Mengelak dari Sang Ombak: Berkaca dari Bencana demi Kesiapan Kita

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 12:00 WIB
Ali Setiawan dan Safrizal menikmati senja di Pantai Uleelheue, daerah dengan kerusakan terparah saat tsunami 2004. Trauma warga perlahan sirna namun tak berarti pihak terkait boleh lengah dalam mitigasi bencana tsunami. (Yunaidi Joepoet)

Didukung oleh Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, PMI membangun program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat yang dilaksanakan sejak 2006. Menurut Fauzi, hingga tahun ini, ada 350 desa dari sekitar 6.600 desa di Aceh yang memiliki rencana kontingensi. Di dalam program ini terdapat tim Sibat atau Siaga Bencana Berbasis Masyarakat, yang melakukan pelatihan dalam menghadapi petaka, selama lima hari. “Kami menyiapkan SDM untuk hal ini, namun kelemahan ada di anggaran,” ujar Fauzi. Saat dana dari PMI tak lagi mengalir, masyarakat tak pernah lagi mengadakan simulasi.

Sutopo menunjukkan perhitungan indeks kesiapsiagaan per kabupaten/kota 2012  yang antara lain meliputi indeks pengetahuan dan bencana, rencana tanggap darurat, serta peringatan dini bencana. Hasilnya, tingkat kesiapsiagaan masih rendah.

“Pengetahuan masyarakat tentang bencana sudah meningkat, namun belum jadi perilaku dan budaya,” ungkap Sutopo. Padahal, pada 2012, Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan Global Champion for Risk Disaster Reduction dari badan PBB, UNISDR. Menurut Sutopo, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini seperti SDM yang terbatas, luasnya wilayah Indonesia, serta kebutuhan dana yang belum tercukupi.

Baca Juga: Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora

Pemandangan Aceh setelah dihantam gempa bumi dan tsunami pada 2004. (Heri Mardinal/Getty Images)

Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari. Selain itu, dua buah bangunan yang didirikan sebagai tempat evakuasi tsunami berlantai empat yang ia datangi pun kurang terawat. 

Dalam sepuluh tahun ini, apakah masyarakat yang tinggal di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Aceh, siap menghadapi bencana? “Kalau bencana sebesar tsunami Aceh, siapa pun tidak bakalan siap,” tegas Kuntoro. Kini, hasil kerja timnya hingga 2009 tertuang dalam bentuk BRR Institute, sebagai bentuk kewajiban berbagi ilmu kepada dunia yang telah membantu Indonesia dalam pemulihan Aceh dan Nias. Institusi ini kerap berbagi ilmu dengan negara-negara lain yang ditimpa bencana.

Di Lamtengoh, Bahar yang kehilangan istri dan seluruh anaknya yang berjumlah lima orang, telah terbiasa dengan simulasi sirene peringatan dini tsunami yang beroperasi dengan baik di daerahnya. Gampong atau kampungnya kini sudah berdiri kembali persis di tempatnya semula. “Sekarang kami sudah menjalani hidup baru, bekerja seperti biasa, dan sudah melupakan semuanya,” tegasnya. Ia yakin betul, bahwa tsunami tak akan lagi menerpanya. “Saya katakan, bisul tidak akan tumbuh di tempat yang sama,” pungkas Bahar.

 

Feature "Mengelak dari Sang Ombak" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2014