Dunia Sunyi Para Pencari Jati Diri, Kisah Anak-anak Penyandang Autisme

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 18:00 WIB
Akbar (12), penyandang gangguan spektrum autisme, melakukan terapi bersama lumba-lumba. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Taman wisata itu sudah lengang. Dari pengeras suara tak lagi terdengar orang berdendang. Sebagian pengunjungnya sudah pulang. Saya menemani Akbar (12 tahun) dan Via sang bunda, menapaki jalan menuju pintu gerbang.

Dua keluarga tampak terkejut saat kami mendekat. Seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun dan kedua orang tuanya menatap kami lekat-lekat, lalu beranjak tergesa-gesa. Ada hal lain yang membuat saya tercekat, seorang ibu muda segera menarik anak lelakinya yang berusia sekitar tiga tahun, agar berlindung di balik tubuhnya.

Akbar baru kembali dari terapi yang dibantu oleh lumba-lumba, yang ia jalani setiap Sabtu. Ia layaknya remaja seumurannya. Wajahnya rupawan, kulitnya putih bersih, tubuhnya menjulang. Namun, kata yang selalu meluncur dari mulutnya dengan lantang bernada naik turun berulang-ulang tampaknya membuat cemas dua keluarga tadi.

Akbar dinyatakan menyandang gangguan spektrum autisme, yang juga dikenal dengan istilah Autism Spectrum Disorder (ASD), sejak berusia dua tahun. Hingga usianya yang kedua belas di warsa ini, ia belum lancar merangkai kata menjadi kalimat.

Di lain waktu, saya menghabiskan waktu bersama Eleanor, ibu dari Jayden (empat tahun). Ia menyadari, sejak usia dua tahun anaknya gemar menyendiri saat berkumpul dengan para sepupu. Eleanor bercerita, beberapa kali saat ia membawa Jayden ke sebuah pusat perbelanjaan, tiba-tiba saja bocah itu menjerit-jerit tanpa sebab.

Hal yang kerap membuat Eleanor kesal adalah para pengunjung yang berhenti dan selalu menatap mereka dengan aneh. Tak pernah satu pun dari mereka menunjukkan kepedulian. Ika, ibu dari Faraz, individu autistik berusia sembilan tahun, sering sengaja membawa anaknya berpergian dengan kendaraan umum.

“Saya tak malu punya anak autis,” tegasnya. Namun, ada saja orang yang tidak mau mengerti dan menganggap Faraz mengganggu. Hal inilah yang membuat hatinya hancur.

Pada suatu pagi yang cerah di akhir pekan, saya duduk di dalam sebuah ruang kecil di kampus London School of Public Relations, Jakarta. Di sekeliling saya terdapat lima belas ibu dan seorang ayah yang memiliki anak penyandang ASD. Mereka tergabung dalam diskusi yang bernaung di bawah London School Center for Autism Awareness.

Di sanalah saya merasakan, betapa sulit dan beratnya para orang tua ini berhadapan dengan masyarakat yang belum menerima anak-anak mereka. Bahkan, mereka juga sulit menghadapi keluarga besar. Hal yang membuat saya sedih adalah kasus perlakuan semena-mena yang diterima oleh anak-anak berkebutuhan khusus­ (ABK—yang juga termasuk kaum tuna), oleh kawan-kawan satu sekolahnya.

Ages Soerjana, seorang orthopedagog atau ahli dalam bidang pendidikan untuk ABK yang memimpin diskusi tersebut, menguatkan para orang tua agar berani menghadapi masyarakat.

Saya berdiri merapat di dinding. Berusaha  tak terlihat di kelas yang hanya memiliki empat murid ini (Andika, Nia, Vanessa, dan seorang lagi yang namanya tak boleh disebut terkait izin orang tua). Mereka adalah murid-murid kelas empat sekolah dasar Talitakum, Sekolah Luar Biasa C dan Autisma di Kebon Jeruk, Jakarta.

Di balik pintu, terdapat dua foto. Wajah Andika dan Nia terpampang di sana. Ade Hendra, guru yang menangani kelas itu, bertanya kepada Andika, “Yang mana Andika? Yang mana teman kamu Nia?” demikian berulang-ulang. “Mereka sudah kelas empat, tetapi sampai sekarang tidak bisa mengenali teman sekelas mereka sendiri.”

