyak kelelawar yang belum diketahui spesiesnya. Sementara itu, populasi kelelawar semakin menyusut akibat ulah manusia. “Ada beberapa jenis kelelawar yang sekarang sangat sulit dijumpai, salah satunya Neopteryx frosti, kelelawar pemakan buah yang dulu ditemukan di Sulawesi,” jelas Sigit.
Keesokan harinya, langit sedang bersuka ria di pagi hari. Angin nyaris menepiskan semua awan. Matahari pun dengan gembira menuangkan sinarnya yang amat menyengat ke permukaan tanah yang berdebu. Sambil sesekali menyeka kulit yang berpeluh, saya terus menapaki tanah berkontur rapat di daerah Tuban, Jawa Timur, menuju tebing-tebing karst yang menjulang tegak lurus nun jauh di sana.
Mengikuti langkah para peneliti untuk mencari spesies baru kelelawar, akhirnya saya pun tiba di mulut Gua Sunten, Desa Guwoterus, Kecamatan Montong, Tuban. Sebelum ada pipa yang mengalirkan air ke bawah, mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, langsung dari mata air yang ada di dalam gua ini. Gua ini merupakan salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penduduk. Hal itulah yang membuat tempat ini tetap terjaga kelestariannya, termasuk kelelawar yang ada di dalamnya.
Baca Juga: Empat Spesies Baru Dari Kelelawar Berhidung Daun Afrika Ditemukan
Dalam sekejap, Ibnu, Sigit, serta rekan-rekannya telah sibuk memasang jaring yang ujungnya mereka sangkutkan ke batuan tajam di bibir gua. Setelah itu kami pun mulai beriring-iringan merayapi kekelaman perut bumi. Sorot-sorot lampu di helm mulai menguak kegelapan, memunculkan wajah permukaan bebatuan di sana sini. Di depan saya terbentang sebuah ruang gua. Lantainya yang lunak terlihat miring ke bagian tengah, berakhir di sebuah danau sehitam malam. “Awas, danau ini dalam,” ujar Edy Toyibi, Direktur Lembaga Konservasi dan Perlindungan Sumber Daya Alam (LKPSDA) Cagar Tuban, yang menyertai tim peneliti.
Menyusuri sisi kanan danau, langkah Sigit terhenti di bawah sebuah lorong sempit yang mengarah ke atas. Bertopang pada Toyibi sambil bersusah payah menjaga keseimbangan, Sigit pun mengais ketinggian dengan menggunakan tongkat jalanya. Tak lama, kantung-kantung kain belacu kembali terisi. “Tuban memiliki karakter gua yang berbeda karena area ini merupakan daerah karst muda. Banyak gua yang belum dijelajahi di sini, jadi kemungkinan ada jenis-jenis baru,” papar Ibnu menjelaskan alasannya menyusuri tempat ini.
Sekitar satu jam kemudian, di bawah cahaya yang menerobos mulut gua, Ibnu dan Sigit duduk di atas sebuah batu besar. Keduanya sibuk menilik seekor kelelawar mungil yang ada di tangan Sigit. Mata dan muka Sigit tampak bersinar-sinar. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan Ibnu mengenai morfologi muka sang kelelawar pemakan serangga yang unik tersebut, ia pun berkata kepada saya, “Tampaknya ini spesies baru…” Di sebelahnya, Ibnu mengangguk sambil tersenyum.
Di balik harapan peneliti akan tetap lestarinya kehidupan kelelawar, pada awal 2009 Hasudungan Gurning dari Divisi Perluasan Proyek PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang bertanggung jawab untuk menyediakan material bagi ekspansi pertambangan di Sangatta, Kalimantan Timur, termangu. Di dalam area karst yang ia survei kali ini ia menjumpai dua mulut gua. Dari luar terdengar riuh suara cericit.
Baca Juga: LIPI: Cegah Penyebaran Virus Corona Tidak Perlu Membunuh Kelelawar
Di dalam mulut gua terbesar, ribuan kelelawar berwarna cokelat menutupi langit-langit. Pada Maret 2009, para ahli dari Institut Teknologi Bandung serta LIPI pun datang untuk meneliti gua tersebut. Di dua gua yang akhirnya diberi nama Gua Kelelawar dan Gua Licin itu ternyata terdapat ribuan kelelawar dari tiga spesies berbeda: Rhinolopus creaghi, Rhinolopus lepidus, dan kelelawar barong rusa yang memiliki nama ilimiah, Hipposiderus cervinus.
