Dunia Sunyi Para Pencari Jati Diri, Kisah Anak-anak Penyandang Autisme

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 18:00 WIB
Akbar (12), penyandang gangguan spektrum autisme, melakukan terapi bersama lumba-lumba. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Autisme itu masalah komunikasi dan perbendaharaan kata. Mereka pun antisosial,” papar Ade saat para murid sibuk dengan bekal mereka masing-masing. “Sebenarnya banyak sekali hal di otak mereka, tapi tak bisa dikeluarkan. Kosakata mereka terbatas,” lanjutnya. Terkait sensitivitas, Ade pun berkisah, salah seorang muridnya marah jika kulitnya tersentuh, karena merasa seperti dipukul. Ada pula yang tertawa jika terhantam oleh temannya, namun akan menangis beberapa jam kemudian. Tingkat gangguan spektrum autisme yang dialami para muridnya beragam. 

Anak-anak ini bukannya tak berprestasi. Saya menghadiri acara pentas seni penutup tahun ajaran yang digelar oleh sekolah ini. Mereka tampil di atas pentas. Mereka menari, menyanyi, bermain drum, keyboard, bahkan mampu menyelaraskan musik dalam kelompok drumband. Tak jarang para orang tua memboyong keluarga besar untuk melihat mereka berpentas.

Apa yang sebenarnya dialami oleh individu dengan gangguan spektrum autisme? Melly Budhiman, ketua Yayasan Autisma Indonesia yang saya temui di sela-sela seminar internasional mengenai autisme di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang, menyatakan bahwa individu dengan ASD mengalami gangguan dalam komunikasi dua arah, interaksi sosial timbal-balik, dan perilaku. Lebih jauh lagi, “individu seperti ini seakan memiliki dunianya sendiri,” ungkapnya.

Saya memperhatikan, bagaimana Mia, murid kelas dua SD Talitakum yang diam seribu bahasa setiap kali saya temui di kelasnya. Juga Akbar yang selalu bersuara keras mengeluarkan kata-kata abstrak seolah tak mengenal lelah dari pagi hingga malam hari. Jayden yang dulu sulit menatap mata saya lebih dari tiga detik.

Demikian pula dengan Faraz yang di saat tertentu asyik menggerakkan tangan, serta anak-anak lain yang menyendiri, menolak bergaul, dan nyaman dengan diri sendiri. “Tidak ada satu pun gejala pada anak autis yang sama,” ungkap Melly.

Mereka punya keunikan masing-masing. Apakah mereka sadar dengan keadaan diri sendiri? “Mereka tahu kalau sedang diperbincangkan, beberapa dari mereka bahkan memiliki rasa malu dengan keadaan mereka,” jelas Ade sembari melirik murid-muridnya yang saat itu sedang mengerjakan soal matematika. Hal ini membuat mereka menjadi tertutup dan lebih menarik diri.

American Psychiatric Association, pada Mei tahun ini mengeluarkan DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang menjadi acuan untuk mengenali ciri-ciri individu dalam payung gangguan spektrum autisme. Panduan ini merupakan hasil penelitian yang terus direvisi, selama 14 tahun.

Ada beberapa gangguan yang dikelompokkan dalam ASD: infantile autism, sindrom Asperger, dan PPD NOS (Pervasive Developmental Disorders Not Otherwise Specified.) Salah satu ciri penyandang sindrom Asperger adalah, individu tersebut impulsif terhadap suatu hal. Misalnya gampang berubah topik saat bercerita.

Seorang individu dinyatakan menyandang PDD-NOS saat gangguan yang ia miliki hanya mencakup salah satu atau dua, dari tiga bidang yang dijabarkan oleh Melly. Biasanya individu seperti ini masih memiliki ketertarikan dengan orang tua, atau masih bisa berinteraksi dan bermain dengan saudara-saudaranya. Semakin terganggu perilaku, interaksi dan komunikasinya, semakin tinggi tingkat autisme seorang anak.

Semakin dini orang tua menyadari keadaan anaknya, akan semakin baik pula perkembangan yang akan dialami individu autistik. Paling baik adalah sebelum berumur dua tahun. Terapi yang umum dijalani mereka adalah terapi perilaku, wicara, sensori integrasi, dan okupasi terapi.

Bentuk terapi ini beragam. Contohnya, meniup sedotan untuk melatih pengeluaran suara, berjalan di atas titian untuk melatih keseimbangan, merobek kertas dan menggunting untuk melatih motorik halus. Metode yang diterapkan pun bisa dengan bentuk hadiah dan hukuman, atau diulang terus menerus dengan cara halus, tergantung karakteristik setiap anak.

Bagi penyandang spektrum ini, mempelajari hal-hal ini tidaklah mudah. “Mengajarkan Faraz merobek kertas itu merupakan pekerjaan rumah yang benar-benar berat untuk dikerjakan,” ujar Ika penuh penekanan.

