Makaka Pendaulat Takhta, Kisah Sosial Politik Yaki di Sulawesi Utara

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 16:00 WIB
Memperhatikan dengan penuh keingintahuan, yaki yang buntung tangan kanannya akibat terkena jerat sewaktu kecil ini ditandai oleh para peneliti dengan nama Kacang. Jerat satwa, perburuan, serta kerusakan habitat adalah ancaman bagi yaki. (Zika Zakiya)

DI ANTARA PEPOHONAN yang semakin merapat, langkah Ismail Agung, seorang asisten peneliti, semakin pesat. Terkadang hanya pelindung hujan berwarna kuning pada tas punggungnya yang sekelebat terlihat. Sesaat ia memperlambat langkah. Setelah itu ia kembali berjalan amat cepat hingga berlari di hutan. Kadang tubuhnya terperosok menuruni lembah kecil yang curam, namun dengan sigap ia kembali mendaki pung­­gungan di depannya.

Dua batang kayu ber­diameter sepelukan orang dewasa tiba-tiba meng­hadang, melintang setinggi dada. Dengan gesit ia mengangkat badan dan meloncatinya, meninggalkan saya yang bimbang dengan dua pilihan: mengikuti apa yang dilakukannya, atau menyusup di bawah batang pohon dan menerabas tanaman.

Terengah memanjat kayu berlumut dan ber­hasil menyusul Agung, saya baru menyadari suara arloji yang ia kalungkan di tali tasnya yang berbunyi setiap dua menit sekali, sebagai pengingat untuk merekam apa yang dilakukan yaki yang dikejarnya. Di genggamannya terdapat sebuah peranti elektronik berselimut bahan kulit serta plastik kedap air yang ia gunakan untuk mencatat perilaku si yaki.

Sekitar empat meter di depan Agung, seekor yaki jantan dewasa bergerak tak kalah gesit. Inilah Napoleon, jantan yang baru dua minggu bergabung dengan kelompok yang dinamakan Pantai Batu, mencomot nama area yang terletak di dalam Cagar Alam Tangkoko. Kelompok yaki yang satu ini amat jarang ber­hadapan dengan manusia.

Napoleon bergerak dengan tangkas. Kami pun tiba pada semenanjung yang merupakan kaki Gunung Batuangus. Di sinilah Napoleon ber­gabung dengan kelompok besarnya yang berjumlah sekitar 60 individu. Kami pun bertemu dengan Pascal Marty, peneliti ber­kebangsaan Swis. Ia sedang berkonsentrasi mencatat kegiatan seekor jantan tanpa nama yang baru dua hari ini terlihat berusaha ber­gabung dengan kelompok Pantai Batu. Dalam proyek ini, Agung membantunya meneliti peri­laku yaki jantan terkait perebutan kekuasaan dalam sistem hierarki kelompok.

 

Sekitar awal Januari 2012, alpha male ke­lompok Pantai Batu bernama Luke diketahui me­miliki luka gores yang cukup parah pada bagian pergelangan tangan kanan bagian dalam. Ia bahkan tak sanggup menggunakan tangan kanannya untuk berjalan. Akibat terburuk, ia di­keluarkan dari kelompoknya. Para peneliti tidak tahu pasti siapa yang menyebabkan Luke terluka. Hal yang jelas, ini adalah hasil per­kelahiannya dengan jantan dewasa lain.

Luke disingkirkan dari kelompoknya dan para jantan dari kelompok lain pun berdatangan ke dalam kelompok Pantai Batu untuk merebut posisi alpha male. Timbul pertanyaan dalam diri saya, mengapa Raja, sang beta male dari kelompok Pantai Batu tidak dengan segera meng­gantikan posisi Luke saat ia terluka?

“Belum tentu beta male akan segera naik. Ke­mungkinan memang ada, tetapi selain mendapat dukungan dari gamma male, beta male juga harus mendapat dukungan dari para betina,” papar Jatna. Alpha female akan menentukan, jantan mana yang potensial menjadi alpha dan meng­untungkannya. “Betina ini akan mempertimbangkan, gen jantan mana yang baik bagi dirinya, yaitu yang ke­kerabatannya tidak terlalu jauh, juga tidak terlalu dekat,” lanjutnya. Bahkan, para betina ini bisa bersatu dan berkelahi mengalahkan jantan-jantan dari luar kelompok yang ingin merebut kedudukan sebagai alpha male jika mereka menghendaki.