Untuk itulah ia melatih mereka, sebelum meninggalkan kelas dan pulang ke rumah masing-masing.

Sebelumnya, saat Andika maju ke papan tulis untuk memasangkan gambar, Vanessa sibuk menggoyangkan mejanya, sementara kawannya menelungkupkan kepala di atas meja. Alat bantu visual digunakan untuk memahami pelajaran yang kurikulumnya sama dengan sekolah reguler,

“Walaupun keragaman topiknya lebih sempit,” ujar Yetti Rachmawati, kepala sekolah. Di kelas tiga yang terdiri dari Afrida, Mia, dan dua orang yang tak bisa saya sebutkan namanya, siang itu dipenuhi dengan jeritan dan suara tegas dua orang guru, Sugiarti dan Afendi. Mereka mengalami tantrum (mengamuk). Afrida yang berparas manis pergi dari tempat duduknya menuju lemari di bagian belakang kelas, dan membenturkan dirinya. Para guru menyuruhnya duduk. Namun, ia selalu kembali.

Di saat yang sama, seorang murid menangis, ia tak mau mengerjakan apa pun. Sementara itu, Mia yang biasanya ceria saat saya mengikuti kelas ini berhari-hari sebelumnya, menolak menyantap bekal. Ia mencubiti gurunya.

Kelas seberang merupakan gabungan kelas lima, enam, dan tujuh, yang terdiri dari enam orang. Semua siswa belajar dengan tenang dan terlihat mampu mengendalikan diri. Papan tulisnya dipenuhi soal matematika. Penambahan, pengulangan, perkalian. Deretan angkanya banyak. Saya terperanjat kagum. Anak-anak ini mengerjakannya dengan tekun.

Saat makan siang, salah seorang murid cantik di kelas delapan dipergoki oleh gurunya mengonsumsi minuman bersoda. Hal yang seharusnya ada dalam daftar pantangannya. Rahma sang guru pun menegurnya.

“Ibu Rahma kecewa sama saya?” ujarnya pada salah seorang guru. “Ya!” kata Rahma. “Ibu Rahma kecewa sama saya berapa persen?” “Lima ratus persen, lima ribu persen! Kecewa berat!” jawab Rahma dengan tegas. Anak itu pun berlari menahan tangis. Cara seperti ini melatih mental anak-anak tersebut, agar memiliki emosi yang lebih terkontrol.

Saya pun teringat perkataan Yetti, “Terapi perilaku bertujuan membina perilaku yang adaptif, membina perilaku yang sesuai dengan norma. Misalnya dia punya perilaku monoton. Di sini kita acak-acak, tergantung anaknya.”

Salah seorang murid merasa mual jika ia disentuh teman sekolahnya. Ia cenderung merasa jijik dengan semua orang. Apalagi teman lelaki. Jika guru-gurunya sengaja menyuruh murid lelaki untuk memegang pundaknya sebagai pembiasaan, ia akan segera menghindar dengan muka mual dan kerap kali bertanya, “Kamu sudah mandi belum?” Saya memperhatikan tingkahnya yang membersihkan meja dengan tisu secara saksama, sebelum ia meletakkan bekal dan peralatan makannya.

“Autisme itu masalah komunikasi dan perbendaharaan kata. Mereka pun antisosial,” papar Ade saat para murid sibuk dengan bekal mereka masing-masing. “Sebenarnya banyak sekali hal di otak mereka, tapi tak bisa dikeluarkan. Kosakata mereka terbatas,” lanjutnya. Terkait sensitivitas, Ade pun berkisah, salah seorang muridnya marah jika kulitnya tersentuh, karena merasa seperti dipukul. Ada pula yang tertawa jika terhantam oleh temannya, namun akan menangis beberapa jam kemudian. Tingkat gangguan spektrum autisme yang dialami para muridnya beragam. 

Anak-anak ini bukannya tak berprestasi. Saya menghadiri acara pentas seni penutup tahun ajaran yang digelar oleh sekolah ini. Mereka tampil di atas pentas. Mereka menari, menyanyi, bermain drum, keyboard, bahkan mampu menyelaraskan musik dalam kelompok drumband. Tak jarang para orang tua memboyong keluarga besar untuk melihat mereka berpentas.