“Sebenarnya perusahaan sangat membutuhkan lahan, tapi mengingat gua tersebut dihuni oleh kelelawar yang ikut mengontrol populasi nyamuk malaria di Sangatta dan untuk mempertahankan fungsi ekologi, akhirnya daerah ini pun dipertahankan,” ujar Wijayono Sarosa, Manajer Pemberdayaan Masyarakat PT KPC.
Saat menuju area ini saya melintasi Kota Sangatta, di beberapa perumahan terpampang papan berisi peringatan: Waspada demam berdarah! Menurut Mas Noerdjito, Peneliti Utama Puslit Biologi LIPI, kota ini adalah daerah yang rawan dengan risiko penyakit malaria, sama seperti yang dikemukakan oleh dokter yang pernah bertugas di sini. Para ahli pun memperkirakan, rentang ruang pakan tiga kelelawar pemakan serangga termasuk nyamuk penyebar penyakit malaria, chikungunya dan kaki gajah ini mencapai luasan radius 15 hingga 20 kilometer. Area ini setidaknya melingkupi sebagian dari kecamatan Sangatta Utara, Sangatta Selatan, dan Bengalon yang menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur 2010, penduduknya secara keseluruhan berjumlah 113 ribu jiwa.
Pindi Setiawan, anggota tim ahli karst dari Kementerian Lingkungan Hidup yang tergabung dengan tim konsultasi karst yang diterjunkan untuk melakukan penelitian menjelaskan, area karst ini memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem. “Bahkan di sini terdapat mata air yang merupakan salah satu hulu dari Sungai Kenyamukan,” ujarnya. Kenyamukan adalah salah satu sungai yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat serta satwa yang ada di sekitarnya.
Beberapa bulan kemudian, area karst yang luasnya 4,6 hektare itu pun ditetapkan sebagai kawasan yang tak akan diganggu gugat oleh pihak penambang. Dari kejauhan, daerah tersebut tetap hijau di antara area yang dilalui truk-truk raksasa pengangkut batu.
Saya berdiri tak jauh dari mulut gua. Dari atas bukit ini, kota Sangatta tampak mulai berhias diri dengan kelap-kelip lampu di kejauhan, tepat di bawah sisa-sisa langit sore di arah barat. Tak ada lagi suara cericit. Hanya kepakan sayap yang sesekali tertangkap telinga. Mereka keluar dari gua, mengitari pepohonan, lalu lenyap entah ke mana. Saat manusia mulai lelah di ujung senja, makhluk-makhluk malam ini justru baru mulai bergiat mencari mangsa. Berdasarkan hasil penelitan, satu koloni kelelawar bisa mengonsumsi berton-ton serangga setiap malam, menyelamatkan manusia dari penyakit-penyakit yang bisa berakibat fatal dan hama pertanian.
Sekitar satu jam berkendara dari tebing tempat Gunarso memburu kelelawar, saya dibuat kagum oleh Gua Lawa yang terletak di Desa Umbulrejo, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Jawa Tengah. Gua ini indah. Bangunan tingkat enam akan cukup jika didirikan di dalamnya. Di atasnya terdapat dua cerobong berujung langit yang mempersilakan sinar mentari menyusup, menyoroti dinding gua yang dipenuhi oleh lumut hijau tua.
Baca Juga: Kala Fotografer Joel Sartore Nyaris Terkena Virus Kelelawar Mematikan
Jalan setapak terukir di sepanjang bibir lembah yang menempel ke dinding gua; lembah buatan manusia yang sudah dikerjakan sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Batu-batu besar setinggi tiga meter bergeletakan di dasar gua, berhiaskan berbagai benda berwarna-warni; sampah-sampah plastik. Salah satu dari dua batu terbesar hanya disangga oleh dua bilah bambu.