Baca Juga: Perkebunan Kelapa Sawit Mengancam Populasi Orangutan di Aceh

Jantan peringkat teratas (alpha male) dalam suatu kelompok yaki (Macaca nigra) di Tangkoko, Sulawesi Utara. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

“Jantan yang luka atau tidak diterima di tempat lain biasanya akan bergabung membuat male band. Mereka bisa membina sebuah kelompok jantan untuk menyerang kelompok lain. Jumlahnya bisa lima hingga sepuluh,” jelas Jatna.

Kelompok jantan seperti ini akan selalu memantau kelompok-kelompok yaki yang ada di sekitar mereka dan menguji kekuatan mereka terhadap alpha male kelompok tersebut. Jika mereka bisa diterima dalam suatu kelompok, bisa jadi mereka akan membawa seluruh jantan yang ada dalam male band untuk merombak hierarki kelompok yang ia masuki. “Bisa terjadi keributan yang amat besar,” ujarnya dengan penuh penekanan.

Napoleon dan jantan yang belum bernama ini adalah contoh jantan yang ingin menguji ke­kuatan mereka terhadap kelompok Pantai Batu sepeninggalan Luke. Napoleon sudah mulai diterima, setidaknya oleh para betina dan anak-anak. Menurut Pascal, Napoleon masih men­duduki posisi terendah dalam kelompok ini. Tetapi setidaknya ia sudah bisa bergaul walau masih malu-malu menghadapi jantan lain. Namun, tidak demikian dengan jantan tak ber­nama yang masih melakukan pendekatan.

Untuk mengetahui tingkat stres pada jantan yang baru masuk ke dalam kelompok, Pascal mengambil sampel feses jantan baru serta jantan yang menduduki peringkat tinggi dalam kelompok, seperti Raja. Selama dua minggu pertama sampel diambil dengan frekuensi dua kali sehari kemudian selanjutnya sehari sekali. Dari sampel ini para peneliti akan mendapatkan tingkat stres dari kandungan hormon testosteron yang ada di dalamnya.

Bersama Pascal,  kami menyaksikan bagai­mana si jantan tak bernama mengikuti ke­lompok Pantai Batu dalam jarak tertentu. Kadang ia dikejar oleh Napoleon, kadang di­dekati pula oleh jantan muda yang ada di sana, atau menjauhi kelompok untuk beberapa waktu hingga Pascal kehilangan jejaknya di balik rimbunnya kanopi hutan.

 

SUATU HARI DI SEBUAH ruang kelas yang terletak tak jauh dari pelabuhan di Desa Batuputih—tempat para nelayan sibuk menurunkan hasil tangkapan ikan dari laut yang masih me­mantulkan sinar keperakan dari arah timur—dengan mata jenaka Victor Wodi berdiskusi dengan para siswa sekolah dasar kelas empat. Di papan tulis yang tersorot oleh lampu proyektor, gambar sampah plastik, kota berpolusi, dan orang menggunakan masker silih berganti ter­pampang di sana.

Di atas meja, wajah-wajah yang terlihat dipenuhi rasa penasaran pun muncul, apalagi saat video tentang ekosistem hutan diputar. Agus, siswa paling aktif yang duduk di barisan terdepan, berbinar-binar me­nyambar pancingan yang dilemparkan oleh Victor, kadang dengan bahasa daerah. Gelak tawa pun memenuhi kelas. “Apa yang terjadi jika kita membuang sampah di laut?”

“Sabun mengandung zat apa yang mem­bahayakan lingkungan?” Hingga…“Siapa yang pernah makan yaki?”

Mathilde Chanvin asal Prancis dan Victor warga Batuputih, berbagi ilmu konservasi di empat desa yang bersinggungan langsung dengan batas Cagar Alam Tangkoko, juga TWA Batuputih dan Batuangus. Mereka mendidik murid kelas satu hingga enam sekolah dasar, dengan menggandeng Macaca Nigra Project serta Pusat Penyelamatan Satwa di Tasikoki, Sulawesi Utara, untuk memaparkan seluk beluk yaki serta satwa endemik Sulawesi lainnya.

Pada suatu malam tercurah hujan, Victor ber­kisah kepada saya saat mereka memulai proyek ini dengan membagikan kuesioner ke­pada anak-anak di tempat mereka mengajar. Salah satunya berisi pertanyaan: apa yang kamu lakukan saat melihat yaki? Di Batuputih, tempat mata pencaharian penduduk adalah menangkap ikan laut, anak-anak menulis: senang atau gembira.