Apa yang sebenarnya dialami oleh individu dengan gangguan spektrum autisme? Melly Budhiman, ketua Yayasan Autisma Indonesia yang saya temui di sela-sela seminar internasional mengenai autisme di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang, menyatakan bahwa individu dengan ASD mengalami gangguan dalam komunikasi dua arah, interaksi sosial timbal-balik, dan perilaku. Lebih jauh lagi, “individu seperti ini seakan memiliki dunianya sendiri,” ungkapnya.

Saya memperhatikan, bagaimana Mia, murid kelas dua SD Talitakum yang diam seribu bahasa setiap kali saya temui di kelasnya. Juga Akbar yang selalu bersuara keras mengeluarkan kata-kata abstrak seolah tak mengenal lelah dari pagi hingga malam hari. Jayden yang dulu sulit menatap mata saya lebih dari tiga detik.

Demikian pula dengan Faraz yang di saat tertentu asyik menggerakkan tangan, serta anak-anak lain yang menyendiri, menolak bergaul, dan nyaman dengan diri sendiri. “Tidak ada satu pun gejala pada anak autis yang sama,” ungkap Melly.

Mereka punya keunikan masing-masing. Apakah mereka sadar dengan keadaan diri sendiri? “Mereka tahu kalau sedang diperbincangkan, beberapa dari mereka bahkan memiliki rasa malu dengan keadaan mereka,” jelas Ade sembari melirik murid-muridnya yang saat itu sedang mengerjakan soal matematika. Hal ini membuat mereka menjadi tertutup dan lebih menarik diri.

American Psychiatric Association, pada Mei tahun ini mengeluarkan DSM 5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang menjadi acuan untuk mengenali ciri-ciri individu dalam payung gangguan spektrum autisme. Panduan ini merupakan hasil penelitian yang terus direvisi, selama 14 tahun.

Ada beberapa gangguan yang dikelompokkan dalam ASD: infantile autism, sindrom Asperger, dan PPD NOS (Pervasive Developmental Disorders Not Otherwise Specified.) Salah satu ciri penyandang sindrom Asperger adalah, individu tersebut impulsif terhadap suatu hal. Misalnya gampang berubah topik saat bercerita.

Seorang individu dinyatakan menyandang PDD-NOS saat gangguan yang ia miliki hanya mencakup salah satu atau dua, dari tiga bidang yang dijabarkan oleh Melly. Biasanya individu seperti ini masih memiliki ketertarikan dengan orang tua, atau masih bisa berinteraksi dan bermain dengan saudara-saudaranya. Semakin terganggu perilaku, interaksi dan komunikasinya, semakin tinggi tingkat autisme seorang anak.

Semakin dini orang tua menyadari keadaan anaknya, akan semakin baik pula perkembangan yang akan dialami individu autistik. Paling baik adalah sebelum berumur dua tahun. Terapi yang umum dijalani mereka adalah terapi perilaku, wicara, sensori integrasi, dan okupasi terapi.

Bentuk terapi ini beragam. Contohnya, meniup sedotan untuk melatih pengeluaran suara, berjalan di atas titian untuk melatih keseimbangan, merobek kertas dan menggunting untuk melatih motorik halus. Metode yang diterapkan pun bisa dengan bentuk hadiah dan hukuman, atau diulang terus menerus dengan cara halus, tergantung karakteristik setiap anak.

Bagi penyandang spektrum ini, mempelajari hal-hal ini tidaklah mudah. “Mengajarkan Faraz merobek kertas itu merupakan pekerjaan rumah yang benar-benar berat untuk dikerjakan,” ujar Ika penuh penekanan.

“Pemberian terapi harus rutin, tidak boleh bolong. Sebab kalau sering absen, kemajuan yang akan dicapai akan sulit, bahkan harus mulai dari nol lagi. Mereka terapi paling sedikit dua kali seminggu,” ungkap Susiami, terapis Ryan yang duduk di kelas empat. Saat itu saya mengikuti kegiatan mereka di kamar belajar yang mungil, di salah satu sudut rumahnya.

Bisakah gangguan spektrum autisme ini disembuhkan? ASD adalah kumpulan sindrom atau kumpulan gejala. Gejala adalah suatu hal yang tak bisa disembuhkan, tetapi bisa diminimalkan. Pendekatan dari para dokter dalam menangani sindrom ini pun beragam. Ada yang menetapkan diet sebagai hal utama, sebaliknya ada yang menganggap bahwa semua makanan baik bagi perkembangan otak.

