Dunia Sunyi Para Pencari Jati Diri, Kisah Anak-anak Penyandang Autisme

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 18:00 WIB
Akbar (12), penyandang gangguan spektrum autisme, melakukan terapi bersama lumba-lumba. (Titania Febrianti/National Geographic Indonesia)

Keluarga inti, juga keluarga besar, harus turut pula mendukung soal menjaga makanan ini. Salah satu yang berpantang adalah Faraz. Karena jika pantangannya tak terpenuhi, Faraz akan mengalami tantrum. “Biasanya kalau sudah tantrum, saya tanyai kakaknya satu-satu,” ujar Ika gemas.

Apalagi dalam acara keluarga, saat salah satu anggota keluarga besarnya memberikan makanan mengandung gluten dan kasein kepada Faraz dengan alasan, “kasihan, dia ingin makanan itu,” ujar Ika menirukan. “Mereka tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, bahwa efeknya akan bertahan lama, dan kami yang kewalahan,” paparnya semakin gemas.

Berbincang dengan Theresia Tristini, bunda dari Ryan, seorang anak autistik berusia 14 tahun, seolah bercakap-cakap dengan seseorang yang tak memiliki anak autistik seperti yang biasa saya jumpai pada umumnya. Gaya berbicaranya penuh semangat. Tak jarang kami tertawa geli saat ia menceritakan kelakuan anaknya.

Theresia menyadari keadaan anaknya yang spesial sejak Ryan berumur dua tahun. “Apalagi pada tahun 2000 dulu belum secanggih sekarang,” ujarnya. Sejak itu pula ia mencari berbagai terapi, mulai dari pembaluran menggunakan bahan-bahan herbal, tenaga prana, hingga terapi perilaku. Ia juga sempat menghabiskan waktu di Singapura selama satu minggu untuk belajar metode Glenn Doman, seorang terapis asal Amerika Serikat.

“Menurut Glenn Doman, mereka ini adalah anak-anak yang cedera otak,” ungkap Theresia. Saat kembali ke rumah, ia menerapkan apa yang didapat kepada anaknya. “Sehari, Ryan bisa merayap 2.000 meter, merangkak 3.000 meter. Jadi kita bikin trayek, dan waktunya dihitung menggunakan stopwatch,” kenangnya sambil menunjuk ruang keluarganya yang minimalis, karena kebanyakan barangnya telah rusak.

Ia juga bercerita bahwa ia dan suaminya bahkan membuat titian balok, rangkaian besi untuk bergelayut, dan melatih Ryan menggunakan flash card, kartu bergambar yang dilengkapi kata-kata, kala Ryan berumur tujuh tahun. “Dua tahun kami melakukan itu di rumah, dari pagi sampai pukul 6.00 sore,” lanjutnya. Ia pun tertawa-tawa menceritakan lututnya yang hitam karena ikut merangkak. Ia juga berkisah dengan ringan, bagaimana Ryan sempat menghilang dari rumahnya di Cengkareng, dan malamnya ditemukan di area Pantai Indah Kapuk berkat bantuan satpam.

Ia mengaku semua ini membutuhkan proses, karena di keluarga besarnya sama sekali tidak ada yang menyandang gangguan ini. Uniknya, kini mereka semua amat mendukung Theresia. Jika anaknya mengalami masalah, mereka selalu berlomba-lomba mencarikan jalan keluarnya.

Ryan, yang hingga usia lima tahun masih belum bisa bicara, kini mulutnya tak bisa diam dalam waktu lama. Saat berkendara bersama dari sekolah menuju rumahnya melewati jalan bebas hambatan, ia tak berhenti membaca semua plang yang kami lewati dengan intonasi yang singkat dan suara yang keras: Petunjuk arah, papan reklame, tulisan di truk peti kemas, juga plang hotel.

Hanya di hari kedua saat saya kembali berkendara bersamanya, ia diam dalam setengah perjalanan pulang, menikmati penganan yang diberikan oleh Audrey, adik perempuannya yang berkulit hitam dan berambut lurus, yang duduk di samping saya.

Dalam acara autism awareness yang digelar oleh London School of Public Relations, Adriana Ginanjar seorang psikolog, mengingatkan, “Ada juga pihak yang sebenarnya memiliki stres yang juga tinggi, yaitu si saudara kandung.”

