Mengelak dari Sang Ombak: Berkaca dari Bencana demi Kesiapan Kita

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 12:00 WIB
Ali Setiawan dan Safrizal menikmati senja di Pantai Uleelheue, daerah dengan kerusakan terparah saat tsunami 2004. Trauma warga perlahan sirna namun tak berarti pihak terkait boleh lengah dalam mitigasi bencana tsunami. (Yunaidi Joepoet)

“Ini adalah persoalan manajemen yang paling kompleks yang pernah saya alami, dan menurut saya tidak ada yang mengalahkan hal ini,” ia berkata. Di lokasi yang tertimpa bencana dan dalam keadaan kacau-balau, timnya harus melakukan koordinasi dengan beragam organisasi, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk memberikan pengertian kepada GAM maupun TNI terkait keberadaan mereka, juga harus berhubungan dengan pihak Jakarta, “dengan birokrasinya yang ruwet,” kenangnya.

Uluran tangan datang untuk membangkitkan kembali kehidupan yang telah diporakporandakan hantaman gelombang raksasa. Bantuan peralatan untuk mendeteksi kedatangan tsunami secara dini serta sistem peringatannya, dikerahkan antara lain oleh Jerman, Amerika Serikat, serta Malaysia.

Alat deteksi dini gelombang dalam bentuk buoy yang juga merupakan karya BPPT, disebar di pesisir pantai Indonesia yang memiliki potensi ancaman tsunami. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 25 unit buoy tsunami di perairan Indonesia, saat ini hanya tiga unit yang beroperasi, akibat kerusakan teknis.

Di markas BNPB di Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta, saya berbincang dengan Sutopo Purwo Nugroho, Kepala pusat Data Informasi dan Humas. Di ruangan di samping saya, terlihat selembar peta Sinabung yang mencuat dari alat pencetak dengan lebar kira-kira serentangan lengan orang dewasa. Di dinding, terdapat layar besar berisi informasi terkait bencana Sinabung yang dipantau selama 24 jam.

Baca Juga: Benarkah Tsunami Aceh Telah Diramalkan Dalam Manuskrip Kuno?

Sisa-sisa tsunami Aceh. (Heri Mardinal/Getty Images)

“Sirene tsunami di Indonesia masih terbatas, belum sampai 100 buah, termasuk di Aceh enam buah,” paparnya. Padahal, menurutnya Indonesia dengan rentang pesisir yang luas, butuh ribuan sirene untuk memperingati masyarakat akan bahaya tsunami. Ia pun menjelaskan, bahwa BNPB dan BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah, membantu BMKG dalam membangun sirene berbasis komunitas.

“Contohnya di Sumatra Barat, Pacitan, Cilacap, dan Bantul,” lanjutnya. Sutopo memaparkan, saat peringatan dini tsunami dari BMKG diterima oleh masyarakat, petugas harus menekan tombol sirene untuk memperingatkan warga akan bahaya yang akan datang. “Setelah itu mereka harus mengungsi, dan tugas BNPB dan BPBD-lah untuk memberikan pelayanan dibantu lembaga lainnya,” lanjutnya.

Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari.

Sistem penanganan peringatan dini bencana terutama tsunami yang dikerjakan bersama oleh BPPT, BMKG, serta BNPB ini membuat kening Kuntoro berkerut. Bertahun-tahun bergelut dengan masyarakat korban bencana, ia meragukan jika penanganan peringatan bencana besar, masih saja harus terbagi di beberapa instansi. “Harus satu tangan, satu perintah,” tegasnya. Ia berkaca pada pengalaman gempa 2012 yang sistem peringatannya tak lebih baik dari bencana sebelumnya. Evakuasi menimbulkan kemacetan, bahkan sirene di Uleelheue tidak menyala saat tombolnya ditekan oleh masyarakat, karena aliran listrik mati.

Pengalaman dilanda bencana memang membuat masyarakat Aceh lebih waspada. Lima tahun masa pasca-tsunami diperingati dengan melibatkan ribuan penduduk di wilayah Meuraksa, dalam simulasi yang dilakukan banyak pihak, termasuk Palang Merah Indonesia. “Oktober lalu, simulasi mengenang 10 tahun tsunami juga diselenggarakan di Blang Oi, Meuraksa, dengan melibatkan anak sekolah,” ungkap Fauzi Husaini, Kepala Sub Bidang Penanggulangan PMI Provinsi Aceh.