Ada pula yang meresepkan obat yang harus dikonsumsi untuk sementara. Di luar semua itu, terapi adalah hal yang wajib mereka jalani.

Sore itu saya berhati-hati melangkahkan kaki di lantai yang dipenuhi genangan air asin, di tepi salah satu kolam di Gelanggang Samudra Ancol. “Akbar mau apa?” ujar Candra Aris Gunawan, seorang terapis, pelan namun tegas. Dengan suara berat dan perlahan, Akbar berkata, “Akbar mau berenang sama lumba-lumba.”

Setiap kata ia ucapkan dengan hati-hati, sembari menunjuki tiap gambar yang dilindungi oleh lapisan plastik dan direkatkan ke lembar panjang plastik lain dengan menggunakan velcro. Ada empat gambar di sana: foto diri di atas kolam, gambar tangan menengadah (pertanda untuk “mau”), foto Akbar berenang, dan foto lumba-lumba.

“Alat itu namanya PECS, atau Picture Exchange Communication System. Alat pengganti komunikasi melalui gambar, untuk anak nonverbal karena bahasanya belum berkembang,” ujar Candra menjelaskan. Terapi ini ia jalani sejak 2012. Via sang ibu mengakui, melalui terapi ini Akbar mengalami kemajuan wicara.

“Waktunya memang tidak instan, tetapi perkembangan itu ada,” ujarnya. Menurut Candra, salah satu keuntungan dari terapi ini adalah, individu autistik akan lebih mudah fokus. “Kalau di ruangan, banyak hal yang dilihat di kiri dan kanan. Kalau di kolam, hanya antara kepala dan kepala,” ujarnya sambil menjelaskan bahwa kegiatan ini telah mendapatkan lisensi dari Dolphin Therapy Project, di Florida, Amerika Serikat.

Saat meluncur bersama lumba-lumba, Candra kerap berteriak, bertanya mengenai bagian-bagian muka Akbar. Ia menguji sejauh mana Akbar bisa berkonsentrasi menjawab pertanyaannya, di tengah usahanya menjaga keseimbangan agar tak terlepas dari lumba-lumba yang melaju kencang. “Akbar, lihat Oom! Mana mata? Mana telinga? Mana hidung? Mana Bunda?” Akbar pun dengan cepat menunjukkan bagian-bagian yang ditanya.

Termasuk bundanya yang sedang duduk di tepian kolam. Terapi yang sama juga dijalankan oleh Rais (10 tahun) selama kurang lebih empat bulan. “Saya lihat perkembangan emosinya semakin bagus, terutama di sekolah. Ia juga semakin percaya diri,” ujar Wita, sang bunda. Daya tahan tubuhnya kuat karena berolahraga di air. Wita mengakui, hingga kini ia dan suaminya masih mencari terapi apa yang paling cocok bagi Rais.

Selain  lumba-lumba, berkuda menjadi salah satu yang dianggap baik dilakukan oleh individu autistik. Hal inilah yang  rutin dilakukan Faraz sejak kecil. “Semakin sulit medan yang dilalui kuda, semakin baik, karena dengan begitu Faraz akan semakin terlatih untuk menjaga keseimbangan,” ujar Linda, tante Faraz. Oleh sebab itu, ia kerap pergi ke kawasan puncak, menyambangi tempat wisata berkuda.

Di ruangan yetti yang sejuk, ia berkisah mengenai kenangannya mendidik anak berkebutuhan khusus. Pada 1998, saat menjadi tenaga terapis, ia masih ingat, “saat itu anak-anak autistik yang datang ke tempat terapi rata-rata memiliki tubuh yang besar. Mereka sering mengalami tantrum atau mengamuk, dan cenderung menyakiti.” Jambakan serta gigitan merupakan hal-hal yang harus dihadapi Yetti saat menghadapi mereka kala itu.

Namun, selepas 2000, usia anak yang datang lebih muda karena mereka telah terdeteksi ASD sejak dini. Selain itu, ia mengaku lebih mudah mengedukasi orang tua tentang apa yang terjadi dengan anak mereka. Individu ini biasanya sensitif terhadap gluten atau tepung terigu, serta kasein yang ada pada susu sapi. Untuk anak-anak dengan tipe agresif dan beremosi tinggi, diet wajib dilakukan diawasi orang tua.