Di dalam gua tampak sebuah lubang hitam setinggi sekitar lima belas meter yang mengantarkan kami ke ruang gua lainnya. “Dulu tinggi tanah di situ menutupi separuh mulut gua,” ujar Pur, salah seorang penambang fosfat yang sedang bekerja di sana. Di masa awal penambangan, mereka bisa mendapatkan sekitar delapan ton fosfat dalam satu hari. “Kalau sekarang, dapat dua ton fosfat saja sudah untung, mbak,” keluh Pur.
Dengan amat berhati-hati saya berjalan di atas bebatuan yang menjadi jalur operasional mereka. Di kiri kanan saya, lubang galian mencapai kedalaman tiga hingga 15 meter. “Awas, jangan berdiri di di atas sana ya mbak,” Pur mengingatkan. Jarinya menunjuk ke batu di tepian jalan setapak yang tampak rapuh dan disangga oleh bambu sepanjang sekitar 15 meter, membuat saya bergidik ngeri.
Pur masih ingat, dulu sebelum gua ini ditambang, kelelawar yang tinggal di gua ini amatlah banyak jumlahnya. Itu sebabnya gua ini dinamakan Gua Lawa. Kini, suara kelelawar hanya dapat saya dengar di ruang gua bagian dalam, tempat para penambang mulai mengeruki guano yang ada di sana beberapa tahun belakangan ini.
Di Tuban, Jawa Timur, penambangan fosfat dimulai sejak tahun 1989. “Tujuh puluh hingga delapan puluh persen gua di Tuban diambil fosfatnya,” ungkap Edy Toyibi kepada saya. Kemudian hal ini semakin marak pada tahun 2000-an. “Apalagi di kawasan perkebunan,” ujarnya. Kegiatan penambangan ini tentu mengganggu siklus hidup kelelawar. Kepergian sejumlah besar kelelawar pastinya memberikan dampak negatif bagi daerah tersebut. “Di sini sudah ada efeknya, yaitu gagal panen. Tetapi pejabat tetap saja tidak peduli.” ujar Edy gemas.
Baca Juga: Mengapa Hewan Nokturnal Dikaitkan dengan Hal yang Menyeramkan?
Pada 2010, sundep (Scirpophaga innotata) menggerogoti akar padi. Sedangkan pada 2011, kawanan belalang menyerang ladang-ladang jagung. Menurut Edy, hal ini jarang terjadi di Tuban dan ditengarai akibat populasi kelelawar yang semakin merosot. Sulit baginya untuk meyakinkan pejabat setempat bahwa nilai gua-gua yang diselamatkan amatlah besar, apalagi gua di Tuban bukanlah gua berornamen indah yang bisa menarik hati para turis.
Saya duduk di atas batu Besar, tepat di mulut Gua Lawa. Dari sini saya dapat memandangi lembah yang terhampar di hadapan saya. Matahari sudah tak lagi terlihat, hanya sisa sinarnya saja yang menyoroti perbukitan yang seolah berdiri menjaga lembah. Angan saya pun kembali ke puluhan tahun yang lalu. Seperti yang diceritakan oleh penduduk sekitar. Dahulu, alih-alih hamparan tanah kering di dasar lembah, sebuah danau nan jernih berdiam di sana, tempat penduduk mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Di sore seperti ini, saat angin dengan lembut membelai muka, mungkin ribuan kelelawar sudah mulai keluar dari gua, beriring-iringan menuju langit senja yang indah, bersiap mencari dan memangsa serangga yang ada di luar sana.
Namun tiba-tiba lamunan saya dihentikan oleh raungan mesin truk kuning yang baru saja dinyalakan. Sekitar 200 karung membuncah membebani truk, ditambah oleh para penambang yang duduk di atasnya. Truk itu pun tertatih-tatih melaju di jalan tanah, meninggalkan kepulan debu di belakang roda. Kadang ia tersendat melewati jalan yang tak rata. Perlahan-lahan truk itu semakin menjauh. Suaranya lenyap, tergantikan oleh kicau walet. Hati saya menciut mengingat truk itu pasti akan kembali esok hari dan hari seterusnya, seiring semakin pupusnya harapan hidup mahkluk-makhluk kecil yang ada di dalam gua, entah sampai kapan.
Feature "Kesatria Malam Penyambat Nyawa" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2012