Berburu Benih Demi Menyelamatkan Masa Depan Pangan Indonesia

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 14:00 WIB
Di ruang koleksi benih, guru besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa memegang padi Merah Putih nan langka. Bersama petani yang tergabung dalam jaringan Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Andreas terus berinovasi untuk kemajuan benih unggul lokal. Hasil benih akan didistribusikan langsung ke tangan petani. (Yunaidi Joepoet)

Sejak tahun 1992, petani yang akrab dipanggil dengan sapaan Mbah Gatot ini mengumpulkan dan membudidayakan sekitar 60 varietas lokal yang ia dapatkan dari Papua hingga Sumatra. Setiap tahun, benih ini ia remajakan kembali di lahan pertaniannya. Hingga kini, sekitar 30 benih ia tanam serempak secara berkala. Ia juga bertindak sebagai pemulia. Benih-benih di dalam stoples kaca berlabel Padi Mbah Gatot menghuni ruang koleksi di AB2TI.

Pelestarian serta penyimpanan benih sendiri bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dengan konsep in situ maupun ex situ (tertera pada infografis). Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB Biogen), di bawah Kementerian Pertanian, juga melakukan kedua hal ini di lahan mereka yang luas di kawasan Bogor.

Rumah kaca berdiri di berbagai tempat. Di balik lahan nan luas yang tertutup oleh hijaunya dedaunan tanaman, sorgum, kacang-kacangan, kedelai, dan banyak lagi lainnya, terdapat sebuah bangunan yang bertuliskan Bank Plasma Nutfah. Muncul malu-malu dari balik pepohonan yang rapat menutupi, di dalamya tersimpan ribuan benih tanaman pangan.

“Kami bekerja sama antara lain dengan IRRI (International Rice Research Institute) yang berbasis di Filipina, untuk mengumpulkan padi introduksi dari luar negeri,” papar Sutoro, Ketua Kelompok Peneliti Pengelolaan Sumber Daya Genetik. Demikian pula komoditas lainnya.

Mengapa harus dari luar negeri? “Keragaman genetis yang kita punya, contohnya kacang-kacangan dan kedelai, itu sempit,” ujar Asadi, peneliti kedelai dan kacang-kacangan BB Biogen. “Kalau kita mau membuat suatu tindakan pemuliaan, perlu keragaman yang tinggi,” terangnya.

Selain itu, pertukaran benih adalah salah satu upaya dunia untuk saling menjaga kehidupan. Kita tidak akan pernah tahu kapan kita dilanda bencana. Contohnya saat tsunami melanda Aceh sebelas tahun silam. Sutoro berkisah bahwa koleksi benih padi-padian didapatkan dari Aceh akhirnya kembali lagi ke tanah kelahirannya, untuk menggantikan padi-padi yang lenyap terbawa air.

“Kita belum merasakan apa yang hilang dari peristiwa lumpur Lapindo serta letusan Gunung Sinabung,” ujar Lina, peneliti bagian serealia, mengingatkan. Belum lagi varietas-varietas yang hilang akibat peralihan fungsi lahan. Sutoro ingat betul, ia masih mengonsumsi gembili sebagai tambahan makan siang, saat kecil. Suatu hal yang tak ia jumpai lagi di kampung halamannya kini. Terkait erosi genetis yang ternyata mengancam seluruh dunia, BB Biogen telah mengirim sekitar 900 varietas padi, serta 150 varietas jagung Indonesia ke bank benih dunia di Svalbard.

Dalam kampanye terkait pangan, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) selalu menekankan bahwa jika kita tak mengonsumsi suatu pangan lokal, pangan itu akan hilang. Saat umbi-umbian atau kacang-kacangan minor tak lagi dilirik orang karena rasanya kurang popular dibandingkan ubi jalar yang hasil olahannya sudah menjalar ke mana-mana, misalnya, komoditas itu terancam lenyap selamanya.

Baca Juga: Studi PBB Ungkap Persediaan Pangan Dunia yang Semakin Mengkhawatirkan

Guru Besar Institut Pertanian Bogor Prof. Dwi Andreas Santosa di laboratorium kultur jaringan di Indonesia. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Demikian pula dengan padi-padian. Andreas menekankan, manakala masyarakat sudah tak peduli lagi dengan satu jenis beras, petani cenderung meninggalkan padi tersebut. Untuk itulah ia menekankan pentingnya bank benih.