Keluarga inti, juga keluarga besar, harus turut pula mendukung soal menjaga makanan ini. Salah satu yang berpantang adalah Faraz. Karena jika pantangannya tak terpenuhi, Faraz akan mengalami tantrum. “Biasanya kalau sudah tantrum, saya tanyai kakaknya satu-satu,” ujar Ika gemas.

Apalagi dalam acara keluarga, saat salah satu anggota keluarga besarnya memberikan makanan mengandung gluten dan kasein kepada Faraz dengan alasan, “kasihan, dia ingin makanan itu,” ujar Ika menirukan. “Mereka tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, bahwa efeknya akan bertahan lama, dan kami yang kewalahan,” paparnya semakin gemas.

Berbincang dengan Theresia Tristini, bunda dari Ryan, seorang anak autistik berusia 14 tahun, seolah bercakap-cakap dengan seseorang yang tak memiliki anak autistik seperti yang biasa saya jumpai pada umumnya. Gaya berbicaranya penuh semangat. Tak jarang kami tertawa geli saat ia menceritakan kelakuan anaknya.

Theresia menyadari keadaan anaknya yang spesial sejak Ryan berumur dua tahun. “Apalagi pada tahun 2000 dulu belum secanggih sekarang,” ujarnya. Sejak itu pula ia mencari berbagai terapi, mulai dari pembaluran menggunakan bahan-bahan herbal, tenaga prana, hingga terapi perilaku. Ia juga sempat menghabiskan waktu di Singapura selama satu minggu untuk belajar metode Glenn Doman, seorang terapis asal Amerika Serikat.

“Menurut Glenn Doman, mereka ini adalah anak-anak yang cedera otak,” ungkap Theresia. Saat kembali ke rumah, ia menerapkan apa yang didapat kepada anaknya. “Sehari, Ryan bisa merayap 2.000 meter, merangkak 3.000 meter. Jadi kita bikin trayek, dan waktunya dihitung menggunakan stopwatch,” kenangnya sambil menunjuk ruang keluarganya yang minimalis, karena kebanyakan barangnya telah rusak.

Ia juga bercerita bahwa ia dan suaminya bahkan membuat titian balok, rangkaian besi untuk bergelayut, dan melatih Ryan menggunakan flash card, kartu bergambar yang dilengkapi kata-kata, kala Ryan berumur tujuh tahun. “Dua tahun kami melakukan itu di rumah, dari pagi sampai pukul 6.00 sore,” lanjutnya. Ia pun tertawa-tawa menceritakan lututnya yang hitam karena ikut merangkak. Ia juga berkisah dengan ringan, bagaimana Ryan sempat menghilang dari rumahnya di Cengkareng, dan malamnya ditemukan di area Pantai Indah Kapuk berkat bantuan satpam.

Ia mengaku semua ini membutuhkan proses, karena di keluarga besarnya sama sekali tidak ada yang menyandang gangguan ini. Uniknya, kini mereka semua amat mendukung Theresia. Jika anaknya mengalami masalah, mereka selalu berlomba-lomba mencarikan jalan keluarnya.

Ryan, yang hingga usia lima tahun masih belum bisa bicara, kini mulutnya tak bisa diam dalam waktu lama. Saat berkendara bersama dari sekolah menuju rumahnya melewati jalan bebas hambatan, ia tak berhenti membaca semua plang yang kami lewati dengan intonasi yang singkat dan suara yang keras: Petunjuk arah, papan reklame, tulisan di truk peti kemas, juga plang hotel.

Hanya di hari kedua saat saya kembali berkendara bersamanya, ia diam dalam setengah perjalanan pulang, menikmati penganan yang diberikan oleh Audrey, adik perempuannya yang berkulit hitam dan berambut lurus, yang duduk di samping saya.

Dalam acara autism awareness yang digelar oleh London School of Public Relations, Adriana Ginanjar seorang psikolog, mengingatkan, “Ada juga pihak yang sebenarnya memiliki stres yang juga tinggi, yaitu si saudara kandung.”

