Berburu Benih Demi Menyelamatkan Masa Depan Pangan Indonesia

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 14:00 WIB
Di ruang koleksi benih, guru besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa memegang padi Merah Putih nan langka. Bersama petani yang tergabung dalam jaringan Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Andreas terus berinovasi untuk kemajuan benih unggul lokal. Hasil benih akan didistribusikan langsung ke tangan petani. (Yunaidi Joepoet)

Terkekeh, ia memperkenalkan padi-padi varietas lokal asli Indonesia ini sebagai pinisepuh. Ada Bengawan sang varietas unggul pertama Republik Indonesia, juga padi merah putih dari abad ketujuh, yang benihnya berasal dari reruntuhan candi di Klaten dan terawetkan dengan baik di dalam wadah batu di dasar candi. Butir padi merah putih ini seperti namanya: setengah bagian berwarna merah dan sisanya berona putih, tetapi ada juga yang seluruhnya berwarna merah atau putih.

“Hati-hati, jalannya licin,” ujarnya sambil melangkah perlahan di atas jalan yang miring menuju sebuah lembah, tak jauh dari koleksi varietas lokal. Berkali-kali, sepatu lapangan bersol tebalnya tergelincir akibat lumut yang menyelimut jalan. Di lembah kecil itu kami menjumpai sekitar 250 bilah bambu yang mencuat dari tanah yang becek. Bagian atas bambu itu bersapu cat putih bertera angka.

“Ini nama galurnya,” ujar Andreas, di sela suara ayam jantan yang berkali-kali berkokok, mungkin terganggu dengan kedatangan kami. Ujung jari Andreas menunjuk ke angka hitam yang ada di bambu tersebut. “Ini hasil persilangan padi, yang keunggulannya kami ambil dari para pinisepuh tadi, lalu nanti akan kami sebar lagi ke jaringan tani untuk diseleksi sesuai dengan apa yang mereka kehendaki.”

Padi-padi yang baru ditanam ini memiliki berbagai keunggulan: Tahan wereng, tahan burung, tahan penyakit, tahan salinitas atau air asin, atau memiliki produksi yang melimpah. “Penyeleksian tentu sesuai dengan agroklimat daerah masing-masing,” imbuhnya. Artinya, keunggulan padi tergantung pada karakter daerah yang pastinya berbeda satu sama lain.

Persilangan ini merupakan generasi ke dua. Andreas mengaku butuh waktu lama agar petani mendapatkan hasil unggul dan stabil. Hasil yang paling baik ada di generasi kesembilan, memakan waktu tiga tahun proses seleksi. Benih yang dilepaskan ke para petani dengan kode IF8, kependekan dari Indonesian Farmer 8, merupakan varietas padi hasil persilangan yang dilakukan petani kecil dari padi indukan varietas lokal yang memiliki efek amat besar, yang menjadi kebanggaan AB2TI.

Baca Juga: Petani Alami Kesulitan Selama Pandemi, Ancaman Kelaparan Menghantui

Biji-bijian dapat membawa pengaruh yang baik. Bagaimana bila hilang dari Bumi? Siapa yang akan menyimpannya untuk pangan masa depan? (Thinkstock)

Dengan benih IF8, tahun lalu Karanganyar panen 13,7 ton GKP (gabah kering panen per hektare). “Tidak pernah sepanjang sejarah ada panen sebesar itu di Karanganyar. Mencapai delapan ton saja tidak pernah. Kami amat percaya diri dengan apa yang kami lakukan, dan ini menjawab masa depan Indonesia mendatang,” ujar profesor bertubuh langsing ini dengan bangga.

Penyilangan padi, atau biasa dikenal dengan pemuliaan, berbeda dengan GMO (Genetically Modified Organism) atau modifikasi genetis pada tanaman. Azwar memaparkan: Pemuliaan tanaman itu dilakukan melalui persilangan indukan pertama dengan indukan kedua, sementara GMO adalah memasukkan atau menghilangkan salah satu gen pada organisme.

Menurut Andreas, kini, di Indonesia ada kurang dari 100 pemulia tanaman. Rencananya mereka akan mendidik 10.000 pemulia tanaman. “Bisa dibayangkan dampaknya ke depan bagi Indonesia, seperti apa,” lanjut Andreas dengan mata berbinar-binar.

Mengapa Andreas begitu berkukuh menyelamatkan benih-benih varietas lokal dari para petani di berbagai wilayah di Indonesia? “Ketika benih lokal ini tidak ada yang peduli dan menyelamatkan, hancurlah pertanian indonesia di masa depan,” tegasnya. Ia menekankan pentingnya benih, karena keragaman genetis benih-benih lokal ini akan sangat berperan di masa yang akan datang, salah satunya untuk mengatasi perubahan iklim.

Sebenarnya, upaya penyelamatan benih sudah ada di benak Gatot Surono, sejak lama. Pria berusia 82 tahun ini mengambil gelar doctoral di Peking University pada tahun enam puluhan, dan kini memilih jalan hidupnya sebagai petani di Purbalingga. Gatot berpendapat bahwa benih itu milik Tuhan, dan tidak boleh ada satu pihak pun yang memonopolinya. Ia pun dilabeli sebagai musuh pemerintah pada masa Orde Baru, karena tidak mau menanam benih yang diharuskan oleh negara.