Pengenalan pangan lokal sejak dini adalah salah satu cara untuk melestarikan benih lokal. Hal inilah yang dilakukan Slow Food Indonesia. Bibong Widyarti, ketua Slow Food Indonesia wilayah Jabodetabek yang juga aktif menjalankan kehidupan organik, mengisahkan bahwa gerakan ini didirikan untuk melawan gaya hidup makanan siap saji yang menjamur.

“Slow food adalah makanan yang bisa ditelusuri asal usulnya, seperti: Siapa yang menanam, di mana, kapan, bagaimana, mengapa ditanam, hingga ikatan budaya dalam makanan tersebut,” ungkapnya. Salah satu cara menanamkan kepedulian adalah melalui anak- anak kecil, di berbagai sekolah di Indonesia.

Tak hanya mengenalkan rasa, mereka juga mengenalkan tekstur dan aroma. “Misalnya kita masukkan kacang-kacangan di saku anak-anak itu, kemudian kita ajak mereka untuk meraba untuk merasakan teksturnya, mencium aromanya, merasakannya di lidah, hingga rasa yang muncul setelah itu,” paparnya.

Di pedesaan wilayah Karanganyar, Bambang, salah seorang pengurus AB2TI, membuat film mengenai pertanian. Film ini ia putar di sekolah-sekolah tingkat dasar wilayahnya.

 

Hal ini berawal dari pertanyaan yang mengganggunya beberapa tahun silam: Siapa yang akan mengerjakan pertanian sepuluh hingga lima belas tahun lagi? Ia pun mengajarkan metode tanam padi dengan menggunakan plastik untuk menutupi lahan, demi menghemat air dan pupuk, serta menghindari rumput liar. “Dengan metode ini, padi bisa dipanen dalam 30 hari,” ungkapnya. Ini merupakan hal yang membuat anak-anak bisa mengenal pertanian sambil bersenang-senang. Pihak sekolah pun antusias dengan kegiatan ini.

“Kami juga menekankan proses organik dalam bertani, karena ternyata hasil produksi 13,7 ton per hektare itu kami dapatkan setelah menekan pupuk kimia,” ungkap Bambang saat disinggung mengenai keberhasilan daerahnya menggunakan benih IF8. Ternyata, petani yang masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia hanya mendapatkan sembilan ton per hektare dengan menggunakan benih yang sama.

“kami terus-menerus ‘berburu’. Meminta teman di jaringan, apa pun benih tersebut. Mengirimkannya ke sini untuk kami simpan dengan teknik yang lebih bagus, sehingga kualitas dari yang kita simpan bisa kita pertahankan,” ujar Andreas pada suatu sore di kantornya, kala hujan sudah selesai mendera.

Ia menjelaskan, jika penyimpanan benih tidak memadai, dalam waktu enam bulan hingga satu tahun kondisinya akan turun. Apalagi kedelai, yang hanya punya waktu tiga bulan.

Ia pun berharap agar seluruh petani di Indonesia bisa mandiri dalam soal benih, pupuk, juga dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman, dan tak lagi tergantung pada bantuan pemerintah. “Target kami berikutnya adalah, setiap provinsi memiliki bank benih berikut fasilitas yang memadai untuk menyimpan benih-benih mereka sendiri.”

Pikiran saya pun melayang ke akhir Agustus silam, saat berbincang dengan Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan berdarah India, yang juga ahli fisika. Dengan gaya bicara yang penuh semangat, ia berkisah mengenai gerakan nasional Navdanya, yang ia dirikan pada 1991 untuk melindungi keanekaragaman sumber kehidupan, terutama benih lokal.

Ia menekankan bahwa benih adalah hal yang sakral. “Benih harus diperbarukan, diperbanyak, dibagi, dan disebarluaskan,” ujarnya. Sambil menatap tajam-tajam mata saya, ia berkata, “karena benih adalah kehidupan itu sendiri.”

 

Feature "Berburu Benih" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Mei 2015