Selain selalu disuruh mengalah, mereka juga harus berhadapan dengan teman-teman yang mungkin tak mengerti keadan spesial keluarganya. Adriana yang putra sulungnya merupakan individu autistik, mengaku bahwa dulu si anak bungsu tak pernah mau mengajak teman-temannya ke rumah. Tetapi hal ini berubah saat si adik masuk ke sekolah yang juga menerima individu berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajarnya.

Pada lembaga pendidikan negeri, biasanya hal ini disebut sekolah inklusif, tempat dua ABK belajar dalam satu kelas yang jumlahnya terdiri dari 40 siswa. Keluhan saudara kandung dialami oleh Dery Leksmono yang memiliki putra autistik, Jordan, yang kini berusia 13 tahun. Thania, si sulung yang terpaut usia dua tahun dari adiknya pernah mengeluh, “Kenapa sih Tuhan kasih adik kayak begini? Malu deh.” Dery pun tak pernah putus asa memberikan pengertian kepada sang kakak mengenai keadaan adiknya.

Namun, Adriana melihat banyak hal positif yang ada dalam diri saudara kandung. Anak-anak ini akan menjadi lebih matang secara emosional, mandiri, memiliki empati yang tinggi, dan menghargai perbedaan. “Karena dia tahu bagaimana susahnya mengurus kakak atau adiknya, dia akan lebih gampang untuk mendengarkan orang lain. Kalau dia toleran dengan anak berkebutuhan khusus, tentunya dia bisa lebih toleran dengan banyak hal,” ungkapnya. Ia pernah mendirikan kegiatan Siblings Support Group. Dalam kelompok ini, para saudara kandung dibekali banyak pengetahuan seputar autisme.

Kelompok atau komunitas tampaknya adalah salah satu hal yang bisa menguatkan para orang tua. Pada suatu senja di hari Minggu menjelang perayaan ekaristi, saya duduk di bangku terbelakang di Gereja Santo Ignatius Loyola. Letaknya di bilangan Menteng, Jakarta. Tak jauh dari saya, di kiri depan, duduk satu keluarga. Anak perempuannya mungkin berusia sekitar 10 tahun.

Sejak saya hadir hingga keluar dari gereja, ia selalu mengacungkan dua jarinya, telunjuk dan tengah lalu melakukan apa yang saya bayangkan seperi gerakan menulis di udara. Jari-jari itu pensilnya. Ia seperti memiliki buku halaman yang tak bisa saya lihat tepat di samping kepalanya. Saat misa berlangsung, seorang ibu sibuk mengejar anak lelakinya yang lari mengelilingi deretan bangku.

Kemudian terdengar jeritan seorang anak beranjak dewasa yang membuat anak-anak kecil di sekitarnya menangis, dan seorang anak berusia sekitar sebelas tahun selalu menjerit gembira setiap kali berdiri dan duduk. Namun, di balik itu semua, tak ada seorang pun yang merasa terganggu. Tak ada orang yang memandang anak-anak ini memiliki perilaku yang aneh.

Setelah misa khusus untuk keluarga dengan anak berkebutuhan khusus ini selesai, sebagian keluarga pulang, namun sebagian lagi mendengarkan sharing oleh umat terkait pengalaman mereka membesarkan anak berkebutuhan khusus.

Komunitas yang bisa menguatkan satu sama lain tak hanya terlihat secara fisik. Komunitas Putera Kembara berada dalam dunia maya, tempat para orang tua dan pemerhati berdiskusi secara aktif melalui surel. Komunitas ini menjadi area berbagi para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus.

Mereka saling memberi informasi di mana tempat terapi yang terdekat, sekolah yang mau menerima anak-anak mereka, siapa dokter gigi yang bisa menangani anak mereka yang spesial, sampai menjadi tempat untuk saling membantu kala seorang anak autistik melarikan diri entah kemana.

Individu autistik kadang mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan di tempat umum. Melly menegaskan, anak-anak ini bukan sakit jiwa, melainkan hanya mengalami gangguan perkembangan. Menurutnya, jika individu autistik serta orang tuanya merasa diterima di tempat umum, rasa rendah diri tak akan mereka alami, dan hal ini membantu proses perkembangan dengan lebih baik.