Baca Juga: Julia Pastrana, 'Wanita Kera' yang Dieksploitasi Selama 153 Tahun

Kera Hitam (Macaca nigra) merupakan jenis kera terbesar yang ada di Pulau Sulawesi. (Yudda Wirawan)

Namun saat pertanyaan ini diajukan kepada anak-anak di daerah Pinangunian di sebelah timur cagar alam, jawaban yang mereka dapatkan adalah: menembak dan memakannya. Yunus Masala dari Kepolisian Hutan yang bertugas di TWA Batuputih teringat, bagai­mana ia harus mengerahkan pasukannya ter­masuk sukarelawan dari kelompok pecinta alam menjelang Natal dan tahun baru, melalui kegiatan yang disebut sebagai Operasi Lilin untuk mencegah perburuan yaki dan satwa lainnya.

Pada saat-saat itulah permintaan masya­rakat setempat akan daging meningkat pesat. Pemburu pun akan tinggal di dalam hutan selama beberapa hari untuk mengumpulkan daging binatang. Mereka melakukan peng­asapan daging di dalam kawasan. Biasanya pem­beli sudah menunggu di tepi hutan untuk mendapatkan apa yang mereka tangkap.

Salah satu ancaman bagi yaki yang datang dari manusia adalah penjualan daging yaki di pasar, terutama pasar Langoan dan Tomohon. “Kalau sekarang kelelawar atau tikus saja dijual lima belas ribu per ekor, daging yaki yang dijual secara kiloan mungkin bisa seratusan ribu harganya,” ungkap Yunus. Bersama daging babi rusa, biasanya penjualan daging satwa ini dilakukan pada dini hari.

“Yaki ditangkap dengan menggunakan jerat,” ujar Yunus. Ia pernah mendapati jerat yang di­letakkan di dalam bambu untuk mengelabui yaki agar mau mengambil makanan yang diletakkan di dalamnya. “Ada juga jebakan yang bisa melontarkan panah dari dua arah,” katanya sambil menggambarkan bagaimana alat itu bekerja melepas panah ke badan yaki, yang membuat saya bergidik.

Cacat karena jerat tampaknya menjadi hal yang biasa bagi kelompok Rambo II yang wilayah jelajahnya terdekat dengan kampung, walau jerat tersebut belum tentu ditujukan kepada mereka. “Biasanya jerat dipasang untuk ayam hutan,” ujar Giyarto. Tetapi tak pelak lagi, yaki kecil yang penasaran dan baru berumur sekitar satu tahunan biasanya menjadi korban dari ulah manusia ini. “Pada akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011, kurang lebih ada enam individu dari Rambo II yang terjerat. Namun akhir tahun lalu, tidak ada korban,” jelas Giyarto.

Rambo II bisa jadi masih cukup beruntung karena hidup di kawasan yang dilindungi. Menurut Yunus, ada beberapa kelompok yaki yang jumlah­nya semakin menyusut di kawasan cagar alam, akibat senapan angin serta jerat burung atau jerat babi yang sulit terpantau oleh para petugas. Menurut informasi yang di­peroleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi utara, Cagar Alam Tangkoko didirikan pada 12 Februari 1919 me­lalui Besluit Van den Governeur Nederlands dengan luas 4.446 hektare.

 Pada 1981, melalui SK menteri Pertanian, ditetapkanlah dua kawasan taman wisata alam, yaitu Batuputih seluas 615 hektare tempat kelompok Rambo II tinggal, serta TWA Batuangus yang memiliki luas 635 hektare dan sebelumnya merupakan bagian dari cagar alam.

 

 “Ada empat wilayah permukiman yang me­ngelilingi kawasan Cagar Alam: Batuputih, Duasudara, Pinangunian, serta Kasawari,” tutur Yunus kepada saya di sela-sela gemericik air yang terjun ke sebuah sungai yang melintas di pintu TWA Batuputih. “Di Kasawari sudah ada satu tempat peribadatan yang masuk ke dalam kawasan cagar alam. Kini penduduknya pun semakin padat. Sementara di Pinangunian, setengah kampung sudah masuk ke kawasan cagar alam,” lanjutnya sambil menelusuri  tempat-tempat tersebut dengan jarinya di atas sebuah peta.