Selain selalu disuruh mengalah, mereka juga harus berhadapan dengan teman-teman yang mungkin tak mengerti keadan spesial keluarganya. Adriana yang putra sulungnya merupakan individu autistik, mengaku bahwa dulu si anak bungsu tak pernah mau mengajak teman-temannya ke rumah. Tetapi hal ini berubah saat si adik masuk ke sekolah yang juga menerima individu berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajarnya.

Pada lembaga pendidikan negeri, biasanya hal ini disebut sekolah inklusif, tempat dua ABK belajar dalam satu kelas yang jumlahnya terdiri dari 40 siswa. Keluhan saudara kandung dialami oleh Dery Leksmono yang memiliki putra autistik, Jordan, yang kini berusia 13 tahun. Thania, si sulung yang terpaut usia dua tahun dari adiknya pernah mengeluh, “Kenapa sih Tuhan kasih adik kayak begini? Malu deh.” Dery pun tak pernah putus asa memberikan pengertian kepada sang kakak mengenai keadaan adiknya.

Namun, Adriana melihat banyak hal positif yang ada dalam diri saudara kandung. Anak-anak ini akan menjadi lebih matang secara emosional, mandiri, memiliki empati yang tinggi, dan menghargai perbedaan. “Karena dia tahu bagaimana susahnya mengurus kakak atau adiknya, dia akan lebih gampang untuk mendengarkan orang lain. Kalau dia toleran dengan anak berkebutuhan khusus, tentunya dia bisa lebih toleran dengan banyak hal,” ungkapnya. Ia pernah mendirikan kegiatan Siblings Support Group. Dalam kelompok ini, para saudara kandung dibekali banyak pengetahuan seputar autisme.

Kelompok atau komunitas tampaknya adalah salah satu hal yang bisa menguatkan para orang tua. Pada suatu senja di hari Minggu menjelang perayaan ekaristi, saya duduk di bangku terbelakang di Gereja Santo Ignatius Loyola. Letaknya di bilangan Menteng, Jakarta. Tak jauh dari saya, di kiri depan, duduk satu keluarga. Anak perempuannya mungkin berusia sekitar 10 tahun.

Sejak saya hadir hingga keluar dari gereja, ia selalu mengacungkan dua jarinya, telunjuk dan tengah lalu melakukan apa yang saya bayangkan seperi gerakan menulis di udara. Jari-jari itu pensilnya. Ia seperti memiliki buku halaman yang tak bisa saya lihat tepat di samping kepalanya. Saat misa berlangsung, seorang ibu sibuk mengejar anak lelakinya yang lari mengelilingi deretan bangku.

Kemudian terdengar jeritan seorang anak beranjak dewasa yang membuat anak-anak kecil di sekitarnya menangis, dan seorang anak berusia sekitar sebelas tahun selalu menjerit gembira setiap kali berdiri dan duduk. Namun, di balik itu semua, tak ada seorang pun yang merasa terganggu. Tak ada orang yang memandang anak-anak ini memiliki perilaku yang aneh.

Setelah misa khusus untuk keluarga dengan anak berkebutuhan khusus ini selesai, sebagian keluarga pulang, namun sebagian lagi mendengarkan sharing oleh umat terkait pengalaman mereka membesarkan anak berkebutuhan khusus.

Komunitas yang bisa menguatkan satu sama lain tak hanya terlihat secara fisik. Komunitas Putera Kembara berada dalam dunia maya, tempat para orang tua dan pemerhati berdiskusi secara aktif melalui surel. Komunitas ini menjadi area berbagi para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus.

Mereka saling memberi informasi di mana tempat terapi yang terdekat, sekolah yang mau menerima anak-anak mereka, siapa dokter gigi yang bisa menangani anak mereka yang spesial, sampai menjadi tempat untuk saling membantu kala seorang anak autistik melarikan diri entah kemana.

Individu autistik kadang mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan di tempat umum. Melly menegaskan, anak-anak ini bukan sakit jiwa, melainkan hanya mengalami gangguan perkembangan. Menurutnya, jika individu autistik serta orang tuanya merasa diterima di tempat umum, rasa rendah diri tak akan mereka alami, dan hal ini membantu proses perkembangan dengan lebih baik.