Apa yang dirasakan para individu ini coba disosialisasikan oleh Yayasan Autisma Indonesia. Akhir September silam, di sebuah mal di bilangan Kuningan, Jakarta, yayasan ini membuat sebuah labirin atau lorong sesat seluas 255 meter persegi. Walaupun terlihat sederhana, labirin ini sarat dengan informasi yang menggambarkan sensitivitas kelima indera individu autistik.

Di dinding sepanjang lorong tertulis pernyataan-pernyataan berikut: “Untuk teman saya yang termasuk hiposensitif terhadap rasa, seratus cabai itu tidak akan terasa pedas sama sekali.” “Asam, manis, pahit, gurih… Bagi saya adalah sebuah kata.” ”Saya hanya bisa mendengar sebagian huruf dari seluruh alfabet.” Dan yang paling menyentuh perasaan saya adalah: “Saya mendengar betapa bisingnya ruangan yang sunyi.”

Salah satu bagian labirin diselubungi oleh kain hitam. Melalui sorot proyektor, pengunjung dapat merasakan betapa seorang individu autistik yang hipersensitif terhadap cahaya, menerima kesilauan bagai ribuan jarum yang menusuk matanya. Di akhir lorong, tersedia kemeja yang dimodifikasi sedemikan rupa, agar pengunjung merasa tak nyaman saat memakainya. Di atasnya terpampang tulisan: “Satu label baju bagaikan ratusan semut yang mengerubungi tubuh saya. Bahan velcro sering kali terasa seperti duri yang menusuk.”

Melalui surel, Derry menggambarkan bahwa anak sulung yang biasanya mengeluh dengan keadaan adiknya yang autistik menjadi mengerti apa yang dirasakan oleh sang adik, “Oo… gini ya Ma, di kepala adik? Dari sononya ya Ma? Jadi kita musti ngertiin ya Ma? Kasih taunya ke adik gitu ya Ma caranya?” Acara ini mendapat banyak tanggapan terutama dari para orang tua yang berharap agar konstruksi ini bisa dipamerkan di kota tempat tinggal masing-masing, agar lebih banyak masyarakat yang bisa memahami anak-anak mereka.

Penyandang gangguan spektrum autisme bukannya tak memiliki masa depan. Mereka unik dengan prestasi masing-masing. “Orang tua harus jeli melihat bakat masing-masing anak,” ujar Ciptono, pemimpin Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang di ruangannya yang luas.

Dinding yang dipunggunginya dipenuhi bingkai-bingkai berkaca, yang menyimpan rapi sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan oleh museum rekor indonesia. Beberapa dari sertifikat itu milik Cindy, seorang individu autistik berusia 17 tahun yang dianugerahi penghargaan tersebut sebagai individu autistik dengan berbagai macam talenta.

Di antaranya, ia piawai menyanyi, menabuh drum, dan memasak. Setelah mengunjungi bengkel batik ciprat, ruang melukis, ruang menjahit dan tata busana di antara belasan bidang keterampilan yang diakomodasi oleh sekolah luar biasa ini sesuai dengan minat siswa, saya tiba di sebuah ruang studio musik. Dindingnya kedap suara.

Cindy ada di sana, ia menyanyikan lagu Bangkitlah Indonesiaku diiringi permainan musik dari teman-temannya yang juga individu autistik. Mereka bergantian menampilkan bakat mereka, kadang membuat saya merinding karena kagum. Kelompok musik SLB Negeri Semarang yang dikenal dengan nama Eselbens ini sudah sering mendapatkan tawaran manggung di berbagai tempat.

 “Menjadi anak autis bukanlah akhir dari segalanya. Dan Tuhan tidak pernah menciptakan produk yang gagal,” ujar Ciptono dalam berbagai kesempatan. Kata-kata ini pula yang tergantung di aula sekolahnya, bersama kata-kata motivasi lainnya.

Dua tahun silam, Lita,  ibu dari Arya, seorang individu autistik berusia sembilan tahun, berpindah ke Selandia Baru untuk mengikuti penugasan suaminya. Di sana ia terkejut, karena ia mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mulai dari biaya kesehatan, terapi, hingga sekolah. “Saya jadi merasa tak sendirian menghadapi hal ini, yang tentunya belum pernah dan berpengalaman menghadapinya,” ungkap Lita dalam surelnya kepada saya setahun silam.