“Pemberian terapi harus rutin, tidak boleh bolong. Sebab kalau sering absen, kemajuan yang akan dicapai akan sulit, bahkan harus mulai dari nol lagi. Mereka terapi paling sedikit dua kali seminggu,” ungkap Susiami, terapis Ryan yang duduk di kelas empat. Saat itu saya mengikuti kegiatan mereka di kamar belajar yang mungil, di salah satu sudut rumahnya.

Bisakah gangguan spektrum autisme ini disembuhkan? ASD adalah kumpulan sindrom atau kumpulan gejala. Gejala adalah suatu hal yang tak bisa disembuhkan, tetapi bisa diminimalkan. Pendekatan dari para dokter dalam menangani sindrom ini pun beragam. Ada yang menetapkan diet sebagai hal utama, sebaliknya ada yang menganggap bahwa semua makanan baik bagi perkembangan otak.

Ada pula yang meresepkan obat yang harus dikonsumsi untuk sementara. Di luar semua itu, terapi adalah hal yang wajib mereka jalani.

Sore itu saya berhati-hati melangkahkan kaki di lantai yang dipenuhi genangan air asin, di tepi salah satu kolam di Gelanggang Samudra Ancol. “Akbar mau apa?” ujar Candra Aris Gunawan, seorang terapis, pelan namun tegas. Dengan suara berat dan perlahan, Akbar berkata, “Akbar mau berenang sama lumba-lumba.”

Setiap kata ia ucapkan dengan hati-hati, sembari menunjuki tiap gambar yang dilindungi oleh lapisan plastik dan direkatkan ke lembar panjang plastik lain dengan menggunakan velcro. Ada empat gambar di sana: foto diri di atas kolam, gambar tangan menengadah (pertanda untuk “mau”), foto Akbar berenang, dan foto lumba-lumba.

“Alat itu namanya PECS, atau Picture Exchange Communication System. Alat pengganti komunikasi melalui gambar, untuk anak nonverbal karena bahasanya belum berkembang,” ujar Candra menjelaskan. Terapi ini ia jalani sejak 2012. Via sang ibu mengakui, melalui terapi ini Akbar mengalami kemajuan wicara.

“Waktunya memang tidak instan, tetapi perkembangan itu ada,” ujarnya. Menurut Candra, salah satu keuntungan dari terapi ini adalah, individu autistik akan lebih mudah fokus. “Kalau di ruangan, banyak hal yang dilihat di kiri dan kanan. Kalau di kolam, hanya antara kepala dan kepala,” ujarnya sambil menjelaskan bahwa kegiatan ini telah mendapatkan lisensi dari Dolphin Therapy Project, di Florida, Amerika Serikat.

Saat meluncur bersama lumba-lumba, Candra kerap berteriak, bertanya mengenai bagian-bagian muka Akbar. Ia menguji sejauh mana Akbar bisa berkonsentrasi menjawab pertanyaannya, di tengah usahanya menjaga keseimbangan agar tak terlepas dari lumba-lumba yang melaju kencang. “Akbar, lihat Oom! Mana mata? Mana telinga? Mana hidung? Mana Bunda?” Akbar pun dengan cepat menunjukkan bagian-bagian yang ditanya.

Termasuk bundanya yang sedang duduk di tepian kolam. Terapi yang sama juga dijalankan oleh Rais (10 tahun) selama kurang lebih empat bulan. “Saya lihat perkembangan emosinya semakin bagus, terutama di sekolah. Ia juga semakin percaya diri,” ujar Wita, sang bunda. Daya tahan tubuhnya kuat karena berolahraga di air. Wita mengakui, hingga kini ia dan suaminya masih mencari terapi apa yang paling cocok bagi Rais.

Selain  lumba-lumba, berkuda menjadi salah satu yang dianggap baik dilakukan oleh individu autistik. Hal inilah yang  rutin dilakukan Faraz sejak kecil. “Semakin sulit medan yang dilalui kuda, semakin baik, karena dengan begitu Faraz akan semakin terlatih untuk menjaga keseimbangan,” ujar Linda, tante Faraz. Oleh sebab itu, ia kerap pergi ke kawasan puncak, menyambangi tempat wisata berkuda.

Di ruangan yetti yang sejuk, ia berkisah mengenai kenangannya mendidik anak berkebutuhan khusus. Pada 1998, saat menjadi tenaga terapis, ia masih ingat, “saat itu anak-anak autistik yang datang ke tempat terapi rata-rata memiliki tubuh yang besar. Mereka sering mengalami tantrum atau mengamuk, dan cenderung menyakiti.” Jambakan serta gigitan merupakan hal-hal yang harus dihadapi Yetti saat menghadapi mereka kala itu.

Namun, selepas 2000, usia anak yang datang lebih muda karena mereka telah terdeteksi ASD sejak dini. Selain itu, ia mengaku lebih mudah mengedukasi orang tua tentang apa yang terjadi dengan anak mereka. Individu ini biasanya sensitif terhadap gluten atau tepung terigu, serta kasein yang ada pada susu sapi. Untuk anak-anak dengan tipe agresif dan beremosi tinggi, diet wajib dilakukan diawasi orang tua.