Apa yang dirasakan para individu ini coba disosialisasikan oleh Yayasan Autisma Indonesia. Akhir September silam, di sebuah mal di bilangan Kuningan, Jakarta, yayasan ini membuat sebuah labirin atau lorong sesat seluas 255 meter persegi. Walaupun terlihat sederhana, labirin ini sarat dengan informasi yang menggambarkan sensitivitas kelima indera individu autistik.

Di dinding sepanjang lorong tertulis pernyataan-pernyataan berikut: “Untuk teman saya yang termasuk hiposensitif terhadap rasa, seratus cabai itu tidak akan terasa pedas sama sekali.” “Asam, manis, pahit, gurih… Bagi saya adalah sebuah kata.” ”Saya hanya bisa mendengar sebagian huruf dari seluruh alfabet.” Dan yang paling menyentuh perasaan saya adalah: “Saya mendengar betapa bisingnya ruangan yang sunyi.”

Salah satu bagian labirin diselubungi oleh kain hitam. Melalui sorot proyektor, pengunjung dapat merasakan betapa seorang individu autistik yang hipersensitif terhadap cahaya, menerima kesilauan bagai ribuan jarum yang menusuk matanya. Di akhir lorong, tersedia kemeja yang dimodifikasi sedemikan rupa, agar pengunjung merasa tak nyaman saat memakainya. Di atasnya terpampang tulisan: “Satu label baju bagaikan ratusan semut yang mengerubungi tubuh saya. Bahan velcro sering kali terasa seperti duri yang menusuk.”

Melalui surel, Derry menggambarkan bahwa anak sulung yang biasanya mengeluh dengan keadaan adiknya yang autistik menjadi mengerti apa yang dirasakan oleh sang adik, “Oo… gini ya Ma, di kepala adik? Dari sononya ya Ma? Jadi kita musti ngertiin ya Ma? Kasih taunya ke adik gitu ya Ma caranya?” Acara ini mendapat banyak tanggapan terutama dari para orang tua yang berharap agar konstruksi ini bisa dipamerkan di kota tempat tinggal masing-masing, agar lebih banyak masyarakat yang bisa memahami anak-anak mereka.

Penyandang gangguan spektrum autisme bukannya tak memiliki masa depan. Mereka unik dengan prestasi masing-masing. “Orang tua harus jeli melihat bakat masing-masing anak,” ujar Ciptono, pemimpin Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang di ruangannya yang luas.

Dinding yang dipunggunginya dipenuhi bingkai-bingkai berkaca, yang menyimpan rapi sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan oleh museum rekor indonesia. Beberapa dari sertifikat itu milik Cindy, seorang individu autistik berusia 17 tahun yang dianugerahi penghargaan tersebut sebagai individu autistik dengan berbagai macam talenta.

Di antaranya, ia piawai menyanyi, menabuh drum, dan memasak. Setelah mengunjungi bengkel batik ciprat, ruang melukis, ruang menjahit dan tata busana di antara belasan bidang keterampilan yang diakomodasi oleh sekolah luar biasa ini sesuai dengan minat siswa, saya tiba di sebuah ruang studio musik. Dindingnya kedap suara.

Cindy ada di sana, ia menyanyikan lagu Bangkitlah Indonesiaku diiringi permainan musik dari teman-temannya yang juga individu autistik. Mereka bergantian menampilkan bakat mereka, kadang membuat saya merinding karena kagum. Kelompok musik SLB Negeri Semarang yang dikenal dengan nama Eselbens ini sudah sering mendapatkan tawaran manggung di berbagai tempat.

 “Menjadi anak autis bukanlah akhir dari segalanya. Dan Tuhan tidak pernah menciptakan produk yang gagal,” ujar Ciptono dalam berbagai kesempatan. Kata-kata ini pula yang tergantung di aula sekolahnya, bersama kata-kata motivasi lainnya.

Dua tahun silam, Lita,  ibu dari Arya, seorang individu autistik berusia sembilan tahun, berpindah ke Selandia Baru untuk mengikuti penugasan suaminya. Di sana ia terkejut, karena ia mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mulai dari biaya kesehatan, terapi, hingga sekolah. “Saya jadi merasa tak sendirian menghadapi hal ini, yang tentunya belum pernah dan berpengalaman menghadapinya,” ungkap Lita dalam surelnya kepada saya setahun silam.