Uniknya, pemerintah juga menaruh perhatian agar orang tua anak berkebutuhan khusus juga bisa melepas stres. Pemerintah membiayai orang tua untuk bisa “istirahat” dari hal-hal melelahkan yang mereka hadapi setiap hari. “Dukungan dari pemerintah tidak banyak jumlahnya, tetapi cukup membantu,” tulis Lita.

Terkait tingkat stres, penelitian pernah dilakukan University of Wisconsin-Madison pada 2009, yang dituangkan dalam Journal of Autism and Developmental Disorders. Sasarannya ibu beranak remaja dan dewasa autistik. Saat mengukur hormon terkait stres, mereka menemukan bahwa kadarnya hampir sama dengan tingkat stres tentara berperang.

“Di sini anak-anak disiapkan untuk memiliki masa depan. ABK di sini bisa bekerja dan mengurus diri sendiri dengan luar biasa hebat. Hal yang tidak pernah saya lihat di Indonesia,” ungkap Lita. Ia berharap, agar orang tua ASD di Indonesia bisa lebih dihargai dan ditolong. 

Mengapa pemerintah Indonesia seolah kurang memberi perhatian kepada penyandang gangguan spektrum autisme? “Jumlah kematian ibu dan anak jauh lebih tinggi angkanya dibandingkan dengan kasus ASD,” tegas Alifiati Fitrikasari, Kepala Departemen Psikiater Rumah Sakit Kariadi, Semarang. “Jadi mereka akan terlebih dahulu fokus ke arah sana,” lanjutnya.

 

Lalu bagaimana dengan pendidikan anak-anak autistik yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia? Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, jawabannya ada pada sekolah inklusif.

Pada 2009, Permendiknas Nomor 70 terbit. Isinya tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan atau bakat istimewa. Menurut Tigor Hutapea, Pengacara LBH Jakarta, hingga kini masih terdapat banyak masalah dalam pelaksanaannya. Salah satunya adalah minimnya guru yang memahami pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Pada sebuah seminar pendidikan ABK, saya menyaksikan sendiri betapa tenaga pendidik sekolah yang baru saja dilabelkan menjadi inklusif, mengeluh bingung menghadapi ABK. Melihat luasnya cakupan ABK yang juga termasuk kaum tuna, beberapa orang tua menyangsikan bahwa sekolah inklusif bisa mengembangkan anak mereka penyandang ASD.

Apakah pemerintah berencana untuk membangun sekolah khusus untuk individu autistik? Pertanyaan itu saya lontarkan kepada Tita Sri Hayati, dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional.

Ia menggelengkan kepala. “Individu autistik harus masuk ke sekolah inklusif,” ujarnya. Namun, kabar baiknya adalah, sedang dijalankannya program pembangunan pusat layanan autis yang disingkat PLA. “Minimal ada satu PLA yang dibangun di setiap provinsi,” ungkap Tita. Hal ini dilakukan untuk menjawab keluhan masyarakat yang kesulitan dalam membiayai terapi yang mahal. Sejauh ini PSA berhasil dibangun di Malang, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Jakarta.

Walau banyak orang menilai penanganan pendidikan ABK masih jauh dari ideal, Henny Supolo, ketua Yayasan Cahaya Guru yang mengembangkan kualitas guru mengingatkan, “Kita tak berjalan di tempat. Dulu semua yang sudah dipaparkan Bu Tita, tidak ada,” ujarnya.

Perjalanan anak-anak ini masih panjang. Saya ingat, kecemasan yang selalu tercetus saat berbincang dengan para orang tua, adalah, “Bagaimana masa depan mereka jika kami tidak ada? Kita tidak pernah tahu umur kita.”

Tepat dua hari menjelang Idul Fitri Agustus silam, malam itu saya berdiri memandang Faraz di halaman rumahnya dengan hati pilu.  Di mata saya ia tampak seperti Faraz yang biasa, yang kadang sibuk dengan dunianya.

Walau tantenya berkata ia sesekali menangis, mungkin ia tak pernah sadar akan ramainya orang yang mendoakan kepergian ibunya malam itu. Dua kakak perempuan Faraz amat tegar. Mereka cerminan ayah ibunya yang selalu menjalani hari-hari mereka dengan tekad kuat, berbuat apa pun demi perkembangan anak autistiknya.

 

Feature "Dunia Sunyi Para Pencari Jati Diri" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi November 2013