Nama Yunus tercantum dalam lembar peta tersebut sebagai salah satu tim pembuat. “Seharusnya dibuat batas kawasan yang jelas. Jadi bisa ketahuan bahwa memang mereka masuk ke dalam kawasan cagar alam,” ujarnya dengan tegas.

Selama menghabiskan beberapa waktu di sekitar kawasan taman wisata alam, kami sempat mendengar soal pencurian kayu di hutan. Yunus mengakui, pembalakan liar memang kerap terjadi karena kebutuhan untuk membuat perahu misalnya. Pencuri kayu biasa­nya masuk melalui bibir pantai yang membatasi gunung-gunung ini dengan laut lepas.

Pada saat mengikuti para peneliti mengamati kelompok yaki Pantai Batu, kami sempat tercengang memperhatikan sisa tebangan pohon beringin berdiameter sekitar tiga rangkulan orang dewasa. Bagian batang yang besar dengan panjang sekitar empat atau lima meter telah tiada, menyisakan ujung batang kecil yang tergeletak begitu saja di lantai hutan. Serpihan kayu yang masih basah hasil potongan gergaji mesin bertebaran di sekitar kami. Habitat yaki semakin terancam. Pada 2004, Jatna memperkirakan populasi yaki hanya tinggal sekitar 3.500 ekor.

Sesungguhnya, yaki di Sulawesi Utara tak sendiri. “Ada puluhan ribu Macaca nigra di Pulau Bacan,” tutur Jatna berdasarkan survei populasi yang pernah ia dan timnya lakukan pada 1992 hingga 1994 di pulau yang terletak di Provinsi Maluku Utara itu. Alkisah, ada se­pasang yaki yang dipersembahkan kepada raja di Maluku sebagai cendera mata.

 

Menurut tulisan Jack Fooden pada 1969, ahli primata asal Amerika Serikat, yaki ini bisa jadi dibawa sekitar tiga atau empat abad yang lalu. Tanpa persaingan konsumsi pakan dari satwa lain, monyet introduksi ini berkembang biak dengan pesat. Ironis memang, karena di tempat asalnya sendiri, yaki menyandang status kritis di alam, sementara menurut beberapa peneliti, yaki hasil introduksi tidak boleh dikembalikan ke tempat asalnya sebelum diteliti lebih lanjut.

PADA SUATU PAGI yang panas di tengah kerapatan hutan di tepi pantai, setelah hampir seminggu berada di tempat ini, saya mengamati kelompok Rambo II saat bermain. Tiba-tiba seekor yaki muda memperhatikan saya dari jarak sekitar dua meter. Saya pun mengecapkan bibir tanpa memperhatikannya dengan saksama, berusaha menghindari kontak mata. Yaki itu membalas mengecap. Tak berapa lama ia naik ke pohon yang tak terlalu tinggi, setingkat dengan pandangan mata saya.

Ia kembali memperhatikan saya dan me­ngecap-ngecapkan bibirnya. Beberapa menit kemudian yaki itu sudah tidak ada. Saya pun lega karena saya pikir ia sudah pergi entah ke mana. Tetapi tiba-tiba dari atas kepala saya terdengar suara khas hampir mirip dengan kucing: “maww,” panggilan yang disebut Giyarto sebagai contact call, komunikasi yang paling sering terdengar dalam kelompok yaki, terutama saat bersantai. Ternyata ia ada di dahan yang terletak di atas kepala saya, tetap dengan pandangan ingin tahu sembari mengecapkan bibirnya. Ah, tampaknya sekarang saya mendapat teman baru.

Jatna pernah berkata kepada saya di akhir perjumpaan, “Mempelajari primata itu seperti mempelajari psikologi manusia. Kita bisa me­lihat bagaimana manusia bisa berkembang. Makaka itu benar-benar prototipe manusia. Selain perilakunya yang mirip, mereka juga bisa menyesuaikan diri di mana pun mereka berada.

Mulai dari tempat yang amat panas seperti gurun di Gibraltar, hingga tempat bersuhu amat dingin seperti di Jepang.” Tidak salah pula jika ia mengutip kata-kata Jack Fooden sebelum saya beranjak pergi; “Jika manusia adalah presiden alam semesta, makaka adalah wakilnya.”

 

Feature "Makaka Pendaulat Takhta" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2012