Uniknya, pemerintah juga menaruh perhatian agar orang tua anak berkebutuhan khusus juga bisa melepas stres. Pemerintah membiayai orang tua untuk bisa “istirahat” dari hal-hal melelahkan yang mereka hadapi setiap hari. “Dukungan dari pemerintah tidak banyak jumlahnya, tetapi cukup membantu,” tulis Lita.

Terkait tingkat stres, penelitian pernah dilakukan University of Wisconsin-Madison pada 2009, yang dituangkan dalam Journal of Autism and Developmental Disorders. Sasarannya ibu beranak remaja dan dewasa autistik. Saat mengukur hormon terkait stres, mereka menemukan bahwa kadarnya hampir sama dengan tingkat stres tentara berperang.

“Di sini anak-anak disiapkan untuk memiliki masa depan. ABK di sini bisa bekerja dan mengurus diri sendiri dengan luar biasa hebat. Hal yang tidak pernah saya lihat di Indonesia,” ungkap Lita. Ia berharap, agar orang tua ASD di Indonesia bisa lebih dihargai dan ditolong. 

Mengapa pemerintah Indonesia seolah kurang memberi perhatian kepada penyandang gangguan spektrum autisme? “Jumlah kematian ibu dan anak jauh lebih tinggi angkanya dibandingkan dengan kasus ASD,” tegas Alifiati Fitrikasari, Kepala Departemen Psikiater Rumah Sakit Kariadi, Semarang. “Jadi mereka akan terlebih dahulu fokus ke arah sana,” lanjutnya.

 

Lalu bagaimana dengan pendidikan anak-anak autistik yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia? Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, jawabannya ada pada sekolah inklusif.

Pada 2009, Permendiknas Nomor 70 terbit. Isinya tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan atau bakat istimewa. Menurut Tigor Hutapea, Pengacara LBH Jakarta, hingga kini masih terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah minimnya guru yang memahami pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Pada sebuah seminar pendidikan ABK, saya menyaksikan sendiri betapa tenaga pendidik sekolah yang baru saja dilabelkan menjadi inklusif, mengeluh bingung menghadapi ABK. Melihat luasnya cakupan ABK yang juga termasuk kaum tuna, beberapa orang tua menyangsikan bahwa sekolah inklusif bisa mengembangkan anak mereka penyandang ASD.

Apakah pemerintah berencana untuk membangun sekolah khusus untuk individu autistik? Pertanyaan itu saya lontarkan kepada Tita Sri Hayati, dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional.

Ia menggelengkan kepala. “Individu autistik harus masuk ke sekolah inklusif,” ujarnya. Namun, kabar baiknya adalah, sedang dijalankannya program pembangunan pusat layanan autis yang disingkat PLA. “Minimal ada satu PLA yang dibangun di setiap provinsi,” ungkap Tita. Hal ini dilakukan untuk menjawab keluhan masyarakat yang kesulitan dalam membiayai terapi yang mahal. Sejauh ini PSA berhasil dibangun di Malang, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Jakarta.

Walau banyak orang menilai penanganan pendidikan ABK masih jauh dari ideal, Henny Supolo, ketua Yayasan Cahaya Guru yang mengembangkan kualitas guru mengingatkan, “Kita tak berjalan di tempat. Dulu semua yang sudah dipaparkan Bu Tita, tidak ada,” ujarnya.

Perjalanan anak-anak ini masih panjang. Saya ingat, kecemasan yang selalu tercetus saat berbincang dengan para orang tua, adalah, “Bagaimana masa depan mereka jika kami tidak ada? Kita tidak pernah tahu umur kita.”

Tepat dua hari menjelang Idul Fitri Agustus silam, malam itu saya berdiri memandang Faraz di halaman rumahnya dengan hati pilu.  Di mata saya ia tampak seperti Faraz yang biasa, yang kadang sibuk dengan dunianya.

Walau tantenya berkata ia sesekali menangis, mungkin ia tak pernah sadar akan ramainya orang yang mendoakan kepergian ibunya malam itu. Dua kakak perempuan Faraz amat tegar. Mereka cerminan ayah ibunya yang selalu menjalani hari-hari mereka dengan tekad kuat, berbuat apa pun demi perkembangan anak autistiknya.

 

Feature "Dunia Sunyi Para Pencari Jati Diri" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi November 2013